PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIOAL MELALUI MAHKAMAH INTERNATIONAL


PENYELESAIAN SENGKETA
INTERNASIOAL MELALUI MAHKAMAH INTERNATIONAL


Upaya untuk menyelesaikan sengketa-sengketa internasional dilakukan sedini mungkin dengan cara yang seadil-adilnya bagi para pihak yang terlibat. Upaya ini merupakan tujuan hukum internasional sejak lama dengan kaidah-kaidah serta prosedur-prosedur yang terkait. Sebagian kaidah dan dan prosedur hukum internasional merupakan kebiasan dan praktik, tetapi sebagian lagi merupakan sejumlah konvensi yang membuat hukum yang sangat penting. Misalnya Konvensi[1] Den Haag 1899 dan 1907 dalam hal penyelesaian seacara damai sengketa-sengketa internasional dan Charter Perserikatan Bangsa-bangsa yang dirumuskan di San Francisco tahun 1945. Salah satu dari tujuan pokok charter tersebut adalah membentuk organisasi persetujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mempermudah penyelesaian secara damai mengenai perselisihan antara negara-negara di dunia. Hal inipun merupakan tujuan dari Liga Bangsa-Bangsa selama periode aktivitasnya di antara dua Perang Dunia.
Dalam penyelesaian sengketa Mahkamah Internasional dapat menggunakan istilah  :
1.            Ajudikasi : teknik penyelesaian sengketa dengan menyerahkan putusan kepada lembaga peradilan.
2.            Ex Aequo et bono : didasarkan pada keadilan dan kebaikan bukan didasarkan pada hukum (atas dasar kesepakatan negara yang bersengketa).
3.            Advisory opinion : opini hukum yang dibuat pengadilan untuk menyelarasi permasalahan  yang diajukan oleh lembaga berwenang.
4.            Compromis : kesepakatan bersama pihak yang bersengketa.
5.            Compulsory jurisdiction : peradilan internasional mendengarkan dan memutuskan keputusan tanpa memerlukan kesepakatan terlebih dahulu dari pihak yang terlibat.
Ada dua mekanisme penyelesaian sengketa internasional melalui Mahkamah internasional, yaitu mekanisme normal dan khusus.

·         Mekanisme Normal :
1.    Penyerahan perjanjian khusus yng berisi tdentitas para pihak dan pokok persoalan sengketa.
2.    Pembelaan tertulis, berisi fakta, hukum yang relevan, tambahan fakta baru, penilakan atas fakta yang disebutkan dan berisi dokumen pendukung.
3.    Presentasi pembelaan bersifat terbuka dan umum atautertutup tergantung pihak sengketa.
4.    Keputusan bersifat menyetujui dan penolakan.  Kasus internasional dianggap selesai apa bila :
*       
*      Para pihak mencapai kesepakatan
*      Para pihak menarik diri dari prose persidangan Mahkamah internasional.
Mahkamah internasional telah memutus kasus tersebut berdasarkan pertimbangan dan telah dilakukan ssuai proses hukum internasional yang berlaku.


·         Mekanisme Khusus :

