Beginilah nasib minoritas muslim di bawah pemimpin mayoritas yang tidak adil.
“Kami meninggalkan Myanmar karena kami diperlakukan dengan kejam oleh militer. Umat Muslim di sana kalau tidak dibunuh, mereka disiksa,” ujar seorang pengungsi, Nur Alam, seperti dikutip BBC, beberapa waktu lalu.
Nur bersama 129 Muslim Rohingya begitu umat Islam yang tinggal di utara Arakan, Myanmar, biasa disebut terpaksa harus meninggalkan tanah kelahirannya. Ia bersama kawan-kawannya nekat melarikan diri dari Myanmar dengan menumpang perahu tradisional sepanjang 14 meter.
Mereka berjejalan di atas perahu kayu dengan bekal seadanya. Akibat mesin perahu yang mereka tumpangi rusak, Muslim Rohingya pun harus rela terkatung-katung di lautan yang ganas. Hingga akhirnya, mereka ditemukan nelayan Aceh dalam kondisi yang mengenaskan. Menurut Nur, mereka terombang-ambing ombak di lautan ganas selama 20 hari.
Kami ingin pergi ke Indonesia, Malaysia, atau negara lain yang mau menerima kami, tutur Nur. Demi menyelamatkan diri dan akidah, mereka rela kelaparan dan kehausan di tengah lautan.
Begitulah potret buram kuam Muslim Rohingya yang tinggal di bagian utara Arakan atau negara bagian Rakhine. Kawasan yang dihuni umat Islam itu tercatat sebagai yang termiskin dan terisolasi dari negara Myanmar atau Burma. Daerah itu berbatasan dengan Bangladesh.
Sejak 1982, Undang-Undang Kewarganegaraan Burma tak mengakui Muslim Rohingya sebagai warga negara Myanmar. Pemerintah di negara itu hanya menganggap mereka sebagai imigran ilegal dari Bangladesh atau keturunannya.
Terjebak dalam kondisi yang sangat tidak menguntungkan seperti itu, kaum Rohingya pun memilih untuk meninggalkan Myanmar. Tak mudah bagi mereka untuk melepaskan diri dari negara yang dikuasai Junta Militer itu. Tak jarang mereka harus mengalami kekerasan dan penyiksaan oleh pihak keamanan. Setelah mereka keluar dari negara tersebut, mereka tidak diperkenankan untuk kembali.
Selain itu, umat muslim Rohingya seperti terpenjara di tempat kelahirannya sendiri. Mereka tidak bisa bebas bepergian ke mana pun. Meskipun hanya ingin ke kota tetangga saja, pihak militer selalu meminta surat resmi. Saat ini, sekitar 200 ribu Muslim Rohingnya terpaksa tinggal di kamp pengungsi seadanya di Bangladesh.
Sebagian besar dari mereka yang tidak tinggal di tempat pengungsian resmi memilih untuk pergi ke negara lain melalui jalur laut, terutama melalui Laut Andaman. Kemudian, pihak Pemerintah Thailand juga mengabarkan bahwa mereka telah menahan sebanyak 100 orang Rohingya beberapa waktu yang lalu. Pemerintah negeri Gajah Putih itu menolak menerima mereka sebagai pengungsi. Untuk mengatasi masalah ini, PBB sudah bergerak melalui salah satu organisasinya yang mengurusi pengungsi, UNHCR.
***
Populasi Muslim Rohingya di Myanmar tercatat sekitar 4,0 persen atau hanya sekitar 1,7 juta jiwa dari total jumlah penduduk negara tersebut yang mencapai 42,7 juta jiwa. Jumlah ini menurun drastis dari catatan pada dokumen Images Asia: Report On The Situation For Muslims In Burma pada Mei tahun 1997. Dalam laporan tersebut, jumlah umat Muslim di Burma mendekati angka 7 juta jiwa.
Mereka kebanyakan datang dari India pada masa kolonial Inggris di Myanmar. Sepeninggal Inggris, gerakan antikolonialisasi di Burma berusaha menyingkirkan orang-orang dari etnis India itu, termasuk mereka yang memeluk agama Islam. Bahkan, umat Muslim di Burma sering sekali menjadi korban diskriminasi.
Pada tahun 1978 dan 1991, pihak militer Burma meluncurkan operasi khusus untuk melenyapkan pimpinan umat Islam di Arakan. Operasi tersebut memicu terjadinya eksodus besar-besaran dari kaum Rohingya ke Bangladesh. Dalam operasi khusus itu, militer tak segan-segan menggunakan kekerasan yang cenderung melanggar hak asasi manusia.
