PENYELESAIAN SENGKETA
INTERNASIOAL MELALUI MAHKAMAH
INTERNATIONAL
Upaya untuk
menyelesaikan sengketa-sengketa internasional dilakukan sedini mungkin dengan
cara yang seadil-adilnya bagi para pihak yang terlibat. Upaya ini merupakan
tujuan hukum internasional sejak lama dengan kaidah-kaidah serta prosedur-prosedur
yang terkait. Sebagian kaidah dan dan prosedur hukum internasional merupakan
kebiasan dan praktik, tetapi sebagian lagi merupakan sejumlah konvensi yang
membuat hukum yang sangat penting. Misalnya Konvensi[1] Den
Haag 1899 dan 1907 dalam hal penyelesaian seacara damai sengketa-sengketa
internasional dan Charter Perserikatan Bangsa-bangsa yang dirumuskan di San
Francisco tahun 1945. Salah satu dari tujuan pokok charter tersebut adalah
membentuk organisasi persetujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mempermudah
penyelesaian secara damai mengenai perselisihan antara negara-negara di dunia.
Hal inipun merupakan tujuan dari Liga Bangsa-Bangsa selama periode aktivitasnya
di antara dua Perang Dunia.
Dalam penyelesaian
sengketa Mahkamah Internasional dapat menggunakan istilah :
1.
Ajudikasi
: teknik penyelesaian sengketa dengan menyerahkan putusan kepada lembaga
peradilan.
2.
Ex
Aequo et bono : didasarkan pada keadilan dan kebaikan bukan didasarkan pada
hukum (atas dasar kesepakatan negara yang bersengketa).
3.
Advisory
opinion : opini hukum yang dibuat pengadilan untuk menyelarasi
permasalahan yang diajukan oleh lembaga berwenang.
4.
Compromis
: kesepakatan bersama pihak yang bersengketa.
5.
Compulsory
jurisdiction : peradilan internasional mendengarkan dan memutuskan keputusan
tanpa memerlukan kesepakatan terlebih dahulu dari pihak yang terlibat.
Ada dua mekanisme penyelesaian sengketa
internasional melalui Mahkamah internasional, yaitu mekanisme normal dan
khusus.
· Mekanisme Normal :
1. Penyerahan perjanjian khusus yng berisi tdentitas para pihak dan pokok
persoalan sengketa.
2. Pembelaan tertulis, berisi fakta, hukum yang relevan, tambahan fakta
baru, penilakan atas fakta yang disebutkan dan berisi dokumen pendukung.
3. Presentasi pembelaan bersifat terbuka dan umum atautertutup tergantung
pihak sengketa.
4. Keputusan bersifat
menyetujui dan penolakan. Kasus internasional dianggap selesai apa bila :
Para pihak mencapai kesepakatan
Para pihak menarik diri dari prose persidangan Mahkamah internasional.
Mahkamah
internasional telah memutus kasus tersebut berdasarkan pertimbangan dan telah
dilakukan ssuai proses hukum internasional yang berlaku.
· Mekanisme Khusus :
1. Keberatan
awal karena ada keberatan dari pihak sengketa Karen mahkamah intrnasional
dianggap tidak memiliki yusidiksi atau kewenangan atas kasus tersebut.
2. Ketidak
hadiran salah satu pihak yang bersengketa, biasanya dilakukan oleh Negara
tergugat atau respondent karena menolak yuridiksi Mahkamah Internasional.
3. Keputusan
sela, untuk memberikan perlindungan terhadap subyek persidangan, supaya pihak
sengketa tidak melakukan hal-hal yang mengancah efektivitas persidangan
Mahkamah internasional.
4. Beracara
bersama, beberapa pihak disatukan untuk mengadakan sidang bersama karena materi
sama terhadap lawan yang sama.
lain yang tidak
terlibat dalam sengketa untuk melakukan intervensi atas sengketa yangsedang
disidangkan bahwa dengan keputusan Mahkamah internasional ada kemungkinan
Negara tersebut dirugikan.
digolongkan dalam dua
kategori, yaitu sebagai berikut.
a. Cara-cara
penyelesaian damai, yaitu apabila para pihak telah dapat menyepakati untuk
menemukan suatu solusi yang bersahabat.
b. Cara-cara
penyelesaian secara paksa atau dengan kekerasan, yaitu apabila solusi yang
dipakai atau dikenakan adalah melalui kekerasan.
