DINAMIKA POPULASI HAMA UTAMA TANAMAN JAGUNG PADA
POLA TANAM BERBASIS JAGUNG
Tenrirawe A. Achmad dan J. Tandiabang
Balai Penelitian Tanaman
Serealia
ABSTRAK
Dalam pola tanam setahun yang
dilakukan petani, jagung di tanam satu kali atau dua kali tergantung dari
berbagai faktor yaitu curah hujan, ketersediaan air, jenis lahan, harga dan
faktor sosial lainnya. Jagung dapat ditanam secara monokultur ataupun
tumpangsari pada pola tanam setahun yang banyak ditentukan oleh pertimbangan
agronomis dan harga komoditi. Pada pertanaman ganda serangan hama lebih rendah
karena adanya diversifikasi tanaman, sehingga terjadi interaksi organisme yang
berlangsung dalam bentuk fisik maupun interferensi biologis. Pada pertanaman
jagung pertama dengan pola tanam padi - jagung dan padi - (jagung + kedelai), Helicoverpa
armigera, dan Mythimna separata merupakan hama yang dominan.
Populasi tertinggi pada monokultur pada 58 HST, yaitu 14 butir telur + 24 ekor
larva H. armigera dan 43 ekor larva M. separata. Predator Chrysopa
sp. dan Orius sp. berperan dalam mengontrol kedua hama dominan tersebut.
Pada pertanaman jagung kedua dengan pola tanam padi - jagung - jagung pada
monokultur dan padi - (jagung + kedelai) - (jagung + kacang hijau) pada
tumpangsari terdapat tiga hama utama yang menyerang yaitu penggerek batang O.
furnacalis, M. separata, dan H. armigera. Populasi O.
furnacalis tidak dipengaruhi oleh pola bertanam yang ada. Populasi M.
separata dan H. armigera tertinggi sekitar 66 hari setelah tanam
(HST). Populasi O. furnacalis dan M. separata lebih tinggi pada
pertanaman jagung kedua dibanding pertanaman jagung pertama, sedangkan H.
armigera sebaliknya. Pola tanam, musuh alami serta iklim yang berperan
dalam dinamika hama utama tersebut di atas. Ledakan populasi Mythimna
sp. mempunyai peluang besar pada pertanaman jagung kedua.
Kata kunci : Dinamika populasi, pola tanam,
tumpangsari, Ostrinia furnacalis, Helicoverpa armigera, Mythimna separata,
Trichogramma evanescens,
Orius sp., Chrysopa sp.
PENDAHULUAN
Hama merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kehilangan hasil pada
pertanaman jagung. Hama utama pada berbagai daerah penghasil jagung adalah
lalat bibit, Atherigona sp., penggerek batang, Ostrinia furnacalis,
penggerek tongkol Helicoverpa armigera, ulat grayak (Mythimna
sp., dan Spodoptera sp.), dan tikus (Baco et al., 1998).
Hama utama yang menyerang jagung, kehadirannya dan tingkat serangannya
banyak ditentukan oleh pola tanam setahun dan sistim pertanamannya baik
monokultur maupun tumpangsari, serangan hama lebih rendah dibanding monokultur.
Interaksi organisme di dalam pertanaman ganda berlangsung dalam bentuk fisik
maupun interferensi biologis.
Penggerek batang jagung, O. furnacalis merupakan hama utama jagung
yang paling sering mengakibatkan kerusakan dengan kehilangan hasil 4,5 - 54,5%
(Baco dan Tandiabang, 1988). Selain menyerang jagung, O. furnacalis juga
menyerang kacang hijau (Talekar et al., 1991). Pada kacang hijau
serangga ini lebih suka meletakkan telur pada permukaan bawah daun terutama pada
sepertiga bahagian atas tanaman.
Penanaman jagung secara monokultur yang dilakukan beruntun dari musim ke
musim, memperkecil keragaman organisme dan dapat mengakibatkan ledakan populasi
hama, sedangkan pada pertanaman ganda serangan hama lebih rendah karena adanya
diversifikasi tanaman. Interaksi organisme di dalam pertanaman ganda
berlangsung dalam bentuk fisik maupun interferensi biologis (Litsinger dan
Moody, 1996; van Emden dan Williams, 1974).
Pemilihan kombinasi tanaman tumpangsari yang tidak tepat dapat
mengakibatkan perkembangan hama tertentu semakin pesat (Palaniappan, 1985).