Selain itu, State Law and Order Restoration Council (SLORC) yang merupakan rezim baru di Myanmar selalu berusaha untuk memicu adanya konflik rasial dan agama. Tujuannya untuk memecah belah populasi sehingga rezim tersebut tetap bisa menguasai ranah politik dan ekonomi. Pada 1988, SLORC memprovokasi terjadinya pergolakan anti-Muslim di Taunggyi dan Prome.
Lalu, pada Mei 1996, karya tulis bernada anti-Muslim yang diyakini ditulis oleh SLORC tersebar di empat kota di negara bagian Shan. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya kekerasan terhadap kaum Muslim. Kemudian, pada September 1996, SLORC menghancurkan masjid berusia 600 tahun di negara bagian Arakan dan menggunakan reruntuhannnya untuk mengaspal jalan yang menghubungkan markas militer baru daerah tersebut. Sepanjang Februari hingga Maret 1997, SLORC juga memprovokasi terjadinya gerakan anti-Muslim di negara bagian Karen. Sejumlah masjid dihancurkan, Alquran dirobek dan dibakar.
Umat Islam di negara bagian itu terpaksa harus mengungsi. Burma Digest juga mencatat, pada tahun 2005, telah muncul perintah bahwa anak-anak Muslim yang lahir di Sittwe, negara bagian Rakhine (Arakan) tidak boleh mendapatkan akta kelahiran. Hasilnya, hingga saat ini banyak anak-anak yang tidak mempunyai akta lahir. Selain itu, National Registration Cards (NRC) atau kartu penduduk di negara Myanmar sudah tidak diberikan lagi kepada mereka yang memeluk agama Islam.
***
Mereka yang sangat membutuhkan NRC harus rela mencantumkan agama Buddha pada kolom agama mereka. Bahkan, Pemerintah Myanmar sengaja membuat kartu penduduk khusus untuk umat Muslim yang tujuannya untuk membedakan dengan kelas masyarakat yang lain. Umat Muslim dijadikan warga negara kelas tiga.
Umat Islam di negera itu juga merasakan diskriminasi di bidang pekerjaan dan pendidikan. Umat Islam yang tidak mengganti agamanya tak akan bisa mendapatkan akses untuk menjadi tentara ataupun pegawai negeri. Tak hanya itu, istri mereka pun harus berpindah agama jika ingin mendapat pekerjaan.
Pada Juni 2005, pemerintah memaksa seorang guru Muslim menutup sekolah swastanya meskipun sekolah itu hanya mengajarkan kurikulum standar, seperti halnya sekolah negeri, pemerintah tetap menutup sekolah itu. Sekolah swasta itu dituding mengajak murid-muridnya untuk masuk Islam hanya karena sekolah itu menyediakan pendidikan gratis. Selain itu, pemerintah juga pernah menangkap ulama Muslim di Kota Dagon Selatan hanya karena membuka kursus Alquran bagi anak-anak Muslim di rumahnya.
Begitulah nasib Muslim Rohingya. Nasib buruk yang dialami Muslim Rohingya mulai mendapat perhatian dari Organisasi Konferensi Islam (OKI). Kantor berita Islam, IINA, pada 1 Juni 2011, melaporkan, Sekretariat Jenderal OKI yang bermarkas di Jeddah telah menggelar sebuah pertemuan dengan para pemimpin senior Rohingya. Tujuannya, agar Muslim Rohingya bisa hidup damai, sejahtera, dan memiliki masa depan yang lebih baik. Dalam pertemuan itu, para pemimpin senior Rohingya bersepakat untuk bekerja sama dan bersatu di bawah sebuah badan koordinasi. Lewat badan koordiansi itulah, OKI mendukung perjuangan Muslim Rohingya untuk merebut dan mendapatkan hak-haknya.
Pertemuan itu telah melahirkan Arakan Rohingya Union (ARU) atau Persatuan Rohingya Arakan. Lewat organisasi itu, Muslim Rohingya akan menempuh jalur politik untuk mengatasi masalah-masalah yang dialami Muslim Rohingya. Semoga.
.
Sumber: http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-mancanegara/12/06/12/m5ht2v-rohingya-potret-buram-muslim-myanmar
.