Piagam Mahkamah
Internasional (Statute of the International Court of Justce ) Pasal 38 ayat 1
menegaskan bahwa Mahkamah Internasional mengakui bahwa dalam menimbang dan
memutuskan suatu perselisihan dapat menggunakan beberapa pedoman[3], antara lain sebagai
berikut ;
a. Perjanjian
Internasional (international
conventions), baik yang bersifat umum, maupun khusus;
b. Kebiasaan Internasional (international custom);
c. Asas-asas hukum (general
principles of law) yang diakui oleh bangsa-bangsa atau negara-negara beradab;
d. Keputusan Hakim (judicial
decision) dan pendapat para ahli yang telah diakui kepakarannya, yang merupakan
sumber hukum internasional tambahan.
e. Pendapat-pendapat
Prosedur penyelsaian sengketa internasional diajukan oleh
negara-negara yang bersengketa melalui pewakilannya di PBB, kemudian diajukan
ke Mahkamah Internasional. Kemudian Mahkamah Internasional yang menyelesaikan
secara hukum internasional. Lebih lanjut prosedur penyelesaian sengketa
internasional melalui Mahkamah Internasional adalah sebagai berikut.
a. Wewenang Mahkamah Internasional
Mahkamah Internasional dapat mengambil tindakan sementara ialah
tindakan yang diambil untuk melindungi hak-hak dan kepentingan pihak-pihak yang
bersengketa sambil menunggu keputusan dasar atau penyelesaian lainnya yang akan
ditentukan Mahkamah Internasional secara definitif[4] dalam bentuk ordonansi[5], diantaranya.
a.
ratione
personae,
b.
kedudukan
individu,
c.
kedudukan
organisasi internasional
d.
Ratione
materiae
e.
Kompromi
Persyaratan
b. Penolakan Hadir di Mahkamah Internasional
Pasal 53 statuta menyatakan bila salah satu pihak tidak muncul di
Mahkamah Internasional atau tidak mempertahankan perkaranya, pihak lain dapat
meminta Mahkamah Internasional mengambil keputusan mendukung tautannya. Misalnya
ketidakhadiran Islandia dalam peristiwa wewenang di bidang penangkapan ikan,
keputusan Mahkamah Internasional tanggal 25 Juli 1974. Selain itu contoh yang
terjadi di Prancis 20 Desember 1974 dalam peristiwa uji coba nuklir, Turki
dalam peristiwa Landasan Kontinen Laut Egil 19 Desember 1978, Iran dalam
peristiwa personel Diplomatik dan Konsuler Amerika Serikat di Teheran 21 Mei
1980. Dan Amerika Serikat 27 Juli 1986 dalam aktivitas militer kontra
Nikaragua.
Keputusan-keputusan
Mahkamah Internasional merupakan pengadilan tertinggi di dunia internasional
dan untuk kepentingan bangsa-bangsa di dunia, maka sudah selayaknya setiap
bangsa[6] termasuk
inividunya harus mendukung.
Agar mengambil
keputusan Mahkamah Internasional dapat ditempuh dengan cara voting atau dengan
suara terbanyak dari hakim-hakim yang hadir. Jika dalam mengambil keputusan
terdapat persamaan jumlah suara, maka suara ketua atau wakilnya yang kan
menentukannya.
Keputusan Mahkamah
terdiri atas tiga bagian, yaitu sebagai berikut.
1) Informasi dari ketua[7] atau wakil-wakilnya, analisa mengenai fakta-fakta, dan
argumentasi hukum pihak-pihak yang bersengketa.
2) Penjelasan
mengenai motivasi Mahkamah Internasional
3) Dispositif, yaitu berisikan keputusan Mahkamah Internasional yang
merugikan negara-negara yang bersengketa.
4) Penyampaian pendapat yang terpisah
Penyampaian pendapat terpisah ialah bila suatu keputusan tidak
mewakili seluruh atau hanya sebagian dari pendapat bulat para hakim, maka
hakim-hakim yang lain berhak memberikan pendapatnya secara terpisah (pasal 57
statuta). Pendapat terpisah ini juga disebut dissenting opinion artinya
pendapat seorang hakim yang tidak menyetujui suatu keputusan dan menyatakan
keberatan terhadap motif-motif yang diberikan dalam keputusan tersebut. Jadi,
pendapat terpisah adalah pendapat hakim yang tidak setuju dengan keputusan yang
diambil oleh kebanyakan hakim. Keputusan tersebut dapat dianggap pengutaraan
resmi pendapat pendapat terpisah. Hal ini akan melemahkan kekuatan keputusan
Mahkamah Internasional walaupun di lain pihak akan menyebabkan hakim-hakim
mayoritas berhati-hati dalam memberikan motig keputusan mereka.
Bila suatu keputusan Mahkamah Internasional tidak dilaksanakan, maka
Dewan[8]Keamanan
PBB dapat mengusulkan tindakan-tindakan yang akan menjamin pelaksanaan
keputusan. Hal ini sebagaimana telah dijelaskan dalam pasal 94 piaham PBB.
Mahkamah
Internasional juga sebenarnya bisa mengajukan keputusan ex aequo et bono, yaitu
didasarkan pada keadilan dan kebaikan, dan bukan berdasarkan hukum, namun hal
ini bisa dilakukan jika ada kesepakatan antar negara-negara yang bersengketa.