1.    Keberatan awal karena ada keberatan dari pihak sengketa Karen mahkamah intrnasional dianggap tidak memiliki yusidiksi atau kewenangan atas kasus tersebut.
2.    Ketidak hadiran salah satu pihak yang bersengketa, biasanya dilakukan oleh Negara tergugat atau respondent karena menolak yuridiksi Mahkamah Internasional.
3.    Keputusan sela, untuk memberikan perlindungan terhadap subyek persidangan, supaya pihak sengketa tidak melakukan hal-hal yang mengancah efektivitas persidangan Mahkamah internasional.
4.    Beracara bersama, beberapa pihak disatukan untuk mengadakan sidang bersama karena materi sama terhadap lawan yang sama.
lain  yang tidak terlibat dalam sengketa untuk melakukan intervensi atas sengketa yangsedang disidangkan bahwa dengan keputusan Mahkamah internasional ada kemungkinan Negara tersebut dirugikan.
digolongkan dalam dua kategori, yaitu sebagai berikut.
a.     Cara-cara penyelesaian damai, yaitu apabila para pihak telah dapat menyepakati untuk menemukan suatu solusi yang bersahabat.
b.     Cara-cara penyelesaian secara paksa atau dengan kekerasan, yaitu apabila solusi yang dipakai atau dikenakan adalah melalui kekerasan.
Piagam Mahkamah Internasional (Statute of the International Court of Justce ) Pasal 38 ayat 1 menegaskan bahwa Mahkamah Internasional mengakui bahwa dalam menimbang dan memutuskan suatu perselisihan dapat menggunakan beberapa pedoman[3], antara lain sebagai berikut ;
a.    Perjanjian Internasional (international conventions), baik yang bersifat umum, maupun khusus;
b.     Kebiasaan Internasional (international custom);
c.      Asas-asas hukum (general principles of law) yang diakui oleh bangsa-bangsa atau negara-negara beradab;
d.     Keputusan Hakim (judicial decision) dan pendapat para ahli yang telah diakui kepakarannya, yang merupakan sumber hukum internasional tambahan.
e.      Pendapat-pendapat
Prosedur penyelsaian sengketa internasional diajukan oleh negara-negara yang bersengketa melalui pewakilannya di PBB, kemudian diajukan ke Mahkamah Internasional. Kemudian Mahkamah Internasional yang menyelesaikan secara hukum internasional. Lebih lanjut prosedur penyelesaian sengketa internasional melalui Mahkamah Internasional adalah sebagai berikut.
a.     Wewenang Mahkamah Internasional
Mahkamah Internasional dapat mengambil tindakan sementara ialah tindakan yang diambil untuk melindungi hak-hak dan kepentingan pihak-pihak yang bersengketa sambil menunggu keputusan dasar atau penyelesaian lainnya yang akan ditentukan Mahkamah Internasional secara definitif[4] dalam bentuk ordonansi[5] diantaranya.
a.            ratione personae,
b.            kedudukan individu,
c.             kedudukan organisasi internasional
d.            Ratione materiae
e.            Kompromi Persyaratan