Myanmar: Kami Tak Akui Rohingya sebagai Warga
Selasa, 31 Juli 2012 21:03 wib
NAYPYIDAW – Pemerintah Myanmar menegaskan, warga Muslim Rohingya yang merupakan etnis minoritas, takkan mendapatkan kewarganegaraan Myanmar. Meski demikian, ribuan warga Rohingya sudah ada di Arakan ratusan tahun yang lalu.
“Mereka bukanlah bagian dari 130 etnis kami,” ujar Menteri Urusan Perbatasan Myanmar Thein Htay, seperti dikutip DPA, Selasa (31/7/2012).
Sebelumnya Presiden Myanmar Thein Sein juga belum bisa menerima warga Rohingya sebagai warga negaranya. Thein Sein sempat menganjurkan deportasi untuk warga tidak bernegara itu.
“Sangatlah tidak mungkin untuk menerima warga Rohingya yang merupakan imigran gelap,” ujar Thein Sein.
Ketika insiden konflik komunal terjadi di Arakan dan menewaskan 80 orang, Myanmar menangkap tiga orang petugas Badan PBB untuk urusan pengungsi (UNHCR). Ketiga petugas UNHCR itu diduga terlibat dalam insiden kerusuhan.
Selama ini, Thein Sein pun menyarankan UNHCR agar menempatkan warga Rohingya di luar Myanmar atau membentuk kamp penampungan untuk mereka. Dan tepat ketika utusan PBB datang ke Myanmar, Pemerintah Myanmar menampik keras peristiwa pembantaian itu.
Pemerintah Myanmar juga mengklaim, kekerasan yang terjadi di Negara Bagian Arakan sudah terpolitisasi. Insiden itu tidak berkaitan dengan adanya diskriminasi keagamaan.
Sejak 1982 silam, Pemerintah Myanmar mulai melakukan klasifikasi etnis dan memandang 750 ribu warga Rohingya di Arakan sebagai warga Muslim etnis Benggala. Mereka pun disika dan didiskriminasikan.
Nama Rohingya diambil dari bahasa Arab, Rahma, yang berarti pengampunan. Menurut estimasi, sekira 30 ribu warga Rohingya hidup di kamp penampungan UNHCR yang ada di Bangladesh. Mereka lari dari negaranya ketika konflik antar-agama berlangsung.(AUL)
Sumber: http://international.okezone.com/read/2012/07/31/411/671345/myanmar-kami-tak-akui-rohingya-sebagai-warga
.
Minggu, 29 Juli 2012 15:58:58
Bangladesh: Rohingya bukan urusan kami
Perdana Menteri Bangladesh, Sheikh Hasina, menyatakan negaranya tidak ingin ikut campur soal nasib pengungsi Rohingya. Kekerasan dua bulan terakhir yang menimpa etnis minoritas itu bagi dia urusan pemerintah Myanmar.
Diwawancara saat menghadiri pembukaan Olimpiade 2012 di London, kemarin, Hasina menilai negaranya saja sudah kelebihan penduduk sehingga tidak bisa menampung tambahan pengunsi Rohingya. “Kenapa soal Rohingya ditanyakan pada saya? Di Bangladesh sudah ada 300 ribu pengungsi, kami tidak bisa menerima lebih dari itu,” ujar Hasina, seperti dilansir harian the Daily Star, Minggu (29/7).
Etnis Rohingya tinggal di perbatasan Myanmar dan Bangladesh sejak wilayah itu masih menjadi jajahan Inggris. Namun, saat kedua negara itu merdeka, mereka mendapat perlakuan buruk.
Walau sama-sama beragama muslim, etnis Bengal selaku mayoritas di Bangladesh enggan mengurus mereka. Hal ini menyebabkan banyak keluarga Rohingya nekat menetap di Myanmar.
Padahal sejak pemberontakan Jenderal Ne Win pada 1962, pemerintah Myanmar – saat itu masih bernama Burma – menolak memberi warga Rohingya kewarganegaraan. Alhasil, mereka tidak bisa bekerja, bersekolah, dan memiliki tempat tinggal.
Menanggapi tudingan tentara Bangladesh menyiksa pengungsi tambahan Rohingya, Hasina marah dan membantahnya. Dia menyatakan militer negaranya hanya menyuruh mereka kembali lantaran tidak ada tempat lagi tersedia. “Tentara Bangladesh di perbatasan memperlakukan mereka manusiawi. Kami memberi mereka makan, obat, bahkan uang. Namun memang kami minta mereka kembali ke Myanmar, ke rumah mereka,” kata Hasina.