Keputusan Mahkamah Internasional sifatnya final, tidak dapat banding dan hanya
mengikat para pihak. Keputusan juga diambil atas dasar suara mayoritas.
Yang dapat menjadi
pihak hanyalah negara, namun semua jenis sengketa dapat diajukan ke Mahkamah
Internasional.
Masalah pengajuan
sengketa bisa dilakukan oleh salah satu pihak secara unilateral, namun kemudian
harus ada persetujuan dari pihak yang lain. Jika tidak ada persetujuan, maka
perkara akan di hapus dari daftar Mahkamah Internasional, karena Mahkamah
Internasional tidak akan memutus perkara secara in-absensia (tidak hadirnya
para pihak).
Mahkamah Internasional dalam sengketa apabila dia
merupakan pihak.
2) Bila negara pihak suatu sengketa tidak melaksanakan
kewajiban-kewajiban yang dibebankan Mahkamah Internasional kepadanya, negara
pihak lain dapat mengajukan persoalannya ke depan Dewan Keamanan. Kalau perlu
dapat membuat rekomendasi-rekomendasi atau memutuskan tindakan-tindakan yang
akan diambil supaya keputusan tersebut dilaksanakan.
PENYELESAIAN SENGKETA SECARA DIPLOMATIK
Kedamaian dan keamanan internasional hanya dapat diwujudkan apabila tidak ada kekerasan yang digunakan dalam menyelesaikan sengketa, yang ditegaskan dalam pasal 2 ayat (4) Piagam. Penyelesaian sengketa secara damai ini, kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam pasal 33 Piagam yang mencantumkan beberapa cara damai dalam menyelesaikan sengketa.
Seperti yang telah dijelaskan di atas, yang termasuk ke dalam
penyelesaian sengketa secara diplomatik adalah negosiasi, enquiry atau
penyelidikan, mediasi, konsiliasi, dan good offices atau jasa-jasa baik. Kelima metode
tersebut memiliki ciri khas, kelebihan, dan kekurangan masing-masing.
a) Negosiasi
Negosiasi merupakan cara penyelesaian sengketa secara damai yang cukup lama dipakai. Sampai pada permulaan abad ke-20, negosiasi menjadi satu-satunya cara yang dipakai dalam penyelesaian sengketa. Sampai saat ini cara penyelesaian melalui negosiasi biasanya adalah cara yang pertama kali ditempuh oleh para pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa ini dilakukan secara langsung oleh para pihak yang bersengketa melalui dialog[9] tanpa ada keikutsertaan dari pihak ketiga. Dalam pelaksanaannya, negosiasi memiliki dua bentuk utama, yaitu bilateral dan multilateral. Negosiasi dapat dilangsungkan melalui saluran diplomatik pada konferensi internasional atau dalam suatu lembaga atau organisasi internasional.
Dalam praktek negosiasi, ada dua bentuk prosedur yang dibedakan. Yang pertama adalah negosiasi ketika sengketa belum muncul, lebih dikenal dengan konsultasi. Dan yang kedua adalah negosiasi ketika sengketa telah lahir.
Keuntungan yang diperoleh ketika negara yang bersengketa menggunakan mekanisme negosiasi, antara lain :
(1) Para pihak memiliki kebebasan untuk menentukan penyelesaian sesuai dengan kesepakatan diantara mereka.
(2) Para pihak mengawasi dan memantau secara langsung prosedur penyelesaiannya.
(3) Dapat menghindari perhatian publik dan tekanan politik dalam negeri.
(4) Para pihak mencari penyelesaian yang bersifat win-win solution, sehingga dapat diterima dan memuaskan kedua belah pihak
Negosiasi merupakan cara penyelesaian sengketa secara damai yang cukup lama dipakai. Sampai pada permulaan abad ke-20, negosiasi menjadi satu-satunya cara yang dipakai dalam penyelesaian sengketa. Sampai saat ini cara penyelesaian melalui negosiasi biasanya adalah cara yang pertama kali ditempuh oleh para pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa ini dilakukan secara langsung oleh para pihak yang bersengketa melalui dialog[9] tanpa ada keikutsertaan dari pihak ketiga. Dalam pelaksanaannya, negosiasi memiliki dua bentuk utama, yaitu bilateral dan multilateral. Negosiasi dapat dilangsungkan melalui saluran diplomatik pada konferensi internasional atau dalam suatu lembaga atau organisasi internasional.
Dalam praktek negosiasi, ada dua bentuk prosedur yang dibedakan. Yang pertama adalah negosiasi ketika sengketa belum muncul, lebih dikenal dengan konsultasi. Dan yang kedua adalah negosiasi ketika sengketa telah lahir.
Keuntungan yang diperoleh ketika negara yang bersengketa menggunakan mekanisme negosiasi, antara lain :
(1) Para pihak memiliki kebebasan untuk menentukan penyelesaian sesuai dengan kesepakatan diantara mereka.