b.      Penolakan Hadir di Mahkamah Internasional
Pasal 53 statuta menyatakan bila salah satu pihak tidak muncul di Mahkamah Internasional atau tidak mempertahankan perkaranya, pihak lain dapat meminta Mahkamah Internasional mengambil keputusan mendukung tautannya. Misalnya ketidakhadiran Islandia dalam peristiwa wewenang di bidang penangkapan ikan, keputusan Mahkamah Internasional tanggal 25 Juli 1974. Selain itu contoh yang terjadi di Prancis 20 Desember 1974 dalam peristiwa uji coba nuklir, Turki dalam peristiwa Landasan Kontinen Laut Egil 19 Desember 1978, Iran dalam peristiwa personel Diplomatik dan Konsuler Amerika Serikat di Teheran 21 Mei 1980. Dan Amerika Serikat 27 Juli 1986 dalam aktivitas militer kontra Nikaragua.
Keputusan-keputusan Mahkamah Internasional merupakan pengadilan tertinggi di dunia internasional dan untuk kepentingan bangsa-bangsa di dunia, maka sudah selayaknya setiap bangsa[6] termasuk inividunya harus mendukung.
Agar mengambil keputusan Mahkamah Internasional dapat ditempuh dengan cara voting atau dengan suara terbanyak dari hakim-hakim yang hadir. Jika dalam mengambil keputusan terdapat persamaan jumlah suara, maka suara ketua atau wakilnya yang kan menentukannya.
Keputusan Mahkamah terdiri atas tiga bagian, yaitu sebagai berikut.
1)    Informasi dari ketua[7] atau wakil-wakilnya, analisa mengenai fakta-fakta, dan argumentasi hukum pihak-pihak yang bersengketa.
2)    Penjelasan mengenai motivasi Mahkamah Internasional
3)    Dispositif, yaitu berisikan keputusan Mahkamah Internasional yang merugikan negara-negara yang bersengketa.
4)    Penyampaian pendapat yang terpisah
Penyampaian pendapat terpisah ialah bila suatu keputusan tidak mewakili seluruh atau hanya sebagian dari pendapat bulat para hakim, maka hakim-hakim yang lain berhak memberikan pendapatnya secara terpisah (pasal 57 statuta). Pendapat terpisah ini juga disebut dissenting opinion artinya pendapat seorang hakim yang tidak menyetujui suatu keputusan dan menyatakan keberatan terhadap motif-motif yang diberikan dalam keputusan tersebut. Jadi, pendapat terpisah adalah pendapat hakim yang tidak setuju dengan keputusan yang diambil oleh kebanyakan hakim. Keputusan tersebut dapat dianggap pengutaraan resmi pendapat pendapat terpisah. Hal ini akan melemahkan kekuatan keputusan Mahkamah Internasional walaupun di lain pihak akan menyebabkan hakim-hakim mayoritas berhati-hati dalam memberikan motig keputusan mereka.
Bila suatu keputusan Mahkamah Internasional tidak dilaksanakan, maka Dewan[8]Keamanan PBB dapat mengusulkan tindakan-tindakan yang akan menjamin pelaksanaan keputusan. Hal ini sebagaimana telah dijelaskan dalam pasal 94 piaham PBB.
Mahkamah Internasional juga sebenarnya bisa mengajukan keputusan ex aequo et bono, yaitu didasarkan pada keadilan dan kebaikan, dan bukan berdasarkan hukum, namun hal ini bisa dilakukan jika ada kesepakatan antar negara-negara yang bersengketa. Keputusan Mahkamah Internasional sifatnya final, tidak dapat banding dan hanya mengikat para pihak. Keputusan juga diambil atas dasar suara mayoritas.
Yang dapat menjadi pihak hanyalah negara, namun semua jenis sengketa dapat diajukan ke Mahkamah Internasional.
Masalah pengajuan sengketa bisa dilakukan oleh salah satu pihak secara unilateral, namun kemudian harus ada persetujuan dari pihak yang lain. Jika tidak ada persetujuan, maka perkara akan di hapus dari daftar Mahkamah Internasional, karena Mahkamah Internasional tidak akan memutus perkara secara in-absensia (tidak hadirnya para pihak).
Mahkamah Internasional dalam sengketa apabila dia merupakan pihak.
2)    Bila negara pihak suatu sengketa tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban yang dibebankan Mahkamah Internasional kepadanya, negara pihak lain dapat mengajukan persoalannya ke depan Dewan Keamanan. Kalau perlu dapat membuat rekomendasi-rekomendasi atau memutuskan tindakan-tindakan yang akan diambil supaya keputusan tersebut dilaksanakan.
PENYELESAIAN SENGKETA SECARA DIPLOMATIK

Kedamaian dan keamanan internasional hanya dapat diwujudkan apabila tidak ada kekerasan yang digunakan dalam menyelesaikan sengketa, yang ditegaskan dalam pasal 2 ayat (4) Piagam. Penyelesaian sengketa secara damai ini, kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam pasal 33 Piagam yang mencantumkan beberapa cara damai dalam menyelesaikan sengketa.
Seperti yang telah dijelaskan di atas, yang termasuk ke dalam penyelesaian sengketa secara diplomatik adalah negosiasi, enquiry atau penyelidikan, mediasi, konsiliasi, dan good offices atau jasa-jasa baik. Kelima metode tersebut memiliki ciri khas, kelebihan, dan kekurangan masing-masing.


a)    Negosiasi
Negosiasi merupakan cara penyelesaian sengketa secara damai yang cukup lama dipakai. Sampai pada permulaan abad ke-20, negosiasi menjadi satu-satunya cara yang dipakai dalam penyelesaian sengketa. Sampai saat ini cara penyelesaian melalui negosiasi biasanya adalah cara yang pertama kali ditempuh oleh para pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa ini dilakukan secara langsung oleh para pihak yang bersengketa melalui dialog[9] tanpa ada keikutsertaan dari pihak ketiga. Dalam pelaksanaannya, negosiasi memiliki dua bentuk utama, yaitu bilateral dan multilateral. Negosiasi dapat dilangsungkan melalui saluran diplomatik pada konferensi internasional atau dalam suatu lembaga atau organisasi internasional.