Kacang tunggak yang ditumpangsarikan dengan jagung mendapat serangan kutu daun,
Aphis craccivora yang lebih berat dibanding monokrop kacang tunggak
(Akib, 1998). Kondisi lingkungan tertentu dapat mengubah proses fisiologis
tanaman yang selanjutnya mempengaruhi nutrisi tanaman yang diserap serangga
fitofagus (Kogan, 1975).
Pada penggerek batang O. nubilalis menunjukkan bahwa pola tahunan
jagung - jagung dibanding jagung - kedelai, serangan penggerek batang generasi
pertama tidak berbeda nyata, tetapi generasi kedua lebih tinggi pada pola
jagung - jagung (Berry dan Ghidiu, 1989).
Diketahuinya dinamika populasi hama utama jagung serta faktor utama yang
menyebabkannya akan menjadi masukan yang merupakan dasar dalam merakit
pengendalian hama tersebut secara efisien.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan di salah satu daerah sentra produksi jagung
yaitu di kabupaten Takalar. Pola tanam yang diteliti yaitu :
a. Padi - jagung
b. Padi - (jagung +
kedelai)
c. Padi - jagung - jagung
d. Padi - jagung - (jagung + kacang hijau)
Penanaman padi
dilakukan oleh petani dan peneliti mengamati hama apa yang menyerang pada
pertanaman tersebut. Penanaman jagung dilakukan bersamaan dengan petani
sekitarnya dengan menggunakan varietas Bisma. Penanaman jagung dilakukan dua
kali sesuai dengan pola di atas. Luas pertanaman yaitu 0,5 ha - 1 ha, tiap pola + 0,125
ha. Lahan dibagi seluas + 100 m2 untuk tiap pengamatan. Untuk pertanaman monokultur jagung digunakan jarak tanam 75 cm x 40 cm, 2
tanaman per lubang. Untuk pertanaman tumpangsari jarak tanam jagung (300 cm x
40 cm) dan (75 cm x 40 cm), sedang kacang hijau atau kedelai 40 cm x 20 cm.
Pemupukan dilakukan dengan dosis berdasarkan tanaman jagung 300 kg Urea, 100 kg
SP36, dan 100 kg KCl per ha, sedang kacang hijau dan kedelai adalah 50 kg Urea,
50 kg SP36, dan 50 kg KCl. Pengamatan dilakukan
selang 10 hari selama pertumbuhan tanaman. Parameter yang diukur yaitu besarnya
populasi setiap stadia perkembangan serangga hama utama dan musuh alaminya yang
dominan menyerang tanaman jagung, yang diamati dari 100 sampel yang dipilih
secara acak. Pada pertanaman tumpangsari diukur pula populasi dan intensitas
kerusakan hama pada kacang hijau dan kedelai. Pertanaman dibagi atas 10 petak
sesuai dengan interval pengamatan hingga panen baik pada monokultur maupun
tumpangsari. Pengamatan dilakukan hanya satu kali pada satu petak. Larva dan stadia lain hama utama jagung hasil
pengamatan dikumpulkan ke dalam kotak serangga, untuk melihat kemungkinan
terparasit.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Pertanaman Pertama
Pertanaman jagung
pertama (Mei - Agustus 2001)
Pola tanam
yang diamati pada penelitian ini adalah padi - jagung dan padi - (jagung +
kedelai). Pada periode pertanaman padi, serangga hama yang dijumpai adalah
penggulung daun Cnaphlocrosis medinalis. Demikian pula pada awal
pertumbuhan jagung, baik pada pola bertanam tumpangsari maupun monokultur
didapati C. medinalis menyerang daun jagung. Serangga hama tersebut dijumpai
sejak pengamatan pertama (17 HST) sampai dengan pengamatan keempat (48 HST)
(Tabel 1).
Hama utama
yang ditemukan adalah penggerek batang jagung O. furnacalis, penggerek
tongkol H. armigera dan ulat grayak Mythimna sp. (Tabel 1 dan 2).
Tabel 1. Jenis hama yang menyerang pada musim tanam
Mei - Agustus 2001
Jenis
hama
|
Waktu Pengamatan
(HST)
|
|||||||
17
|
27
|
37
|
48
|
58
|
65
|
72
|
80
|
|
Cnaphalocrosis
|
L
|
L
|
L
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Ostrinia furnacaLis
|
-
|
-
|
L / T
|
T / L
|
L
|
L
|
P
|
P
|
Helicoverpa armigera
|
-
|
-
|
L
|
T / L
|
L
|
L
|
L
|
L
|
Spodoptera
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
T / L
|
L
|
P
|
Belalang
|
N
|
D
|
D
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Mythimna sp.
|
L
|
L
|
L
|
L
|
L
|
L
|
L
|
L
|
Ket. : T = Telur
L = Larva KT = Kelompok telur
P = Pupa D = Dewasa N = Nimfa
Tabel 2. Populasi hama utama per 100 tanaman jagung
pada musim tanam
Mei - Agustus 2001di
Takalar.