(2) Para pihak mengawasi dan memantau secara langsung prosedur penyelesaiannya.
(3) Dapat menghindari perhatian publik dan tekanan politik dalam negeri.
(4) Para pihak mencari penyelesaian yang bersifat win-win solution, sehingga dapat diterima dan memuaskan kedua belah pihak
b) Enquiry
atau Penyelidikan
J.G.Merrills
menyatakan bahwa salah satu penyebab munculnya sengketa antar negara adalah
karena adanya ketidaksepakatan para pihak mengenai fakta[10]. Untuk menyelesaikan
sengketa ini, akan bergantung pada penguraian fakta-fakta para pihak yang tidak
disepakati. Untuk menyelesaikan sengketa tersebut, para pihak kemudian
membentuk sebuah badan yang bertugas untuk menyelidiki fakta-fakta yang terjadi
di lapangan. Fakta-fakta yang ditemukan ini kemudian dilaporakan kepada para
pihak, sehingga para pihak dapat menyelesaikan sengketa diantara mereka.
Dalam beberapa kasus,
badan yang bertugas untuk menyelidiki fakta-fakta dalam sengketa internasional
dibuat oleh PBB[11]. Namun dalam konteks ini, enquiry yang dimaksud adalah sebuah badan
yang dibentuk oleh negara yang bersengketa. Enquiry telah dikenal sebagai salah
satu cara untuk menyelesaikan sengketa internasional semenjak lahirnya The
Hague Convention pada tahun 1899, yang kemudian diteruskan pada tahun 1907.
c) Mediasi
Ketika negara-negara yang menjadi para pihak dalam suatu sengketa internasional tidak dapat menemukan pemecahan masalahnya melalui negosiasi, intervensi[12]yang dilakukan oleh pihak ketiga adalah sebuah cara yang mungkin untuk keluar dari jalan buntu perundingan yang telah terjadi dan memberikan solusi yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Pihak ketiga yang melaksanakan mediasi ini tentu saja harus bersifat netral dan independen. Sehingga dapat memberikan saran yang tidak memihak salah satu negara pihak sengketa.
Intervensi yang dilakukan oleh pihak ketiga ini dapat dilakukan dalam beberapa bentuk. Misalnya, pihak ketiga memberikan saran kepada kedua belah pihak untuk melakukan negosiasi ulang, atau bisa saja pihak ketiga hanya menyediakan jalur komunikasi tambahan.
Dalam menjalankan tugasnya, mediator tidak terikat pada suatu hukum acara tertentu dan tidak dibatasi pada hukum yang ada. Mediator dapat menggunakan asas ex aequo et bono untuk menyelesaikan sengketa yang ada.
Ketika negara-negara yang menjadi para pihak dalam suatu sengketa internasional tidak dapat menemukan pemecahan masalahnya melalui negosiasi, intervensi[12]yang dilakukan oleh pihak ketiga adalah sebuah cara yang mungkin untuk keluar dari jalan buntu perundingan yang telah terjadi dan memberikan solusi yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Pihak ketiga yang melaksanakan mediasi ini tentu saja harus bersifat netral dan independen. Sehingga dapat memberikan saran yang tidak memihak salah satu negara pihak sengketa.
Intervensi yang dilakukan oleh pihak ketiga ini dapat dilakukan dalam beberapa bentuk. Misalnya, pihak ketiga memberikan saran kepada kedua belah pihak untuk melakukan negosiasi ulang, atau bisa saja pihak ketiga hanya menyediakan jalur komunikasi tambahan.
Dalam menjalankan tugasnya, mediator tidak terikat pada suatu hukum acara tertentu dan tidak dibatasi pada hukum yang ada. Mediator dapat menggunakan asas ex aequo et bono untuk menyelesaikan sengketa yang ada.
Pelaksanaan mediasi
dalam penyelesaian sengketa internasional diatur dalam beberapa perjanjian
internasional, antara lain The Hague Convention 1907; UN Charter; The European
Convention for the Peaceful Settlement of Disputes.
d) Konsiliasi
Sama seperti mediasi, penyelesaian sengketa melalui cara konsiliasi menggunakan intervensi pihak ketiga. Pihak ketiga yang melakukan intervensi ini biasanya adalah negara, namun bisa juga sebuah komisi yang dibentuk oleh para pihak. Komisi konsiliasi yang dibentuk oleh para pihak dapat saja terlembaga atau bersifat ad hoc, yang kemudian memberikan persyaratan penyelesaian yang diterima oleh para pihak. Namun keputusan yang diberikan oleh komisi konsiliasi ini tidak mengikat para pihak.