Dalam praktek negosiasi, ada dua bentuk prosedur yang dibedakan. Yang pertama adalah negosiasi ketika sengketa belum muncul, lebih dikenal dengan konsultasi. Dan yang kedua adalah negosiasi ketika sengketa telah lahir.

Keuntungan yang diperoleh ketika negara yang bersengketa menggunakan mekanisme negosiasi, antara lain :

(1)       Para pihak memiliki kebebasan untuk menentukan penyelesaian sesuai dengan kesepakatan diantara mereka.
(2)       Para pihak mengawasi dan memantau secara langsung prosedur penyelesaiannya.
(3)       Dapat menghindari perhatian publik dan tekanan politik dalam negeri.
(4)       Para pihak mencari penyelesaian yang bersifat win-win solution, sehingga dapat diterima dan memuaskan kedua belah pihak
b)    Enquiry atau Penyelidikan
J.G.Merrills menyatakan bahwa salah satu penyebab munculnya sengketa antar negara adalah karena adanya ketidaksepakatan para pihak mengenai fakta[10]. Untuk menyelesaikan sengketa ini, akan bergantung pada penguraian fakta-fakta para pihak yang tidak disepakati. Untuk menyelesaikan sengketa tersebut, para pihak kemudian membentuk sebuah badan yang bertugas untuk menyelidiki fakta-fakta yang terjadi di lapangan. Fakta-fakta yang ditemukan ini kemudian dilaporakan kepada para pihak, sehingga para pihak dapat menyelesaikan sengketa diantara mereka.
Dalam beberapa kasus, badan yang bertugas untuk menyelidiki fakta-fakta dalam sengketa internasional dibuat oleh PBB[11]Namun dalam konteks ini, enquiry yang dimaksud adalah sebuah badan yang dibentuk oleh negara yang bersengketa. Enquiry telah dikenal sebagai salah satu cara untuk menyelesaikan sengketa internasional semenjak lahirnya The Hague Convention pada tahun 1899, yang kemudian diteruskan pada tahun 1907.


c)    Mediasi
Ketika negara-negara yang menjadi para pihak dalam suatu sengketa internasional tidak dapat menemukan pemecahan masalahnya melalui negosiasi, intervensi[12]yang dilakukan oleh pihak ketiga adalah sebuah cara yang mungkin untuk keluar dari jalan buntu perundingan yang telah terjadi dan memberikan solusi yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Pihak ketiga yang melaksanakan mediasi ini tentu saja harus bersifat netral dan independen. Sehingga dapat memberikan saran yang tidak memihak salah satu negara pihak sengketa.

Intervensi yang dilakukan oleh pihak ketiga ini dapat dilakukan dalam beberapa bentuk. Misalnya, pihak ketiga memberikan saran kepada kedua belah pihak untuk melakukan negosiasi ulang, atau bisa saja pihak ketiga hanya menyediakan jalur komunikasi tambahan.

Dalam menjalankan tugasnya, mediator tidak terikat pada suatu hukum acara tertentu dan tidak dibatasi pada hukum yang ada. Mediator dapat menggunakan asas ex aequo et bono untuk menyelesaikan sengketa yang ada.



Pelaksanaan mediasi dalam penyelesaian sengketa internasional diatur dalam beberapa perjanjian internasional, antara lain The Hague Convention 1907; UN Charter; The European Convention for the Peaceful Settlement of Disputes.


d)    Konsiliasi
Sama seperti mediasi, penyelesaian sengketa melalui cara konsiliasi menggunakan intervensi pihak ketiga. Pihak ketiga yang melakukan intervensi ini biasanya adalah negara, namun bisa juga sebuah komisi yang dibentuk oleh para pihak. Komisi konsiliasi yang dibentuk oleh para pihak dapat saja terlembaga atau bersifat ad hoc, yang kemudian memberikan persyaratan penyelesaian yang diterima oleh para pihak. Namun keputusan yang diberikan oleh komisi konsiliasi ini tidak mengikat para pihak.

