BAB I
PENDAHULUAN
2.1 Latar Belakang Masalah
Perkembangan
dunia dan pengalaman menyajikan hal yang lain untuk perempuan. Jaminan
untuk sukses secara finansial, diakui eksistensi dan menyandang predikat
mandiri mengharuskan perempuan menjemput impian dengan belajar ke
jenjang pendidikan yang lebih tinggi, mendapatkan pekerjaan yang
prestise dan mendapat posisi yang tinggi dalam dunia pekerjaan. Hal ini
selanjutnya memberikan predikat kepada perempuan yang memiliki pekerjaan
dengan gelar “wanita karier”.
Segala
jenis pekerjaan bisa ditempati oleh para kaum hawa dari pekerjaan yang
mengerahkan pemikiran sampai pekerjaan yang mendahulukan otot. Disisi
lain ada perempuan yang ingin menjadi ibu rumah tangga tapi ketika
masalah finansial menghadang keberlangsungan hidup berumah tangga dan
mengharuskan perempuan ikut mengais rezeki dengan segala upaya
menjadikan perempuan keluar rumah dan bekerja.
Permasalahan
muncul ketika ibu rumah tangga tersebut memiliki waktu yang lebih
banyak untuk pekerjaan atau anak tidak dapat diperhatikan atau memiliki
penghasilan yang lebih tinggi yang akhirnya berdampak pada perceraian
yang dibenci oleh Allah. Melalui makalah ini saya ingin memberikan
sedikit gambaran mengenai wanita karier dalam pandangan Islam yang
disertai berbagai pendapat serta solusi terhadap wanita karier agar
ketika wanita tersebut memiliki keputusan akhir untuk tetap menjadi wanita karier maka akan tetap memperdulikan keluarga.
1.2 Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini diharapkan perempuan dapat mengetahui:
1. Hukum wanita karier
2. Cara menempatkan diri dalam karier.
3. Cara menyeimbangkan diri antara karier dan keluarga sesuai dengan tuntunan agama Islam.
1.3 Rumusan Masalah
Permasalahan yang ingin dicari penyelesaiannya adalah:
1. Apa definisi wanita karier?
2. Bagaimana gambaran mengenai wanita karier masa Rasulullah?
3. Bagaimana perempuan seharusnya menempatkan diri dalam karier?
4. Bagaimana menyeimbangkan diri antara karier dan keluarga sesuai dengan tuntunan agama Islam?
1.4 Prosedur Pemecahan Masalah
Prosedur
yang digunakan untuk pemecahan masalah adalah studi pustaka yang
diambil dari berbagai sumber baik buku maupun internet.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Wanita Karier
Berikut ini adalah pengertian wanita karier dari berbagai sumber:
b. Perempuan yang memiliki karier atau yang menganggap kehidupan kerjanya secara serius (mengalahkan sisi kehidupan yang lain).[1]
c. wanita yang berkecimpung dalam kegiatan profesi (usaha, perkantoran, dsb)[2]
d. wanita
karier adalah wanita yang mampu mengelola hidupnya secara menyenangkan
atau memuaskan, baik di dalam kehidupan profesional (pekerjaan di
kantor) maupun di dalam membina rumah tangganya.[3]
2.2 Problematika Wanita Karier
Pemandangan
yang dapat terlihat pada pagi hari, para wanita dengan pakaian rapi
pergi menenteng tas untuk menuju ke tempat kerja mereka masing-masing,
sudah tidak asing lagi di segenap penjuru negri ini. “Wanita karier” itulah istilah yang mereka sandang.