Pada prakteknya, proses penyelesaian sengketa melalui konsiliasi mempunyai kemiripan dengan mediasi. Pembedaan yang dapat diketahui dari kedua cara ini adalah konsiliasi memiliki hukum acara yang lebih formal[13] jika dibandingkan dengan mediasi. Karena dalam konsiliasi[14] ada beberapa tahap yang biasanya harus dilalui, yaitu penyerahan sengketa kepada komisi konsiliasi, kemudian komisi[15] akan mendengarkan keterangan lisan para pihak, dan berdasarkan fakta-fakta yang diberikan oleh para pihak secara lisan tersebut komisi konsiliasi akan menyerahkan laporan kepada para pihak disertai dengan kesimpulan dan usulan penyelesaian sengketa.
Sama seperti mediasi, penyelesaian sengketa melalui cara konsiliasi menggunakan intervensi pihak ketiga. Pihak ketiga yang melakukan intervensi ini biasanya adalah negara, namun bisa juga sebuah komisi yang dibentuk oleh para pihak. Komisi konsiliasi yang dibentuk oleh para pihak dapat saja terlembaga atau bersifat ad hoc, yang kemudian memberikan persyaratan penyelesaian yang diterima oleh para pihak. Namun keputusan yang diberikan oleh komisi konsiliasi ini tidak mengikat para pihak.
Pada prakteknya, proses penyelesaian sengketa melalui konsiliasi mempunyai kemiripan dengan mediasi. Pembedaan yang dapat diketahui dari kedua cara ini adalah konsiliasi memiliki hukum acara yang lebih formal[13] jika dibandingkan dengan mediasi. Karena dalam konsiliasi[14] ada beberapa tahap yang biasanya harus dilalui, yaitu penyerahan sengketa kepada komisi konsiliasi, kemudian komisi[15] akan mendengarkan keterangan lisan para pihak, dan berdasarkan fakta-fakta yang diberikan oleh para pihak secara lisan tersebut komisi konsiliasi akan menyerahkan laporan kepada para pihak disertai dengan kesimpulan dan usulan penyelesaian sengketa.
Jasa-jasa baik adalah cara penyelesaian sengketa
melalui bantuan pihak ketiga. Pihak ketiga berupaya agar para pihak yang
bersengketa menyelesaikan sengketanya dengan negosiasi. Menurut pendapat Bindschedler,
yang dikutip oleh Huala Adolf, jasa baik dapat didefinisikan sebagai berikut:
the involvement of one or more States or an international organization in a
dispute between states with the aim of settling it or contributing to its
settlement.
Pada pelaksanaan di lapangan, jasa baik dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu jasa baik teknis (technical good offices), dan jasa baik politis (political good offices). Jasa baik teknis adalah jasa baik oleh negara atau organisasi internasional dengan cara mengundang para pihak yang bersengketa ikut serta dalam konferensi atau menyelenggarakan konferensi. Tujuan dari jasa baik teknis ini adalah mengembalikan atau memelihara hubungan atau kontak langsung di antara para pihak yang bersengketa setelah hubungan diplomatik mereka terputus. Sedangkan jasa baik politis adalah jasa baik yang dilakukan oleh negara atau organisasi internasional yang berupaya menciptakan suatu perdamaian atau menghentikan suatu peperangan yang diikuti dengan diadakannya negosiasi atau suatu kompetensi.
yang telah dijelaskan, negosiasi memegang peranan utama dalam penyelesaian sebuah sengketa. Karena penggunaan prosedur ini memang tidak memiliki resiko yang cukup tinggi.
Penyelesaian sengketa secara diplomatik memang menekankan kepada penyelesaian sengketa secara damai dan tidak menggunakan kekerasan. Berdasarkan hal inilah negara-negara dalam praktek hukum internasional, memberikan dasar hukum pelaksanaan penyelesaian sengketa secara diplomatik melalui berbagai perjanjian internasional.
Penyelesaian sengketa internasional secara diplomatik ini ditempatkan sebagai prioritas penyelesaian sengketa oleh masyarakat internasional. Apabila cara diplomatik ini gagal, penyelesaian sengketa secara hukum barulah ditempuh.
Pada pelaksanaan di lapangan, jasa baik dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu jasa baik teknis (technical good offices), dan jasa baik politis (political good offices). Jasa baik teknis adalah jasa baik oleh negara atau organisasi internasional dengan cara mengundang para pihak yang bersengketa ikut serta dalam konferensi atau menyelenggarakan konferensi. Tujuan dari jasa baik teknis ini adalah mengembalikan atau memelihara hubungan atau kontak langsung di antara para pihak yang bersengketa setelah hubungan diplomatik mereka terputus. Sedangkan jasa baik politis adalah jasa baik yang dilakukan oleh negara atau organisasi internasional yang berupaya menciptakan suatu perdamaian atau menghentikan suatu peperangan yang diikuti dengan diadakannya negosiasi atau suatu kompetensi.
yang telah dijelaskan, negosiasi memegang peranan utama dalam penyelesaian sebuah sengketa. Karena penggunaan prosedur ini memang tidak memiliki resiko yang cukup tinggi.