Pada prakteknya, proses penyelesaian sengketa melalui konsiliasi mempunyai kemiripan dengan mediasi. Pembedaan yang dapat diketahui dari kedua cara ini adalah konsiliasi memiliki hukum acara yang lebih formal[13] jika dibandingkan dengan mediasi. Karena dalam konsiliasi[14] ada beberapa tahap yang biasanya harus dilalui, yaitu penyerahan sengketa kepada komisi konsiliasi, kemudian komisi[15] akan mendengarkan keterangan lisan para pihak, dan berdasarkan fakta-fakta yang diberikan oleh para pihak secara lisan tersebut komisi konsiliasi akan menyerahkan laporan kepada para pihak disertai dengan kesimpulan dan usulan penyelesaian sengketa.
Jasa-jasa baik adalah cara penyelesaian sengketa melalui bantuan pihak ketiga. Pihak ketiga berupaya agar para pihak yang bersengketa menyelesaikan sengketanya dengan negosiasi. Menurut pendapat Bindschedler, yang dikutip oleh Huala Adolf, jasa baik dapat didefinisikan sebagai berikut: the involvement of one or more States or an international organization in a dispute between states with the aim of settling it or contributing to its settlement.

Pada pelaksanaan di lapangan, jasa baik dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu jasa baik teknis (technical good offices), dan jasa baik politis (political good offices). Jasa baik teknis adalah jasa baik oleh negara atau organisasi internasional dengan cara mengundang para pihak yang bersengketa ikut serta dalam konferensi atau menyelenggarakan konferensi. Tujuan dari jasa baik teknis ini adalah mengembalikan atau memelihara hubungan atau kontak langsung di antara para pihak yang bersengketa setelah hubungan diplomatik mereka terputus. Sedangkan jasa baik politis adalah jasa baik yang dilakukan oleh negara atau organisasi internasional yang berupaya menciptakan suatu perdamaian atau menghentikan suatu peperangan yang diikuti dengan diadakannya negosiasi atau suatu kompetensi.

yang telah dijelaskan, negosiasi memegang peranan utama dalam penyelesaian sebuah sengketa. Karena penggunaan prosedur ini memang tidak memiliki resiko yang cukup tinggi.

Penyelesaian sengketa secara diplomatik memang menekankan kepada penyelesaian sengketa secara damai dan tidak menggunakan kekerasan. Berdasarkan hal inilah negara-negara dalam praktek hukum internasional, memberikan dasar hukum pelaksanaan penyelesaian sengketa secara diplomatik melalui berbagai perjanjian internasional.

Penyelesaian sengketa internasional secara diplomatik ini ditempatkan sebagai prioritas penyelesaian sengketa oleh masyarakat internasional. Apabila cara diplomatik ini gagal, penyelesaian sengketa secara hukum barulah ditempuh.

Penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh Indonesia dan Malaysia dalam menentukan kedaulatan di Pulau Sipadan dan Ligitan merupakan suatu cara penyelesaian sengketa secara damai, dimana Indonesia dan Malaysia memilih Mahkamah Internasional untuk menyelesaikan sengketa ini, dasar hukum di dalam penyelesaian sengketa ini adalah pasal 2 ayat 3 dan pasal 33 Piagam PBB. Sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan disebabkan karena adanya ketidakjelasan garis perbatasan yang dibuat oleh Belanda dan Inggris yang merupakan negara pendahulu dari Indonesia dan Malaysia di perairan timur Pulau Borneo, sehingga pada saat Indonesia dan Malaysia berunding untuk menentukan garis perbatasan kedua negara di Pulau Borneo, masalah ini muncul karena kedua pihak saling mengklaim kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Ligitan.