Pada dasarnya ada beberapa penyebab seorang wanita untuk berkarir diantaranya:
a. Untuk mengisi waktu. Biasanya alasan ini dikemukakan oleh seorang wanita yang suaminya bekerja kantor dan sudah mampu memenuhi nafkah lahir.
b. Untuk menambah kebutuhan keluarga. Biasanya dilakukan oleh wanita yang bersuami tetapi kebutuhan belum tercukupi baik untuk anak maupun kebutuhan sehari-hari.
c. Untuk menafkahi keluarga. Biasanya dilakukan oleh seorang wanita yang benar-benar tidak bersuami atau memiliki suami yang sedang sakit dan tidak mampu menafkahi keluarga secara lahir.
d. Perkembangan
sektor industri. Karena kenaikan kegiatan di sektor industri terjadi
penyerapan besar-besaran terhadap tenaga kerja. Karena kekurangan,
banyak tenaga kerja diperbantukan, terutama pada pekerjaan yang tidak
membutuhkan dan pikiran terlalu berat.
e. Di
dunia maju kondisi kerja yang baik serta waktu kerja yang singkat
memungkinkan para wanita pekerja dapat membagi tanggung jawab pekerjaan
dengan baik.
f. Kemajuan
wanita di sektor pendidikan yang akibatnya banyak wanita terdidik tidak
lagi merasa puas bila hanya menjalankan peranannya di rumah saja.[4]
Biasanya
permasalahan muncul ketika istri memiliki penghasilan lebih besar ada
dua kemungkinan, kemungkinan yang pertama istri takabur dengan apa yang
dia dapatkan sehingga mengakibatkan perceraian ataupun kemungkinan kedua
yaitu istri seperti Siti Khadijah yang menyerahkan harta yang ia miliki
kepada Nabi Muhammad untuk perjuangan umat. Semuanya kembali pada cara
mendidik orang tua terhadap seorang anak dan kewibawaan suami di hadapan
istri.[5]
2.3 Berbagai Pendapat Hukum Wanita Karier
Ada berbagai pendapat mengenai wanita karier ini yang semuanya berdasarkan alasan tersendiri, diantaranya:
1. melarang wanita menjadi wanita karier
Menurut ulama yang berpendapat seperti ini, pada dasarnya hukum karier wanita di luar rumah adalah terlarang,
karena dengan bekerja diluar rumah maka akan ada banyak kewajiban dia
yang harus ditinggalkan. Misalnya melayani keperluan suami, mengurusi
dan mendidik anak serta hal lainnya yang menjadi tugas dan kewajiban
seorang istri dan ibu. Padahal semua kewajiban ini sangat melelahkan
yang membutuhkan perhatian khusus. Semua kewajiban ini tidak mungkin
terpenuhi kecuali kalau seorang wanita tersebut memberi perhatian khusus
padanya.
Larangan
ini didasarkan bahwa suami diwajibkan untuk membimbing istrinya pada
jalan kebaikan sedang istri diwajibkan mentaatinya. Begitu pula dengan
hal dunia laki-laki dan wanita, maka islam menjadikan laki-laki diluar
rumah untuk mencari nafkah bagi keluarganya, sebagaimana sabda
Rasululloh :
ولهن عليكم رزقهن و كسوتهن بالمعروف
“Dan hak para istri atas kalian (suami) agar kalian memberi mereka nafkah dan pakaian dengan cara yang ma’ruf.” [6]
Disisi
lainnya, tempat wanita dijadikan di dalam rumah untuk mengurusi anak,
mendidiknya, mempersiapkan keperluan suami serta urusan rumah tangga dan
lainnya.
Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan hal ini dalam sabdanya yang mulia :
والمرأة راعية في بيت زوجها ومسؤولة عن رعيتها
“Dan wanita adalah pemimpin dirumah suaminya dan dia akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya.”[7]
Selain itu wanita karier memiliki berbagai efek negatif, diantaranya:
a. Pengaruhnya terhadap harga diri dan kepribadian wanita
Banyak
perkerjaan saat ini yang apabila ditekuni oleh kaum wanita akan
mengeluarkanya dari kodrat kewanitaannya, menghilangkan rasa malunya dan
mencabutnya dari kefeminimannnya.
b. Pengaruhnya pada anak
Diantara pengaruh negatif bekerjanya wanita diluar rumah bagi anak adalah :
Ä Anak
tidak atau kurang menerima kasih sayang, lembut belaian dari sang ibu,
padahal anak sangat membutuhkannya untuk pengembangan kejiwaannya.