Jenis hama
|
Waktu Pengamatan
(HST)
|
|||||||
17
|
27
|
37
|
48
|
58
|
65
|
72
|
80
|
|
Cnaphalocrosis
· Monokultur
· Tumpangsari
|
4 L
0
|
5 L
10 L
|
5 L
2 L
|
2 L
0
|
0
0
|
0
0
|
0
0
|
0
0
|
Ostrinia
furnacalis
· Monokultur
· Tumpangsari
|
0
0
|
0
0
|
1Kt/2L
0
|
0
1 kt/1 L
|
14 L
3 L
|
19 L
3 L
|
2L/24P
3 L
|
12 P
11 P
|
Helicoverpa
armigera
· Monokultur
· Tumpangsari
|
0
0
|
0
0
|
3 L
1 L
|
87 L
23T/24L
|
44T/24L
24T/14 L
|
23 L/10T
14 L
|
16 L
1 L
|
1 L
0
|
Mythimna sp.
· Monokultur
· Tumpangsari
|
1 L
3 L
|
8 L
2 L
|
6 L
4 L
|
20 L
28 L
|
43 L
34 L
|
13 L
12 L
|
15 L
7 L
|
5 L
4 L
|
Keterangan : T =
telur L = larva Kt =
kelompok telur P
= pupa
Populasi O. furnacalis yang ditemukan pada 37 HST sangat rendah
yaitu satu kelompok telur per 100 tanaman dan telah terparasit oleh T.
evanescens. Selain itu ditemukan pula dua ekor larva. Populasi tertinggi
pada 65 HST yaitu 19 ekor larva dan pada 72 HST yaitu 24 pupa pada pola
bertanam monokultur. Populasi H. armigera tertinggi dijumpai pada 48 HST yaitu 87 ekor
larva pada perlakuan monokultur, 23 butir telur dan 24 ekor larva pada
perlakuan tumpangsari.
Ulat grayak Mythimna sp. umumnya dijumpai dalam bentuk larva.
Populasi tertinggi ditemukan pada umur tanaman 58 HST, dimana larvanya mulai
memotong rambut jagung. Secara umum populasi hama lebih tinggi pada pertanaman
monokultur dibanding tumpangsari (Tabel 2). Hal ini disebabkan antara lain
karena populasi predator terutama Orius sp. dan Chrysopa sp.
lebih tinggi pada tumpangsari dibanding monokultur. Kedua predator ini
berkembang lebih pesat pada tumpangsari, karena predator tersebut telah
berkembang lebih dahulu pada tanaman kedelai yang ditumpangsarikan dengan
jagung. Predator Orius sp., baik larva maupun dewasanya banyak ditemukan
di rambut jagung. Demikian pula telur dan larva awal H.armigera,
sehingga tidak sukar bagi Orius sp untuk memangsa H. armigera.
Cantello dan Jacobson (1999) telah men-demonstrasikan daya pikat nap (volatil)
rambut jagung pada berbagai jenis serangga.
Pada Tabel 3 terlihat bahwa terdapat berbagai predator yang turut berperan
dalam mengatur besarnya populasi beberapa hama utama, Chrysopa sp. yang
umumnya ditemukan dalam bentuk telur, populasinya lebih tinggi pada tumpangsari
dibanding monokultur. Populasi Chrysopa mencapai 339 ekor/100 tanaman
pada pola bertanam tumpangsari dan hanya 34 ekor pada monokultur. Hal ini
berpengaruh terhadap besarnya populasi H. armigera dan Mythimna
sp. pada Tabel 2. Populasi kedua hama tersebut lebih tinggi pada monokultur dibanding
tumpangsari. Musuh alami yang dominan pada penelitian ini adalah berupa
predator yaitu laba-laba, Orius sp. (Anthocoridae :
Heteroptera) dan Chrysopa sp. (Chrysopidae : Neuroptera). Terdapat
berbagai spesies laba-laba umumnya yang berukuran kecil seperti Atypena
formosona (Araneae : Linyphiidae) dan kadang-kadang dijumpai pula yang
ukurannya agak besar Argiope catenulata (Araneae : Araneidae).