Berbagai pertemuan bilateral dilakukan oleh kedua negara dalam upaya melakukan pemecahan atas sengketa ini namun sengketa ini tidak dapat diselesaikan, sehingga kedua negara sepakat untuk menyerahkan penyelesaian sengketa ini kepada Mahkamah Internasional. Berbagai macam argumentasi dan bukti yuridis dikemukakan kedua pihak dalam persidangan di Mahkamah Internasional, dan pada akhirnya Mahkamah Internasional memutuskan bahwa kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Ligitan merupakan milik Malaysia atas dasar prinsip okupasi, dimana Malaysia dan Inggris sebagai negara pendahulu lebih banyak melaksanakan efektifitas di Pulau Sipadan dan Ligitan.



PENYELESAIAN SENGKETA SECARA HUKUM
Penyelesaian sengketa melalui jalur hukum atau judicial settlement juga dapat menjadi pilihan bagi subyek hukum internasional yang bersengketa satu sama lain. Bagi sebagian pihak, bersengketa melalui jalur hukum seringkali menimbulkan kesulitan, baik dalam urusan birokrasi maupun besarnya biaya yang dikeluarkan. Namun yang menjadi keuntungan penyelesaian sengketa jalur hukum adalah kekuatan hukum yang mengikat antara masing-masing pihak yang bersengketa.
Hukum internasional telah mengenal arbitrase[16] sebagai alternatif penyelesaian sengketa, dan cara ini telah diterima oleh umum sebagai cara penyelesaian sengketa yang efektif dan adil. Para pihak yang ingin bersengketa dengan menggunakan metode arbitrase dapat menggunakan badan arbitrase yang telah terlembaga, atau badan arbitrase ad hoc. Meskipun dianggap sebagai penyelesaian sengketa internaisonal melalui jalur hukum, keputusan yang dihasilkan oleh badan arbitrase tidak dapat sepenuhnya dijamin akan mengikat masing-masing pihak, meskipun sifat putusan arbitrase pada prinsipnya adalah final dan mengikat.

Arbitrase internasional adalah suatu bentuk atau cara penyelesaian secara damai sengketa internacional yang dirumuskan dalam suatu keputusan oleh arbitrator yang dipilih oleh pihak-pihak yang bersengketa.

Penyelesaian melalui badan arbitrase internacional biasanya menyerahkan masalah kepada orang-orang tertentu yang dinamakan arbitrator yang dipilih secara bebas oleh pihak yang terlibat dalam masalah nasional.

Penyelesaian melalui badan arbitrase harus didasarkan pada rasa keadilan atau ex aequo et buno, dimana pengadilan-pengadilan arbitrasi harus menerapkan juga prinsip-prinsip hukum internasional.

Pada saat ini, terdapat sebuah badan arbitrase internasional yang terlembaga, yaitu Permanent Court of Arbitration (PCA). Dalam menjalankan tugasnya sebagai jalur penyelesaian sengketa, PCA menggunakan UNCITRAL Arbitration Rules 1976.

Pengadilan arbitrase dilaksanakan oleh suatu “panel hakim” atau arbitrator yang dibentuk atas dasar persetujuan khusus para pihak, atau dengan perjanjian arbitrase yang telah ada. Persetujuan arbitrase tersebut dikenal dengan compromis (kompromi) yang memuat:

1. persetujuan para pihak untuk terikat pada keputusan arbitrase;
2. metode pemilihan panel arbitrase;
3. waktu dan tempat hearing (dengar pendapat);
4. batas-batas fakta yang harus dipertimbangkan, dan;
5. prinsip-prinsip hukum atau keadilan yang harus diterapkan untuk mencapai suatu kesepakatan. (Burhan Tsani, 1990, 214)