Penyelesaian sengketa secara diplomatik memang menekankan kepada penyelesaian sengketa secara damai dan tidak menggunakan kekerasan. Berdasarkan hal inilah negara-negara dalam praktek hukum internasional, memberikan dasar hukum pelaksanaan penyelesaian sengketa secara diplomatik melalui berbagai perjanjian internasional.
Penyelesaian sengketa internasional secara diplomatik ini ditempatkan sebagai prioritas penyelesaian sengketa oleh masyarakat internasional. Apabila cara diplomatik ini gagal, penyelesaian sengketa secara hukum barulah ditempuh.
Penyelesaian sengketa
yang dilakukan oleh Indonesia dan Malaysia dalam menentukan kedaulatan di Pulau
Sipadan dan Ligitan merupakan suatu cara penyelesaian sengketa secara damai,
dimana Indonesia dan Malaysia memilih Mahkamah Internasional untuk
menyelesaikan sengketa ini, dasar hukum di dalam penyelesaian sengketa ini
adalah pasal 2 ayat 3 dan pasal 33 Piagam PBB. Sengketa Pulau Sipadan dan
Ligitan disebabkan karena adanya ketidakjelasan garis perbatasan yang dibuat
oleh Belanda dan Inggris yang merupakan negara pendahulu dari Indonesia dan
Malaysia di perairan timur Pulau Borneo, sehingga pada saat Indonesia dan
Malaysia berunding untuk menentukan garis perbatasan kedua negara di Pulau
Borneo, masalah ini muncul karena kedua pihak saling mengklaim kedaulatan atas
Pulau Sipadan dan Ligitan.
Berbagai pertemuan
bilateral dilakukan oleh kedua negara dalam upaya melakukan pemecahan atas
sengketa ini namun sengketa ini tidak dapat diselesaikan, sehingga kedua negara
sepakat untuk menyerahkan penyelesaian sengketa ini kepada Mahkamah Internasional.
Berbagai macam argumentasi dan bukti yuridis dikemukakan kedua pihak dalam
persidangan di Mahkamah Internasional, dan pada akhirnya Mahkamah Internasional
memutuskan bahwa kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Ligitan merupakan milik
Malaysia atas dasar prinsip okupasi, dimana Malaysia dan Inggris sebagai negara
pendahulu lebih banyak melaksanakan efektifitas di Pulau Sipadan dan Ligitan.
PENYELESAIAN SENGKETA
SECARA HUKUM
Penyelesaian sengketa
melalui jalur hukum atau judicial settlement juga dapat menjadi pilihan bagi
subyek hukum internasional yang bersengketa satu sama lain. Bagi sebagian
pihak, bersengketa melalui jalur hukum seringkali menimbulkan kesulitan, baik
dalam urusan birokrasi maupun besarnya biaya yang dikeluarkan. Namun yang menjadi
keuntungan penyelesaian sengketa jalur hukum adalah kekuatan hukum yang
mengikat antara masing-masing pihak yang bersengketa.
Hukum internasional telah mengenal arbitrase[16] sebagai
alternatif penyelesaian sengketa, dan cara ini telah diterima oleh umum sebagai
cara penyelesaian sengketa yang efektif dan adil. Para pihak yang ingin
bersengketa dengan menggunakan metode arbitrase dapat menggunakan badan
arbitrase yang telah terlembaga, atau badan arbitrase ad hoc. Meskipun dianggap
sebagai penyelesaian sengketa internaisonal melalui jalur hukum, keputusan yang
dihasilkan oleh badan arbitrase tidak dapat sepenuhnya dijamin akan mengikat
masing-masing pihak, meskipun sifat putusan arbitrase pada prinsipnya adalah
final dan mengikat.
Arbitrase internasional adalah suatu bentuk atau cara penyelesaian
secara damai sengketa internacional yang dirumuskan dalam suatu keputusan oleh
arbitrator yang dipilih oleh pihak-pihak yang bersengketa.
Penyelesaian melalui badan arbitrase internacional biasanya
menyerahkan masalah kepada orang-orang tertentu yang dinamakan arbitrator yang
dipilih secara bebas oleh pihak yang terlibat dalam masalah nasional.
Penyelesaian melalui badan arbitrase harus didasarkan pada rasa
keadilan atau ex aequo et buno, dimana pengadilan-pengadilan
arbitrasi harus menerapkan juga prinsip-prinsip hukum internasional.
Pada saat ini, terdapat sebuah badan arbitrase internasional yang terlembaga, yaitu Permanent Court of Arbitration (PCA). Dalam menjalankan tugasnya sebagai jalur penyelesaian sengketa, PCA menggunakan UNCITRAL Arbitration Rules 1976.
Pada saat ini, terdapat sebuah badan arbitrase internasional yang terlembaga, yaitu Permanent Court of Arbitration (PCA). Dalam menjalankan tugasnya sebagai jalur penyelesaian sengketa, PCA menggunakan UNCITRAL Arbitration Rules 1976.