Ä Seringnya wanita karier tidak bisa menyusui anaknya secara sempurna, dan ini juga berbahaya bagi si anak
Ä Membiarkan anak dirumah tanpa ada yang mengawasi atau hanya diawasi oleh baby sister akan berakibat buruk.
c. Pengaruhnya ada hak suami
Seorang
istri yang pagi pergi kerja lalu sore pulang, maka sampai rumah ia akan
tinggal melepas lelah. Lalu tatkala suaminya pulang dari kerja maka dia
tidak akan bisa memenuhi tugasnya sebagai seorang istri. Jarang atau
bahkan tidak ada orang yang mampu memenuhi tugas tersebut sekaligus.
d. Pengaruhnya pada masyarakat dan perekonomian nasional
Masuknya
wanita dalam lapangan pekerjaan banyak mengambil bagian laki-laki yang
seharusnya bisa mendapatkan pekerjaan, namun terpaksa tidak menemukannya
karena sudah diambil alih oleh kaum wanita. Hal ini akan meningkatkan
jumlah pengangguran yang akan berakibat pada tindak kriminalitas.[8]
Disamping itu terdapat sabda Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam :
عن عبد الله بن مسعود رضي الله عنه عن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال : المرأة عورة , فإذا خرجت استشرفها الشيطان
Dari Abdulloh bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu dari Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Wanita itu aurot, apabila dia keluar maka akan dibanggakan oleh setan.”[9]
Mengenai
polemik kesahihan hadis ini, dari segi matan memang cukup jelas
menyebutkan tentang keluarnya wanita akan menjadikan para syetan
beristisyraf. Sehingga secara sekilas di dalam kesan bahwa ketika
seorang wanita keluar rumah, maka syetan akan menaikinya dan akan
menjadi sumber masalah baik bagi dirinya maupun bagi orang lain.
Karena
itu banyak ulama yang ingin mengurung wanita di dalam rumah yang
menjadikan hadits ini sebagai hadits gacoan. Ke mana-mana yang
disebut-sebut adalah hadits ini.
Nashiruddin Al-Albani jelas menshahihkan hadits ini.[10]Sebab isi hadits ini sejalan dengan pendapatnya yang ingin mengurung para wanita di dalam rumah.
Namun
di sisi lain, tidak sedikit dari para ulama hadits banyak yang
mempersoalkan kedudukan hadits ini. Alasannya ada beberapa hal, antara
lain:
a. Sesungguhnya
isnad hadits ini tidak tersambung kepada Rasululah SAW, isnadnya
munqathi (terputus). Karena Hubaib bin Abi Tsabit, salah seorang di
antara mata rantai perawinya dikenal sebagai mudallis. Dia tidak
mendengar langsung dari Ibnu Umar.
b. Dikatakan
hadits ini shahih terdapat dalam Al-Ausath-nya At-Tabrani. Padahal
Mujam At-Thabrani Al-Awsath bukan kitab sunan. At-Thabarani sendiri
tidak meniatkannya sebagai kitab shahih. Beliau justru hanya sekedar
mengumpulkan hadits-hadits yang ma’lul (bermasalah). Agar orang-orang
tahu kemunkarannya. Sayangnya, ada orang-orang yang datang kemudian,
malah menshahihkan hadits-hadits di dalamnya. Imam At-Thabarani pada
dasarnya juga tidak meriwayatkan hadits itu di dalam Al-Awsathnya.
c. Dikatakan
bahwa Ibnu Khuzaemah juga menshahihkan hadits ini. Padahal perkataan
itu tidak lain adalah tadlis. Ibnu Khuzaemah tidak pernah menshahihkan
hadits ini. Bahkan beliau menjelaskan illatnya. Beliau menuliskan sebuah judul: Babu Ikhtiyari Shalatil Mar ah fi Baitiha ala Shalatiha fil Masjid, in tsabatal hadits.