Dia juga enggan menilai apakah Myanmar melakukan kejahatan kemanusiaan di Provinsi Rakhine sebulan terakhir. “Saya tekankan, orang Rohingya penduduk Myanmar, itu urusan mereka,” ujar perdana menteri perempuan ini.
Berdasarkan catatan pemerintah Myanmar, sejak insiden kekerasan pertama kali terjadi, sebanyak 78 warga Rohingya tewas, sementara 90 ribu penduduk minoritas itu kehilangan rumah dan harus hidup di penampungan. Dari data tidak resmi, korban tewas hampir pasti mencapai 650 jiwa. Beberapa sumber bahkan menyebut ribuan muslim Rohingya tewas selama dua bulan terakhir.
Sumber: http://www.merdeka.com/dunia/bangladesh-rohingya-bukan-urusan-kami.html
.
Berikut adalah teks lengkap dari wawancara yang unggah di situs Al Jazeera.
Hasina: Terserah pemerintah mereka, jadi Anda harus menekan atau Anda harus berbicara dengan pemerintah Myanmar, bukan ke Bangladesh. Ini bukan tanggung jawab orang Bangladesh, kan?
Al Jazeera: Mereka dalam situasi putus asa dan pasti ada rasa kemanusiaan, ada prinsip-prinsip dasar, prinsip kemanusiaan, prinsip-prinsip moral yang membuat Anda membantu mereka.
Hasina: Bangladesh adalah sebuah negara yang sudah kelebihan penduduk, kita tidak bisa menanggung beban ini. Anda harus menyadarinya. Tapi sekarang beberapa hal sudah membaik., sehingga tidak ada lagi pengungsi yang datang ke Bangladesh.
Al Jazeera: Tapi dalam dua bulan terakhir, kita telah melihat foto-foto penjaga perbataan Bangladesh mendorong orang Rohingya kembali ke Myanmar. Ini sama saja dengan menempatkan mereka dalam bahaya.
Hasina: Tidak, dengarkan, dengarkan. Penjaga perbatasan Bangladesh memperlakukan mereka dengan manusiawi. Mereka menyediakan makanan, obat-obatan , dan uang, dan membolehkan mereka untuk kembali ke rumah mereka sendiri.
Al Jazeera: Tidak membolehkan, tetapi mereka memaksa orang Rohingya untuk kembali ke Myanmar.
Hasina: Tidak, itu tidak benar. Mereka tidak memaksa orang Rohingya. Mereka meyakinkan bahwa, orang Rohingya harus kembali ke negara mereka dan mereka kembali.
Al Jazeera: Perdana menteri, Anda tahu benar bahwa mereka sedang dianiaya di negara mereka sendiri, mereka mencoba melarikan diri dan mereka ditolak masuk ke negara Anda.
Hasina: Nah, mengapa kita harus membiarkan mereka masuk ke negara kita? Kami hanya meminta pengertian mereka, dan kami memberikan mereka segala apa yang mereka butuhkan. Mengapa Anda menanyakan pertanyaan ini? Anda harus menanyakan pertanyaan ini kepada pemerintah Myanmar. Ini bukan tanggung jawab kami, ini adalah tanggung jawab Myanmar.
Al Jazeera: Dan apakah Anda pernah menyatakan keprihatinan Anda kepada pemerintah Myanmar tentang bagaimana Rohingya diperlakukan di negara bagian Arakan?
Hasina: Tentu saja, kita lakukan.
Al Jazeera: Dan apa yang mereka katakan?
Hasina: Ya, katanya mereka menciptakan suasana menyenangkan, mereka menyediakan semua bantuan, semuanya.
Al Jazeera: Apakah Anda benar-benar mempercayai itu?
Hasina: Ya, kenapa tidak?
Al Jazeera: Apakah menurut Anda Rohingya diperlakukan dengan adil di negara bagian Arakan?
Hasina: Ah, saya mengatakan kepada Anda bahwa itu adalah warga negara mereka! Jadi, terserah kepada merekalah.
Sumber: http://web.inilah.com/read/detail/1888463/bangladesh-tak-kuasa-lagi-tampung-muslim-rohingya
.