Pengadilan arbitrase
dilaksanakan oleh suatu “panel hakim” atau arbitrator yang dibentuk atas dasar
persetujuan khusus para pihak, atau dengan perjanjian arbitrase yang telah ada.
Persetujuan arbitrase tersebut dikenal dengan compromis (kompromi) yang memuat:
1. persetujuan para
pihak untuk terikat pada keputusan arbitrase;
2. metode pemilihan
panel arbitrase;
3. waktu dan tempat
hearing (dengar pendapat);
4. batas-batas fakta
yang harus dipertimbangkan, dan;
5. prinsip-prinsip
hukum atau keadilan yang harus diterapkan untuk mencapai suatu kesepakatan.
(Burhan Tsani, 1990, 214)
Masyarakat
internasional sudah menyediakan beberapa institusi arbitrase internasional,
antara lain:
1. Pengadilan
Arbitrase Kamar Dagang Internasional (Court of Arbitration of the International
Chamber of Commerce) yang didirikan di Paris, tahun 1919;
2. Pusat Penyelesaian
Sengketa Penanaman Modal Internasional (International Centre for Settlement of
Investment Disputes) yang berkedudukan di Washington DC;
3. Pusat Arbitrase
Dagang Regional untuk Asia (Regional Centre for Commercial Arbitration),
berkedudukan di Kuala Lumpur, Malaysia;
4. Pusat Arbitrase
Dagang Regional untuk Afrika (Regional Centre for Commercial Arbitration),
berkedudukan di Kairo, Mesir. (Burhan Tsani; 216)
Selain arbitrase, lembaga lain yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan
sengketa internasional melalui jalur hukum adalah pengadilan internasional.
Pada saat ini ada beberapa pengadilan internasional dan pengadilan
internasional regional yang hadir untuk menyelesaikan berbagai macam sengketa
internasional. Misalnya
International Court of Justice (ICJ), International Criminal Court,
International Tribunal on the Law of the Sea, European
eksisnya Liga
Bangsa-Bangsa, yaitu melalui Permanent Court of International Justice (PCIJ).
Namun seiring dengan bubarnya LBB pasca Perang Dunia II, maka tugas dari PCIJ
diteruskan oleh ICJ[17] sejalan dengan
peralihan dari LBB kepada PBB.
Penyelesaian sengketa
internasional melalui jalur hukum berarti adanya pengurangan kedaulatan
terhadap pihak-pihak yang bersengketa. Karena tidak ada lagi keleluasaan yang
dimiliki oleh para pihak, misalnya seperti memilih hakim, memilih hukum dan
hukum acara yang digunakan. Tetapi dengan bersengketa di pengadilan
internasional, maka para pihak akan mendapatkan putusan yang mengikat
masing-masing pihak yang bersengket
MENGHARGAI KEPUTUSAN
MAHKAMAH INTERNASIONAL
1. Peran Mahkamah Internasional
Mahkamah[18] Agung
Internasional atau biasa disebut Mahkamah Internasional, merupakan Mahkamah
Pengadilan tertinggi di dunia. Pengadilan
Internasional dapat mengadili semua perselisihan yang terjadi antara negara
bukan anggota PBB. Dalam penyelesaian ini, jalan damai yang selaras dengan
asas-asas keadilan dan hukum internasional yang digunakan. Mahkamah
Internasional mengadili perselisihan kepentingan dan perselisihan hukum.
Mahkamah Internasional dalam mengadili suatu perkara, berpedoman pada
perjanjian-perjanjian internasional (traktat-traktat dan kebiasaan-kebiasaan
internasional) sebagai sumber-sumber hukum. Keputusan Mahkamah Internasional,
merupakan keputusan terakhir walaupun dapat diminta banding[19].Selain Pengadilan Mahkamah Internasional, terdapat juga pengadilan
arbitrasi Internasional. Arbitrasi Internasional hanya untuk perselisihan
hukum, dan keputusan para arbitet tidak perlu berdasarkan peraturam-peraturan
hukum.
Mahkamah Internasional dalam tugasnya untuk memeriksa perselisihan
atau sengketa antara negara-negara anggota PBB yang diserahkan kepadanya,
dapat, melakukan perannya untuk menyelesaikan sengketa-sengketa internasional.
Hal ini dapat kita lihat pada contoh-contoh berikut ini ;
1.