Tabel 3. Populasi predator yang
memangsa hama utama jagung pada MT. 2001 di Takalar
No
|
Jenis predator
|
Umur
tanaman (HST)
|
|||||||
17
|
27
|
37
|
48
|
58
|
65
|
72
|
80
|
||
1.
2.
3.
|
Orius sp.
· Monokultur
· Tumpangsari
Laba-laba
· Monokultur
· Tumpangsari
Chrysopa sp.
· Monokultur
· Tumpangsari
|
-
-
6
4
-
-
|
3
3
18
6
-
-
|
4
16
11
3
14
14
|
8
26
25
7
25
39
|
22
51
34
28
187
230
|
2
10
19
14
67
239
|
0
4
35
18
55
307
|
0
0
15
20
34
339
|
Pertanaman
Kedua
Pertanaman
Jagung kedua (September - Nopember 2001)
Pola tanam
yang diamati pada penelitian kedua tahun 2001 adalah padi - jagung - jagung dan
padi - (jagung + kedelai) - (jagung + kacang hijau).
Penggulung
daun C. medinalis kembali dijumpai baik di pertanaman padi maupun pada
awal pertumbuhan jagung. Hama tersebut ditemukan
pada tumpangsari dan monokultur dengan populasi yang rendah. Populasi tertinggi
16 ekor larva per 100 tanaman di monokultur pada 22 HST (Tabel 4).
Serangga hama utama jagung yang dominan selama penelitian sama dengan
jagung pertama yaitu O. furnacalis, H. armigera, dan M.
separata.
Pada jagung kedua ini O. furnacalis ditemukan dalam kelompok telur
yang sebagian besar butirnya (+ 97%) telah terparasit oleh T.
evanescens. Kenyataan ini ditunjang dengan sangat sedikit larva yang
ditemukan di lapangan. Kelompok telur yang sehat (tidak terparasit) sebahagian
ditemukan hanya pada awal pengamatan, sedang setelah pengamatan keenam (57 HST)
seluruh kelompok telur telah berwarna hitam karena terparasit oleh T. evanescens. Pada
pertanaman kedua ini populasi penggerek batang lebih tinggi dibanding
pertanaman pertama. Terdapat dua generasi dari hama tersebut dan besarnya
populasi tidak dipengaruhi oleh bentuk pola bertanam. Tingginya populasi
kelompok telur penggerek batang pada pertanaman ini diperkirakan berasal dari
pertanaman jagung disekitarnya. Namun meskipun populasi kelompok telur tinggi
yang berhasil menetas menjadi larva sangat kecil, karena lebih dari 95% yang
telah terparasit oleh T. evanescens.
Ulat grayak M. separata baru
muncul pada pengamatan keenam (57 HST). Ulat grayak ini ditemukan dalam bentuk
larva, yang kemungkinan besar adalah hasil migrasi dari pertanaman jagung
petani yang berumur genjah (varietas Pulut).
Larva-larva ulat grayak kebanyakan ditemukan di ujung tongkol setelah
mengerat rambut jagung kemudian masuk ke dalam dan merusak tongkol. Ulat grayak
Mythimna sp. baru ditemukan pada 57 HST. Populasi tertinggi 78 ekor pada
monokultur dan 54 ekor larva per 100 tanaman pada tumpangsari. Umumnya
ditemukan stadia larva lanjut yaitu larva 4 dan larva 5 yang menyerang rambut
jagung. Pada stadia tersebut predator tidak mampu lagi memangsa ulat grayak. Orius
sp. dan Chrysopa sp. hanya mampu memangsa stadia telur dan larva awal
dan sebagian besar ordo Lepidoptera (Teetes et al., 1983). Pada
pertanaman jagung pertama serangga hama ini ditemukan hampir pada semua waktu
pengamatan. Sedang pada jagung kedua hama ini baru ditemukan pada 57 HST.