Kata penutup in tsabatal hadits justru menunjukkan bahwa beliau belum memastikan keshahihan hadits itu.
Perdebatan
antara para muhaddits tidak ada habisnya tentang keshahihan hadits ini.
Sebagian mengatakan itu hadits shahih tapi yang lain bilang itu hadits
yang bermasalah.
Maka ketika ada sebagian kalangan yang ingin mengurung wanita di dalam rumah dengan berdasarkan haditsi ini, tidak semua sepakat membenarkannya.[11]
2. Memperbolehkan wanita berkarier di luar rumah
Jika
memang ada sesuatu yang sangat mendesak untuk berkariernya wanita
diluar rumah maka hal ini diperbolehkan. Namun harus dipahami bahwa
sebuah kebutuhan yang mendesak ini harus ditentukan dengan kadarnya yang
sesuai sebagaimana sebuah kaidah fiqhiyah yang masyhur. Dan kebutuhan
yang mendesak ini misalnya :
a. Rumah tangga memerlukan kebutuhan pokok yang mengharuskan wanita bekerja
Misalnya
karena suaminya atau orang tuanya meninggal dunia atau keluarganya
sudah tidak bisa memberi nafkah karena sakit atau lainnya, sedangkan
negara tidak memberikan jaminan pada keluarga semacam mereka. Lihatlah
kisah yang difirmankan Allah dalam surat Al Qoshosh 23 dan 24 :
“Dan tatkala Musa sampai di sumber air negeri Madyan,
ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan ternaknya,
dan ia menjumpai dibelakang orang yang banyak itu dua orang wanita yang
sedang menambat ternaknya.
Musa berkata : “Apa maksud kalian berbuat demikian ?”
Kedua
wanita itu menjawab : “Kami tidak dapat meminumkan ternak kami sebelum
penggembala-pengembala itu memulangkan ternaknya, sedang bapak kami
adalah orang tua yang telah berumur lanjut, Maka Musa memberi minum
ternak itu untuk menolong keduanya.
Kemudian
ia kembali ketempat yang teduh lalu berdo’a : “Ya Tuhanku, sesungguhnya
aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.
Kemudian datang kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu, berjalan dengan penuh rasa malu, ia berkata : “Sesungguhnya bapakku memanggil kamu untuk memberi balasan terhadap kebaikanmu memberi minum ternak kami.”
Perhatikanlah perkataan kedua wanita tadi : “Sedang bapak kami adalah orang tua yang telah berumur lanjut.” Ini menunjukkan bahwa keduanya melakukan perbuatan tersebut karena terpaksa, disebabkan orang tuanya sudah lanjut dan tidak bisa melaksanakan tugas tersebut. [12]
b. Tenaga wanita tersebut dibutuhkan oleh masyarakat, dan perkerjaan tersebut tidak bisa dilakukan oleh laki-laki
Hal
yang menunjukkan hal ini adalah bahwa di zaman Rosulullah ada para
wanita yang bertugas membantu kelahiran, semacam dukun bayi atau bidan
pada saat ini. Juga saat itu ada wanita yang mengkhitan anak-anak
wanita. Dan yang dhohir bahwa perkerjaan ini mereka lakukan diluar
rumah.[13]
Pada zaman ini bisa ditambahkan yaitu dokter wanita spesialis
kandungan, perawat saat bersalin, tenaga pengajar yang khusus mengajar
wanita dan yang sejenisnya.
Diantara pekerjaan wanita yang ada pada zaman Rosululloh adalah apa yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata : “Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam berperang bersama Ummu Sulaim dan beberapa wanita anshor, maka mereka memberi minum dan mengobati orang yang terluka.”[14]
Disamping itu sejarah mencatat, beberapa wanita yang menjadi istri Rasulullah saw juga menjadi wanita karier, diantaranya:
a. Siti Khadijah
Rasulullah
SAW punya seorang isteri yang tidak hanya berdiam diri serta
bersembunyi di dalam kamarnya. Sebaliknya, dia adalah seorang wanita
yang aktif dalam dunia bisnis. Bahkan sebelum beliau menikahinya,
beliau pernah menjalin kerjasama bisnis ke negeri Syam. Setelah
menikahinya, tidak berarti isterinya itu berhenti dari aktifitasnya.