Runtuhnya Federasi
Yugoslavia (1992), melahirkan perang saudara di antara bekas negara anggotanya
(Kroasia, Slovenia, Serbia, dan Bosnia Herzegovina). Namun pemerintahan
Yugoslavia yang dulu dikuasai oleh Serbia, tidak membiarkan begitu saja
sehingga terjadi pembersihan etnik (ethnic cleaning) terutama kepada
etnik Kroasia dan Bosnia. Campur tangan PBB melalui Mahkamah Internasinal
yang didukung pasukan NATO, memaksa Serbia menghentikan langkah-langkah
pembersihan etnik yang kemudian mengadili para penjahat perang. Mahkamah
Internasional sangat aktif mengadili perkara kejahatan perang. Hingga sekarang
proses tersebut masih terus berlangsung. (Kalimantan) antara Indonesia dan Malaysia yang tidak kunjung ada di
titik temu, disepakati untuk dibawa ke Mahkamah Internasional. Setelah melalui
perdebatan dan perjungan panjang pada awal 2003 Mahkamah Internasional
memutuskan untuk memenangkan Malaysia sebagai pemilik sah pulau tersebut.
pembunuhan warga Filipina, membunuh dan membakar 600
rakyat desa itu. Para pelakunya telah di sidang di pengadilan militer namun
banyak yang dibebaskan.
4. Amerika serikat di Cina : pada tahun 1968 terjadi pristiwa My lai
Massacre. Kompi Amerika menyapu warga desa denga senjata otomatis
dan menewaskan 500 orang. Para pelakunya telah disidang dan dihukum.
5. Amerika serikat di Jepang : pada tahun 1945 lebih dari 40.000 rakyat
Jepang meninggal akibat Bom Atom.
6. Pembersihan etnis yahudi oleh Nazi Di jerman atas pimpinan Adolf
Hitler, Mahkamah Internasional telah mengadili dan menhukum pelaku.
7. Jepang banyak
membunuh rakyat Indonesia dengan Kerja paksa dan 10.000 rakyat Indonesia
hilang. Pengadilan
internasional telah dijalankan dan menghukum para penjahatnya.
8. Pemerintah Rwanda terhadap etnik Hutu : Selama tiga bulan di
tahu 1994 antara 500 ribu samapai 1 juta orang etnik Hutu dan Tutsi telah
dibunuh ioleh pemerintah Rwanda. PBB menggelar pengadilan kejahatan
perang di Arusha Tanzania dan hanya menyeret 29 penjahat perangnya.
9. Kasus Timor Timur diselesaikan secara Intrnasional dengan
referendum. Dan sejak tahun 1999 Timor-Timur berdiri sebagai sebuah
Negara bernama Republik Tomor Lorosae /Timor Leste.
Dari contoh kasus di atas Indonesia menyetujui hasil keputusan
tersebut sebagai dukungan terhadap keputusan Mahkamah Internasional.
Prosedur penyelesaian kasus Hak Asasi Manusia (HAM) atau
kejahatan humaniterdi suatu negara dapat dilakukan Mahkamah
Internasional dengan melalui prosedur berikut.
a) Apabila terjadi pelanggaran HAM atau kejahatan humaniter (kemanusiaan)
di suatu negara terhadap negara lain atau rakyat negara lain atau rakyat negara
lain, pengaduan disampaikan ke Komisi Tinggi HAM PBB atau melalui
lembaga-lembaga HAM internacional lainnya oleh si korban (rakyat) dan
pemerintahan negara yang menjadi korban. penyelidikan.
c) Jika ditemui bukti-bukti kuat terjadinya pelanggaran HAM atau
kejahatan kemanusiaan lainnya, pemerintahan dari negara yang didakwa melakukan
kejahatan humaniter dapat diajukan ke Mahkamah Internasional
atau Pengadilan Internasional.
d) Kemudian dilakukan proses peradilan sampai dijatuhkan sanksi
e) Sanksi dapat dijatuhkan bila terbukti bahwa yang bersangkutan telah
melakukan pelanggaran terhadap konvensi-konvensi internasional berkaitan dengan
pelanggaran HAM atau kejahatan humaniter.
Selain dari prosedur di atas, rakyat suatu negara yang merasa
mengalami pelanggaran HAM oleh pemerintahan juga dapat mengajukan pemerintahnya
di ke Mahkamah Internasional atau Pengadilan Internasional dengan melalui
prosedur berikut.
a) Melaporkan pemerintahannya sebagai pelaku pelanggaran HAM atau
kejahatan humaniter (kemanusiaan) di suatu negara kepada
Komisi Tinggi HAM PBB atau melalui lembaga-lembaga HAM Internasional lainnya.
b) Pengaduan ditinjaklanjuti dengan penyelidikan, pemeriksaan, dan
penyidikan
c) Jika ditemui cukup bukti terjadinya pelanggaran HAM atau kejahatan
kemanusiaan lainnya, pemerintah negara yang bersangkutan dapat diajukan ke
Mahkamah Internasional atau Pengadilan Internasional.
Demikian
yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam
makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena
terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada
hubungannya dengan judul makalah ini. Kami banyak berharap para pembaca yang
budiman dapat memberikan kritik dan saran yang membangun kepada kami demi
sempurnanya makalah ini dan dan penulisan makalah di kesempatan – kesempatan
berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi kami pada khususnya juga para pembaca
yang budiman pada umumnya.
Tags
MAKALAH