Inilah Siasat Myanmar untuk Usir Rohingnya
Selasa, 31 Juli 2012 | 06:00 WIB
INILAH.COM, Muslim Rohingya di Myanmar terus menerus mendapat perlakuan diskriminatif dari pemerintah Myanmar. Ribuan orang telah menjadi korban pembunuhan oleh sekelompok orangyang didukung militer Myanmar (dulu bernama Burma).
Pemerintah pimpinan Presiden Thein Sein berdalih mereka bukanlah warga Myanmar sehingga layak mendapat perlakuan seperti itu. Ketika mendapat tekanan dari dunia, Myanmar berdalih bahwa pihaknya tidak diskriminatif dan kehadiran etnis lain bukan masalah.
Mereka berdalih mau mengakui Rohingnya sebagai warga Mynmar, hanya kepada mereka yang sudah berdiam di wilayah itu sebelum kemerdekaan Myanmar pada 1948. Persoalannya, siapa yang bisa menunjukkan seseorang sudah berdiam di sana sebelum 1948 karena selama ini tidak ada catatan mengenai status mereka, meskipun sebenarnya mereka sudah berada di sana sejak sebelum 1948.
Itu tentu tidak terlepas dari sejarah yang menyertainya. Rohingnya adalah kelompok Muslim yang mendiami wilayah Rakhine di Myanmar Selatan. Berdasarkan catatan sejarah, keberadaan mereka berawal dari kehadiran pedagang Arab Muslim yang berdiam di sana pada abad ke-7.
Sejak saat itu, wilayah Rakhine dihuni oleh banyak pendatang yang berdagang, termasuk dari Bengali di Bangladesh. Berabad-abad kemudian, banyak pendatang Muslim yang menetap di sana, termasuk keturunan dari Bengali. Hal itu terus berlangsung hingga setelah kemerdekaan Myanmar pada 1948.
Berdasarkan hukum yang berlaku di Myanmar, warga negara Myanmar adalah mereka yang sudah berdiam di wilayah itu sebelum 1948. Sedangkan mereka yang datang sesudahnya dianggap sebagai pendatang haram.
Undang-undang inilah yang dijadikan siasat oleh Mynamar untuk mengusir orang-orang Rohingnya. Masalahnya, tidak ada catatan yang menunjukkan siapa yang berhak menjadi warga negara dan yang bukan. Kini, semua Rohingnya dipandang sama. Mereka yang berhak menjadi warga negara pun berbaur dengan yang dianggap ilegal dan sama-sama mendapat tekanan dari pemerintah Myanmar.
Akibatnya, banyak orang Rohingya mengungsi ke Bangladesh sejak era 1980-1990, termasuk mereka yang seharusnya berhak menjadi warga negara Myanmar. Ini dilakukan karena mereka juga mendapat siksaan dan perlakuan yang sama dengan Rohingya lainnya.
Kelompok masyarakat yang mayoritas beragama Budha enggan menerima mereka dan memperlakukan Rohingya dengan buruk. Pembantaian dilakukan oleh kelompok yang mendapat suplai senjata dari militer. Bahkan, sebuah kelompok pelindung hak asasi manusia menyebutkan, aparat keamanan juga terlibat dalam penyerangan yang terjadi sejak Juni 2012.
Kebencian kelompok Budha terhadap sudah berlangsung lama. Bahkan berdasarkan catatanImages Asia: Report on The Situation for Muslims in Burma, Mei 1997 terdapat upaya sejumlah kelompok untuk menebar kebencian kepada Muslim. Alasannya, bukan tidak mungkin suatu saat Muslim akan menguasai Burma.
Itu antara lain terlihat dari sebuah pamplet yang menyatakan, “….Malaysia dan Indonesia pernah menjadi negara Budha dalam sejarah, namun sayangnya kelompok Muslim menerapkan metode untuk mengembangkan agamanya dan berhasil sehingga Malaysia dan Indonesia menjadi negara Muslim; Budha hilang dari negara tersebut…. Karena itu, empat tujuan pemerintahan Burma (State Law and Order Restoration Council/SLORC) harus ditegakkan. …“
Empat tujuan yang dimaksud adalah, pertama, menegakkan moral dan etika, Kedua, memelihara budaya, warisan sejarah, rasa kebangsaan (Burma) dan karakter nasional. Ketiga, menegakkan patriotisme, Keempat, menerapkan solidaritas dan standar pendidikan dan pelayanan kesehatan.