Bahkan
harta hasil jerih payah bisnis Khadijah ra itu amat banyak menunjang
dakwah di masa awal. Di masa itu, belum ada sumber-sumber dana penunjang
dakwah yang bisa diandalkan. Satu-satunya adalah dari kocek seorang
donatur setia yaitu isterinya yang pebisnis kondang.
Tentu tidak bisa dibayangkan kalau sebagai pebisnis, sosok Khadijah adalah tipe wanita rumahan yang tidak tahu dunia luar. Sebab bila demikian,
bagaimana dia bisa menjalankan bisnisnya itu dengan baik, sementara dia tidak punya akses informasi sedikit pun di balik tembok rumahnya.
bagaimana dia bisa menjalankan bisnisnya itu dengan baik, sementara dia tidak punya akses informasi sedikit pun di balik tembok rumahnya.
Di
sini kita bisa paham bahwa seorang isteri nabi sekalipun punya
kesempatan untuk keluar rumah mengurus bisnisnya. Bahkan meski telah
memiliki anak sekalipun, sebab sejarah mencatat bahwa Khadijah ra.
dikaruniai beberapa orang anak dari Rasulullah SAW.
b. Siti Aisyah
Sepeninggal Khadijah, Rasulullah beristrikan Aisyah radhiyallahu anha, seorang wanita
cerdas, muda dan cantik yang kiprahnya di tengah masyarakat tidak
diragukan lagi. Posisinya sebagai seorang isteri tidak menghalanginya
dari aktif di tengah masyarakat.
Semasa
Rasulullah masih hidup, beliau sering kali ikut keluar Madinah ikut
berbagai operasi peperangan. Dan sepeninggal Rasulullah SAW, Aisyah
adalah guru dari para shahabat yang memapu memberikan penjelasan dan
keterangan tentang ajaran Islam.
Bahkan Aisyah ra. pun tidak mau ketinggalan untuk ikut dalam peperangan. Sehingga perang itu disebut dengan perang unta (jamal), karena saat itu Aisyah radhiyallahu anha naik seekor unta. [15]
2.4 Karir Wanita dalam Perspektif Islam
Sebenarnya, usaha (kiprah) kaum wanita cukup luas meliputi
berbagai bidang, terutama yang berhubungan dengan dirinya sendiri, yang
diselaraskan dengan Islam, dalam segi akidah, akhlak dan masalah yang
tidak menyimpang dari apa yang sudah digariskan atau ditetapkan oleh
Islam.[16]
Allah
Ta’ala menciptakan laki-laki dan wanita dengan karakteristik yang
berbeda. Secara alami (sunnatullah), laki-laki memiliki otot-otot yang
kekar, kemampuan untuk melakukan pekerjaan yang berat, pantang menyerah,
sabar dan lain-lain. Cocok dengan pekerjaan yang melelahkan dan sesuai
dengan tugasnya yaitu menghidupi keluarga secara layak.
Sedangkan
bentuk kesulitan yang dialami wanita yaitu: Mengandung, melahirkan,
menyusui, mengasuh dan mendidik anak, serta menstruasi yang
mengakibatkan kondisinya labil, selera makan berkurang, pusing-pusing,
rasa sakit di perut serta melemahnya daya pikir, sebagaimana disitir di
dalam Al-Qur’an , “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik)
kepada dua orang ibu bapanya; Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan
lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun.”[17]
Ketika
dia melahirkan bayinya, dia harus beristirahat, menunggu hingga 40 hari
atau 60 hari dalam kondisi sakit dan merasakan keluhan yang demikian
banyak, tetapi harus dia tanggung juga. Ditambah lagi masa menyusui dan
mengasuh yang menghabiskan waktu selama dua tahun. Selama masa tersebut,
si bayi menikmati makanan dan gizi yang dimakan oleh sang ibu, sehingga
mengurangi staminanya.