Masyarakat internasional sudah menyediakan beberapa institusi arbitrase internasional, antara lain:
1. Pengadilan Arbitrase Kamar Dagang Internasional (Court of Arbitration of the International Chamber of Commerce) yang didirikan di Paris, tahun 1919;
2. Pusat Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal Internasional (International Centre for Settlement of Investment Disputes) yang berkedudukan di Washington DC;
3. Pusat Arbitrase Dagang Regional untuk Asia (Regional Centre for Commercial Arbitration), berkedudukan di Kuala Lumpur, Malaysia;
4. Pusat Arbitrase Dagang Regional untuk Afrika (Regional Centre for Commercial Arbitration), berkedudukan di Kairo, Mesir. (Burhan Tsani; 216)
Selain arbitrase, lembaga lain yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan sengketa internasional melalui jalur hukum adalah pengadilan internasional. Pada saat ini ada beberapa pengadilan internasional dan pengadilan internasional regional yang hadir untuk menyelesaikan berbagai macam sengketa internasional. Misalnya International Court of Justice (ICJ), International Criminal Court, International Tribunal on the Law of the Sea, European
eksisnya Liga Bangsa-Bangsa, yaitu melalui Permanent Court of International Justice (PCIJ). Namun seiring dengan bubarnya LBB pasca Perang Dunia II, maka tugas dari PCIJ diteruskan oleh ICJ[17] sejalan dengan peralihan dari LBB kepada PBB.
Penyelesaian sengketa internasional melalui jalur hukum berarti adanya pengurangan kedaulatan terhadap pihak-pihak yang bersengketa. Karena tidak ada lagi keleluasaan yang dimiliki oleh para pihak, misalnya seperti memilih hakim, memilih hukum dan hukum acara yang digunakan. Tetapi dengan bersengketa di pengadilan internasional, maka para pihak akan mendapatkan putusan yang mengikat masing-masing pihak yang bersengket




MENGHARGAI KEPUTUSAN MAHKAMAH INTERNASIONAL
1.    Peran Mahkamah Internasional
Mahkamah[18] Agung Internasional atau biasa disebut Mahkamah Internasional, merupakan Mahkamah Pengadilan tertinggi di dunia. Pengadilan Internasional dapat mengadili semua perselisihan yang terjadi antara negara bukan anggota PBB. Dalam penyelesaian ini, jalan damai yang selaras dengan asas-asas keadilan dan hukum internasional yang digunakan. Mahkamah Internasional mengadili perselisihan kepentingan dan perselisihan hukum.
Mahkamah Internasional dalam mengadili suatu perkara, berpedoman pada perjanjian-perjanjian internasional (traktat-traktat dan kebiasaan-kebiasaan internasional) sebagai sumber-sumber hukum. Keputusan Mahkamah Internasional, merupakan keputusan terakhir walaupun dapat diminta banding[19].Selain Pengadilan Mahkamah Internasional, terdapat juga pengadilan arbitrasi Internasional. Arbitrasi Internasional hanya untuk perselisihan hukum, dan keputusan para arbitet tidak perlu berdasarkan peraturam-peraturan hukum.
Mahkamah Internasional dalam tugasnya untuk memeriksa perselisihan atau sengketa antara negara-negara anggota PBB yang diserahkan kepadanya, dapat, melakukan perannya untuk menyelesaikan sengketa-sengketa internasional. Hal ini dapat kita lihat pada contoh-contoh berikut ini ;
1.       Runtuhnya Federasi Yugoslavia (1992), melahirkan perang saudara di antara bekas negara anggotanya (Kroasia, Slovenia, Serbia, dan Bosnia Herzegovina). Namun pemerintahan Yugoslavia yang dulu dikuasai oleh Serbia, tidak membiarkan begitu saja sehingga terjadi pembersihan etnik (ethnic cleaning) terutama kepada etnik Kroasia dan  Bosnia. Campur tangan PBB melalui Mahkamah Internasinal yang didukung pasukan NATO, memaksa Serbia menghentikan langkah-langkah pembersihan etnik yang kemudian mengadili para penjahat perang. Mahkamah Internasional sangat aktif mengadili perkara kejahatan perang. Hingga sekarang proses tersebut masih terus berlangsung. (Kalimantan) antara Indonesia dan Malaysia yang tidak kunjung ada di titik temu, disepakati untuk dibawa ke Mahkamah Internasional. Setelah melalui perdebatan dan perjungan panjang pada awal 2003 Mahkamah Internasional memutuskan untuk memenangkan Malaysia sebagai pemilik sah pulau tersebut.
pembunuhan warga Filipina, membunuh dan membakar 600 rakyat desa itu. Para pelakunya telah di sidang di pengadilan militer namun banyak yang dibebaskan.