Kemungkinan serangga tersebut pada awal perkembangannya menyenangi tanaman
muda, sehingga induk betinanya cenderung meletakkan telur pada tanaman yang
lebih muda. Pada jagung kedua, pertanaman jagung disekitarnya telah bervariasi
umurnya. Populasi Mythimna pada jagung pertama sedang berdiapause di
pematang atau di tanah saat jagung kedua ditanam. Pada saat itu musim kemarau
sehingga pupa yang ada dalam tanah tidak membusuk. Ketika pupa tersebut menetas
menjadi kupu-kupu jagung kedua telah berumur lebih dari satu bulan. Kemungkinan
induk betina lebih senang meletakkan telur pada jagung petani yang lebih muda
umurnya disekitar penelitian. Setelah rambut pada jagung kedua telah keluar
beramai-ramailah larva itu berimigrasi kejagung kedua. Hampir seluruh larva
yang ada mengerat rambut jagung kemudian masuk ke dalam tongkol. Pada jagung
kedua ini perlu kehati-hatian terhadap ulat grayak. Serangan ulat grayak pada
waktu tongkol belum berisi penuh akan menyebabkan tidak terbentuknya biji,
sehingga terjadi kehilangan hasil yang cukup besar.
Penggerek tongkol H. armigera ditemukan dua generasi pada pertanaman
ini. Populasinya tidak terlalu besar. Populasi tertinggi hanya 28 ekor larva
per 100 tanaman yaitu pada pengamatan ketujuh (66 HST) (Tabel 4). Kondisi ini
kemungkinan besar disebabkan tingginya populasi predator seperti Chrysopa
sp., Orius sp. dan laba-laba (Tabel 5). Telur H. armigera yang
biasanya diletakkan di rambut jagung terpredasi oleh Orius sp. yang juga
selalu ada di rambut jagung. Sedang telur-telur yang diletakkan dipermukaan
daun atau di batang dimangsa oleh larva dari Chrysopa sp. Serangan
penggerek tongkol terjadi baik pada pertumbuhan vegetatif maupun generatif.
Pada fase pertumbuhan vegetatif hama ini menyerang titik tumbuh, pada serangan
yang berat tanaman akan mati. Pada penelitian ini keadaan ini tidak terjadi
karena baik telur maupun larva awal terperadasi oleh Orius sp. yang
populasinya cukup tinggi pada awal pertumbuhan (Tabel 4). Serangan penggerek
tongkol pada umur lanjut hanya menyebabkan kerusakan pada ujung tongkol.
Berbagai predator yang dominan pada pertanaman kedua ini adalah Orius
sp, laba-laba, dan Chrysopa sp. Hasil pengamatan menunjukkan populasi Orius
sp. tertinggi hanya ditemukan pada pengamatan kedua (22 HST) dan ketiga (33
HST). Baik laba-laba maupun Chrysopa sp. populasi tertinggi pada 57 HST
(Tabel 5). Seperti pada pertanaman-pertanaman sebelumnya populasi predator pada
umumnya lebih tinggi pada tumpangsari dibanding monokultur.
Tabel 4. Populasi berbagai jenis
hama utama jagung pada pertanaman kedua MT. 2001 di Takalar.
No
|
Jenis
hama
|
Pengamatan
ke
|
||||||||
13
|
22
|
33
|
42
|
50
|
57
|
66
|
75
|
84
|
||
1.
2.
3.
4..
|
Cnaphalocrosis
· Monokultur
·
Tumpangsari
H.
armigera
· Monokultur
·
Tumpangsari
O.
furnacalis
· Monokultur
· Tumpangsari
Mythimna sp.
· Monokultur
· Tumpangsari
|
7
3
0
0
0
0
0
0
|
16
5
5 L
2 L
0
4 KT
0
0
|
4
0
5 L
2 L
10 KT
2 KT
0
0
|
0
0
0
0
19 KT
18 KT
0
0
|
0
0
20 T
19T/
3D
3L, 12KT
27KT,1D
0
0
|
0
0
9 L
10 L
18 L
7 L,
19 KT
11 L
23 L
|
0
0
28 L
16 L
9 L,
11P
21 L,
7 P
78 L
54 L
|
0
0
17 L
18 L
29 P,
3 KT
11 P,
3 KT
10 L
12 L
|
0
0
22 L
6 L
23 P,
5 KT
2 KT,
1L,6P
16 L
0
|
Keterangan
: T
= telur L = larva Kt =
kelompok telur P = pupa
D = dewasa
Tabel
5. Populasi berbagai predator pada
pertanaman kedua MT. 2001 di Takalar
No
|
Jenis
hama
|
Pengamatan
ke
|
||||||||
13
|
22
|
33
|
42
|
50
|
57
|
66
|
75
|
84
|
||
1.
2.
3.
|
Orius sp.
· Monokultur
· Tumpangsari
Laba-laba
· Monokultur
· Tumpangsari
Chrysopa sp.