Oleh
karena itu, Dienul Islam menghendaki agar wanita melakukan
pekerjaan/karir yang tidak bertentangan dengan kodrat kewanitaannya dan
tidak mengungkung haknya di dalam bekerja, kecuali pada aspek-aspek yang
dapat menjaga kehormatan dirinya, kemuliaannya dan ketenangannya serta
menjaganya dari pelecehan dan pencampakan.
Dienul
Islam telah menjamin kehidupan yang bahagia dan damai bagi wanita dan
tidak membuatnya perlu untuk bekerja di luar rumah dalam kondisi normal.
Islam membebankan ke atas pundak laki-laki untuk bekerja dengan giat
dan bersusah payah demi menghidupi keluarganya.
Maka,
selagi si wanita tidak atau belum bersuami dan tidak di dalam masa
menunggu (‘iddah) karena diceraikan oleh suami atau ditinggal mati, maka
nafkahnya dibebankan ke atas pundak orangtuanya atau anak-anaknya yang
lain, berdasarkan perincian yang disebutkan oleh para ulama fiqih kita.
Bila
si wanita ini menikah, maka sang suamilah yang mengambil alih beban dan
tanggung jawab terhadap semua urusannya. Dan bila dia diceraikan, maka
selama masa ‘iddah (menunggu) sang suami masih berkewajiban memberikan
nafkah, membayar mahar yang tertunda, memberikan nafkah anak-anaknya
serta membayar biaya pengasuhan dan penyusuan mereka, sedangkan si
wanita tadi tidak sedikit pun dituntut dari hal tersebut.
Selain
itu, bila si wanita tidak memiliki orang yang bertanggung jawab
terhadap kebutuhannya, maka negara Islam yang berkewajiban atas
nafkahnya dari Baitul Mal kaum Muslimin.[18]
Sebenarnya Islam tidak pernah mensyariatkan untuk mengurung wanita di dalam rumah. Tidak seperti yang banyak dipahami orang.
Lihatlah bagaimana Rasulullah SAW melarang orang yang melarang wanita mau datang ke masjid.
Diriwayatkan
dari Ibnu Umar dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda: “Janganlah kamu mencegah perempuan-perempuan untuk pergi ke
Masjid, sedangkan rumah mereka itu lebih baik bagi mereka”.[19]
Dari
Abdullah Bin Umar dia berkata, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam
bersabda: “Apabila salah seorang perempuan di antara kamu minta izin
(untuk berjama’ah di masjid) maka janganlah mencegahnya”. [20]
Diriwayatkan
dari Abu Hurairah dia berkata, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Janganlah kamu mencegah kaum wanita untuk pergi ke masjid, tetapi hendaklah mereka keluar tanpa wangi-wangian.”. [21]
Padahal
di masjid sudah bisa dipastikan banyak orang laki-laki. Dan perjalanan
dari rumah ke masjid serta begitu juga kembalinya, pasti akan bertemu
dengan lawan jenis yang bukan mahram.
Bahkan
masjid Nabawi di masa Rasulullah SAW tidak ada hijabnya. Tidak seperti
masjid kita di zaman sekarang ini yang ada tabir penghalangnya. Di masa
kenabian, posisi jamaah laki-laki dan jamaah wanita hanya dipisahkan
tempatnya saja. Shaf laki-laki di bagian depan dan shaf wanita di bagian
belakang. Anak kecil yang laki di belakang shaf laki dan anak kecil
perempuan berada di shaf terdepan dari shaf perempuan. Dan tidak ada
kain, tembok, tanaman atau penghalang apapun di antara barisan laki dan
perempuan.