4.    Amerika serikat di Cina : pada tahun 1968 terjadi pristiwa My lai Massacre.  Kompi Amerika menyapu warga desa denga  senjata otomatis dan menewaskan 500 orang. Para pelakunya telah disidang dan dihukum.

5.    Amerika serikat di Jepang : pada tahun 1945 lebih dari 40.000 rakyat Jepang meninggal akibat Bom Atom.

6.    Pembersihan etnis yahudi oleh Nazi Di jerman atas pimpinan Adolf Hitler, Mahkamah Internasional telah mengadili  dan menhukum pelaku.

7.    Jepang banyak membunuh rakyat Indonesia dengan Kerja paksa dan 10.000 rakyat Indonesia hilang.  Pengadilan internasional telah dijalankan dan menghukum para penjahatnya.

8.    Pemerintah Rwanda terhadap etnik Hutu : Selama  tiga bulan di tahu 1994 antara 500 ribu samapai 1 juta orang etnik Hutu dan Tutsi telah dibunuh ioleh pemerintah Rwanda.  PBB menggelar pengadilan kejahatan perang di Arusha Tanzania dan hanya menyeret 29 penjahat perangnya.

9.    Kasus Timor Timur diselesaikan secara Intrnasional dengan referendum.  Dan sejak tahun 1999 Timor-Timur berdiri sebagai sebuah Negara bernama Republik Tomor Lorosae /Timor Leste.

Dari contoh kasus di atas Indonesia menyetujui hasil keputusan tersebut sebagai dukungan terhadap keputusan Mahkamah Internasional.

Prosedur penyelesaian kasus Hak Asasi Manusia (HAM) atau kejahatan humaniterdi suatu negara dapat dilakukan Mahkamah Internasional dengan melalui prosedur berikut.
a)    Apabila terjadi pelanggaran HAM atau kejahatan humaniter (kemanusiaan) di suatu negara terhadap negara lain atau rakyat negara lain atau rakyat negara lain, pengaduan disampaikan ke Komisi Tinggi HAM PBB atau melalui lembaga-lembaga HAM internacional lainnya oleh si korban (rakyat) dan pemerintahan negara yang menjadi korban. penyelidikan.
c)    Jika ditemui bukti-bukti  kuat terjadinya pelanggaran HAM atau kejahatan kemanusiaan lainnya, pemerintahan dari negara yang didakwa melakukan kejahatan humaniter dapat diajukan ke Mahkamah Internasional atau Pengadilan Internasional.
d)    Kemudian dilakukan proses peradilan sampai dijatuhkan sanksi
e)    Sanksi dapat dijatuhkan bila terbukti bahwa yang bersangkutan telah melakukan pelanggaran terhadap konvensi-konvensi internasional berkaitan dengan pelanggaran HAM atau kejahatan humaniter.
Selain dari prosedur di atas, rakyat suatu negara yang merasa mengalami pelanggaran HAM oleh pemerintahan juga dapat mengajukan pemerintahnya di ke Mahkamah Internasional atau Pengadilan Internasional dengan melalui prosedur berikut.
a)    Melaporkan pemerintahannya sebagai pelaku pelanggaran HAM atau kejahatan humaniter (kemanusiaan) di suatu negara kepada Komisi Tinggi HAM PBB atau melalui lembaga-lembaga HAM Internasional lainnya.
b)    Pengaduan ditinjaklanjuti dengan penyelidikan, pemeriksaan, dan penyidikan
c)    Jika ditemui cukup bukti terjadinya pelanggaran HAM atau kejahatan kemanusiaan lainnya, pemerintah negara yang bersangkutan dapat diajukan ke Mahkamah Internasional atau Pengadilan Internasional.
   


Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini. Kami banyak berharap para pembaca yang budiman dapat memberikan kritik dan saran yang membangun kepada kami demi sempurnanya makalah ini dan dan penulisan makalah di kesempatan – kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi kami pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.































Lebih baru Lebih lama