· Monokultur
· Tumpangsari
|
3
5
4
7
0
0
|
12
22
5
11
0
0
|
39
55
42
29
25 T
14T,1D
|
0
1
28
13
75
66
|
1
3
42
48
130
175
|
2
7
41
71
203
270
|
2
0
27
55
177
120
|
0
0
42
67
80
112
|
0
0
48
83
38
47
|
KESIMPULAN
Dari hasil
pengamatan populasi hama utama jagung pertama pada pola tanam padi - jagung dan
padi - (jagung + kedelai) dapat disimpulkan bahwa penggerek tongkol Helicoverpa
armigera dan ulat grayak Mythimna separata merupakan hama yang dominan.
Populasi tertinggi kedua hama tersebut dijumpai pada 58 HST (hari setelah
tanam) pada perlakuan monokultur. Populasi H. armigera,
44 telur + 24 ekor larva sedang M. separata 43 ekor larva.
Musuh alami seperti Chrysopa sp. dan Orius sp. berperan dalam
mengontrol kedua hama dominan tersebut.
Pada jagung kedua dengan pola tanam padi - jagung - jagung pada monokultur
dan padi - (jagung + kedelai) - (jagung + kacang hijau) pada tumpangsari
ternyata terdapat tiga jenis hama utama yang menyerang yaitu penggerek batang O.
furnacalis, M. separata, dan H. armigera. Populasi kelompok
telur O. furnacalis mulai meningkat pada 42 HST. Besar populasi O.
furnacalis tidak dipengaruhi oleh pola bertanam yang ada.
Populasi M. separata dan H. armigera tertinggi disekitar 66
HST.
Populasi O. furnacalis dan M. separata lebih tinggi pada
jagung kedua dibanding jagung pertama. Sebaliknya populasi H. armigera
lebih tinggi pada jagung pertama dibanding jagung kedua. Pola tanam, musuh
alami serta iklim yang berperan dalam dinamika hama utama tersebut di atas.
Ledakan populasi Mythimna sp. mempunyai peluang besar pada jagung kedua.
DAFTAR PUSTAKA
Akib, W. 1998. Pengaruh suhu dan
kelembaban nisbih mikro terhadap populasi Aphis craccivora (Hemiptera :
Aphidae) pada kacang tunggak yang ditumpangsarikan dengan jagung. Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan XI PEI, PFI, dan HPTI Sul-Sel, hal.
197-205.
Baco, D. dan J. Tandiabang. 1988. Hama utama jagung dan
pengendaliannya. Jagung. Puslitbangntan. Pp.185-204.
Baco,
D., Tandiabang, and W. Wakman. 1988.
Pests and diseases
of maize in Indonesia : Status and Research Needs. Rest. Inst. Of Maize
and Other Cereals. Maros. 12 p.
Berry,
F.C. and G.M. Ghidiu. 1989. effect of conservation tillage an European corn
borer populations. Environ Entomol. 18(6):917-920.
Cantelo,
W.W. dan Jacobson, M. 1979. Corn silk volatiles attracts many pest species of
insect. J. Environ. Sci. Health A 14:695-707.
Kogan,
M. 1975. Plant resistance in pest management.
In Introduction to insect pest management Ed. R.L. Metcalf
and W.H. Luckman. John Wiley & Sons. p.11-117.
Litsinger,
J.A. and Keith Moody. 1976. Integrated pest management in Multiple Cropping
Systems. Multiple Cropping. ASA Special Publication. Number 27, Ed. R.I.
Papendink; P.A. Samches; G.B. Triplett. p.297-316.
Palaniappan,
S.P. 1985. Cropping system in the tropics : Principles and Management. Wiley
Eastern Limited. p.144-151.
Talekar,
N.S., Chih Pin Lin, Yii Fei Yin, Ming Yu Ling, Yi De Wang, and David C.Y.
Chang. 1991. Characteristics of Infestation
by Ostrinia furnacalis (Lepidoptera : Pyralidae) in mungbean. J. Econ.
Entomol. 84(5):1499-1502.
Teetes,
G.L., K.V.S. Reddy, K. Leuschner, and L.R. House. 1983. Sorghum Insect
Identification Hand book. Information Bulletin No.12. ICRISAT. 124 p.
van
Emden, H.J. and G. Williams. 1974. Insect stability and diversity in
agro-ecosystems. Ann. Rev. entomol. 19:455-475.
Tags
MAKALAH BIOLOGI