Jadi
kalau dikatakan bahwa wanita itu haram keluar rumah, harus lebih banyak
dikurung di dalamnya, rasanya tidak sesuai dengan apa yang terjadi di
masa Rasulullah SAW dan salafus-shalih. Boleh dibilang mengurung wanita
di dalam rumah adalah sebuah perkara bid’ah yang sesat.[22]
Dalam
hal kepemimpinan dan politik, wanita tidak dibenarkan menjadi pemimpin
laki-laki. Para pendukung emansipasi wanita menuduh ketentuan ini
sebagai diskriminasi berdasarkan gender, dan oleh demokrasi barat
dianggap sebagai hal yang melanggar hak asasi manusia. Sekalipun
mendapat kritikan serta pelecehan dari kaum anti agama, ketetapan
Ilahiyah seperti ini tidak boleh diamandemen untuk kepentingan apapun
jua, kecuali dengan alasan yang dibenarkan oleh syari’ah. Hal ini
disandarkan pada firman Allah yang artinya: “Kaum
laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebagian mereka (laki-laki)atas bagian yang lain (wanita),
dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian harta mereka.”[23]
Kaum laki-laki adalah qauwamuna ‘alan nisa’,
pemimpin, pemelihara dan pendidik bagi kaum wanita. Bukan sebaliknya
laki-laki dipimpin, dikuasai dan disantuni olah wanita yang mempunyai
kekurangan akal dan ibadah. Sudah selayaknya yang memiliki kelebihan dan
kesempurnaan menyantuni dan menyayangi yang lemah dan kekurangan.
Demikian pula yang kaya harus menolong si miskin dan orang yang mampu
membantu yang tidak mampu. Dengan kelebihan ini tepatlah jika laki-laki
sebagai pemimpin.[24]
2.5 Solusi
Wanita
boleh saja keluar dan berkarier di luar rumah. Apabila ada keperluan
bagi seorang wanita untuk bekerja keluar rumah maka harus memenuhi
beberapa ketentuan syar’i agar kariernya tidak menjadi perkerjaan yang
haram. Syarat-syarat itu adalah :
1. Memenuhi adab keluarnya wanita dari rumahnya baik dalam hal pakaian ataupun lainnya.
2. Mendapat izin dari suami atau walinya.
Wajib hukumnya bagi seorang istri untuk mentaati suaminya dalam hal
kebaikan dan haram baginya mendurhakai suami, termasuk keluar dari rumah
tanpa izinnya.[25]
3. Pekerjaan tersebut tidak ada kholwat dan ikhtilat (Campur baur) antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram. Sebagaimana firman Allah:
“Dan apabila kalian meminta pada mereka sebuah keperluan, maka mintalah dari balik hijab.”[26]
Juga sabda Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam :
لا يخلون رجل بامرأة إلا مع ذي محرم
“Janganlah seorang laki-laki berdua-duaan dengan wanita kecuali bersama mahramnya.”[27]
Seorang
wanita muslimah agar terlihat istimewa dia harus dapat menjaga
kehormatan dalam pergaulannya. Harus membatasi diri dalam pergaulan.
Seorang wanita apalagi yang sudah mempunyai suami harus hati-hati dengan
sesuatu yang dapat mengakibatkan kemurkaan Allah, salah satunya adalah
adanya batasan pergaulan dengan non-muhrim.[28]
4. Tidak menimbulkan fitnah
Wanita
yang berkarier di luar rumah tidak menimbulkan fitnah. Hal ini dapat
dilakukan dengn cara menutupi seluruh tubuhnya di hadapan laki-laki
asing dan menjauhi semua hal yang berindikasi fitnah, baik di dalam
berpakaian, berhias atau pun berwangi-wangian (menggunakan parfum).
5. Tetap bisa mengerjakan kewajibannya sebagai ibu dan istri bagi keluarganya,karena itulah kewajibannya yang asasi.
6. Hendaknya
pekerjaan tersebut sesuai dengan tabi’at dan kodratnya seperti dalam
bidang pengajaran, kebidanan, menjahit dan lain-lain.[29]
Tips berkarier bagi wanita:
a. Pilihlah
karier yang tidak mendekati mudharat, tidak membuat diri tergadai
kesuciannya. Artinya karier yang memungkinkan untuk tidak ber- khalwat
dengan rekan kerja pria, tidak berpakaian kecuali mengindahkan
syari'at Islam, tidak harus pulang larut malam atau dinihari, serta
tak sering berdomisili diluar kota, jauh dari suami dan anak-anaknya.