Kebencian itu sudah berlangsung lama dan hanya tinggal menunggu waktu untuk terjadi lagi penganiayaan terhadap Muslim Rohingnya. “Banyak prasangka, rasisme laten, atau apapun namanya, terhadap kelompok Rohingnya di dalam Myanmar dan sedang terjadi saat ini. Ini sulit dihilangkan, ini sudah menjadi semacam bom waktu dan bisa meledak setiap saat,” ujar Brad Adam dari Human Rights Watch.
Sementara itu, pemerintah Myanmar tetap berdiam diri dan seolah-olah menganggap tidak terjadi apa-apa. PBB juga terlambat menyatakan sikapnya dan baru setelah jatuh korban, PBB mengeluarkan seruan untuk menurunkan tim investigasi. ** disarikan dari berbagai sumber [tjs]
Sumber: http://web.inilah.com/read/detail/1888819/inilah-siasat-myanmar-untuk-usir-rohingnya
.
Suu Kyi Emoh Dukung Rohingya
web – Sabtu, 28 Juli 2012 | 16:10 WIB
INILAH.COM, Yangoon – Pemimpin oposisi Myanmar Aung San Suu Kyi dikritik oleh pendukungnya sendiri karena ikon demokrasi itu enggan membuat pernyataan sehubungan dengan penindasan yang dilakukan militer terhadap etnis Rohingya.
Kelompok aktivis yang mendukung Suu Kyi menuduh ikon HAM itu berdiam diri terhadap isu kemanusiaan dan perlakukan buruk oleh tentara pemerintah terhadap etnis Rohingya. PBB menganggap Rohingya adalah etnis paling teraniaya di dunia.
Suu Kyi juga dikritik sengaja menghindar mengomentari isu yang telah berlangsung selama delapan minggu di negeri Rakhine, Myanmar barat. Ratusan orang dilaporkan tewas dan puluhan ribu lagi penduduk terpaksa mengungsi dari rumah mereka. Laporan lain menyatakan pihak militer memukul, mengancam dan membunuh etnis Rohingya.
Suu Kyi juga enggan mengkritik Presiden Thein Sein. Padahal tindakan mantan jenderal militer itu mendukung kebijakan yang mendorong terjadinya penghapusan etnis. Thein Sein mengatakan, sekitar 800.000 etnis Rohingya harus ditempatkan pada kamp pengungsi dan dikirim ke perbatasan Bangladesh.
Direktur Eksekutif Kampanye Myanmar-Inggris, Anna Roberts mengatakan, Suu Kyi berada dalam situasi sulit, namun orang banyak kecewa karena ia tidak menyatakan sikapnya berhubung isu Rohingya. “Suu Kyi melepaskan peluang untuk membangkitkan isu mengenai HAM,” kata Brad Adams, Direktur Pemerhati HAM Asia.
Ketika ditanya tentang isu Rohingya, Suu Kyi dalam pernyataan kurang jelas menyatakan pentingnya ‘menghormati kedaulatan hukum’ atau hukum imigrasi perlu direformasi menjadi yang lebih jelas. Pendirian yang kabur itu, menunjukkan bahwa Suu Kyi menganggap etnis Rohingya Islam itu sebagai pendatang haram.
Pada ucapan pertamanya di Parlemen pada Rabu pekan ini, Suu Kyi menegaskan tentang pentingnya melindungi hak asasi kelompok minoritas yang lebih mengacu kepada kelompok penganut Buddha di Karen dan Shan.
Suu Kyi tidak menyebutkan kekerasan komunal bulan lalu di Myanmar bagian barat antara Rakhine yang beragama Buddha dan kaum Rohinya Muslim yang memangsa sedikitnya 78 orang tewas dan memicu tindak kerasan tentara pemerintah.
Peraih hadiah Nobel Perdamaian itu memang telah lama memperjuangkan hak-hak minoritas etnis, termasuk etnis Shan, Karen dan Kachin, tetapi dikritik oleh kelompok hak asasi karena tidak menjanjikan dukungan kuat untuk etnis Rohingya.
Kebanyakan orang menganggap Rohingya Myanmar dikembalikan saja ke Bangladesh. Diperkirakan 800.000 Rohingya hidup di negara bagian Rakhine di Myanmar dan setidaknya 200.000 lebih di Bangladesh. Mereka tidak diakui oleh kedua negara. [Dari berbagai kantor berita asing]
Sumber: http://web.inilah.com/read/detail/1887903/suu-kyi-emoh-dukung-rohingya
Tags
SEJARAH