| |
| |
b. Tentukan
alokasi waktu untuk menjalin hubungan baik dengan suami- anak, serta
punya jadwal rutin silaturrahim dengan orangtua, mertua, maupun
tetangga dekat.
| |
| |
c. Selalu mendahulukan kepentingan suami dan anak daripada prioritas-prioritas lainnya.
| |
| |
d. Tak terlalu ambisius dalam karier, tapi juga tidak menahan atau mengabaikan potensi diri yang dimiliki.[30]
| |
| |
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Berkarier
bagi muslimah boleh-boleh saja asalkan tidak keluar dari koridor
Syariat Islam seperti tersurat dan tersirat dalam kisah nabi Musa dan
kedua putri Nabi Syuaib. Pertama, memenuhi tata cara pergaulan yang
Islami, yaitu menghindari hal-hal yang bersifat jahiliyyah seperti
bercampur-baur dengan laki-laki asing (ikhtilath), pamer aurat
(tabarruj), melembutkan suara dengan maksud memikat hati laki-laki, dan
berdua-duaan (khalwat) dengan non-muhrim yang bisa menimbulkan fitnah.
Dan kedua, mendapat izin orang tua (kalau belum menikah) atau suami,
serta menjaga pandangannya (ghadhdh al-bashar) dan dengan alasan yang
tidak bertentangan dengan syariat islam.
3.2 Saran
Sudah
waktunya kita memahami betapa agungnya dien ini di dalam setiap produk
hukumnya, berpegang teguh dengannya, menjadikannya sebagai hukum yang
berlaku terhadap semua aturan di dalam kehidupan kita serta berkeyakinan
secara penuh, bahwa ia akan selalu cocok dan sesuai di dalam setiap
masa dan tempat. Tidak ada bentuk diskriminasi dan ketidakadilan
bagaimanapun bentuknya, termasuk dalam berkarier baik laki-laki maupun
wanita. Wanita boleh saja berkarier selama memperhatikan etika, tidak
menimbulkan fitnah serta tidak mengabaikan tugasnya sebagai seorang
istri dan ibu.
Dari
beberapa kriteria di atas, sepertinya sulit kita menemukan karier
wanita yang ada saat ini bisa memenuhi ketentuan tesebut kecuali sedikit
sekali. Bahkan yang banyak kita saksikan adalah bahwa setiap karier
wanita saat ini baik di kantor, pabrik, sales atau lainnya penuh dengan
ikhtilat, pakaian yang tidak syar’i dan banyak menimbulkan fitnah. Oleh
karena itu, kaum wanita mukminah hendaknya bertaqwa pada Allah, takut
pada adzab-Nya yang pedih, tidak karena hanya beberapa keping uang rela
menerjang larangan Allah dan Rasul-Nya. Padahal sebenarnya banyak dari
kalangan wanita karier tersebut bukan karena kebutuhan yang mendesak
atau karena sebab syar’i lainnya namun mungkin hanya karena mengejar
ambisi dunia. Wallahu a‘lam.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Abu Muhammad Jibril. 1999. Karakteristik Lelaki Shalih. Yogyakarta: Wihdah Press
Asraf, Abu Muhammad. 2009. Curhat Pernikahan. Bandung: Pustaka Rahmat
Hasan, M. Ali. 1998. Masail Fiqhiyah Al-Haditsah pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Departemen Agama RI. 2007. Al-Quran dan Terjemahannya Al-Jumanatul Ali. Bandung: CV. J.Art
Majalah “Al-Hikmah” vol VIII, edisi Syawwal 1416 H
Sugiharto, Muhammad Restu. 2008. The Inner Power of Muslimah. Jakarta: PT Mizan Publika
www.ahmadsabiq.com
http://media.isnet.org/islam/Qardhawi/Fatawa/PerananWanita.html.
Tags
MAKALAH PAI