Istilah Ilmu Hadis (Hadis Masyhur)
ISTILAH ILMU HADITSPENJELASAN MENGENAI ISTILAH ILMU HADITS
(Penjelasan Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam muqaddimah Kitabnya Bulughul Maram )
Perlu diketahui bahwa yang dimaksud dengan istilah Shahihain adalah kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Setiap hadits yang diketengahkan oleh keduanya secara bersama melalui seorang sahabat disebut Muttafaq Alaih. Mengenai istilah Ushuulus Sittah atau dikenal dengan Sittah adalah Shahihain Sunan Imam Abu Dawud, Imam Tirmidzi, Imam An-Nasa-i, dan Imam Ibnu Majah. Mulai dari Abu Dawud hingga Ibnu Majah dikenal dengan istilah Arba’ah yang masing masing memiliki kitab Sunan. Akan tetapi, ada sebagian ulama yang tidak memasukan Imam Ibnu Majah kedalam Arba’ah dan menggantinya dengan Al-Muwaththa’ atau dengan Musnad Ad-Darimi. Sab’ah terdiri dari Imam Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai, dan Ibnu Majah. Sittah terdiri dari Imam Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai dan Ibnu Majah. Khamsah terdiri dari Imam Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai dan Ibnu Majah. Arba’ah terdiri dari Imam Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai dan Ibnu Majah. Tsalaatsah terdiri dari Imam Abu Dawud, At-Tirmidzi dan An-Nasai. Muttafaq ‘Alaih terdiri dari Imam Bukhari dan Muslim.
Istilah istilah Hadits
Matan =materi hadits yang berakhir dengan sanad.
Sanad =para perawi yang menyampaikan kepada matan.
Isnad = rentetan sanad hingga sampai ke matan, sebagai contoh ialah
“Dari Muhammad Ibnu Ibrahim, dari Alqamah ibnu Waqqash, dari Umar Ibnu Khaththab bahwa Rasullullah saw pernah bersabda: Sesungguhnya semua amal perbuatan itu berdasarkan niat masing masing.” Sabda Nabi saw yang mengatakan: ”Sesungguhnya semua amal perbuatan itu berdasarkan niat masing-masing” disebut matan, sedangkan diri para perawi disebut sanad, dan yang mengisahkan sanad disebut isnad.
Musnad = hadits yang isnadnya mulai dari permulaan hingga akhir berhubungan, dan kitab yang menghimpun hadits hadits setiap perawi secara tersendiri, seperti kitab Musnad Imam Ahmad.
Musnid =orang yang meriwayatkan hadits berikut isnadnya.
Al Muhaddits = orang yang ahli dalam bidang hadits dan menekuninya secara riwayat dan dirayah (pengetahuan).
Al-Haafizh =orang yang hafal seratus ribu buah hadits baik secara matan maupun isnad.
Al-Hujjah = orang yang hafal tiga ratus ribu hadits.
Al-Haakim = orang yang menguasai sunnah tetapi tidak memfatwakannya melainkan sedikit.
Pembagian Hadits
1. Hadits bila ditinjau dari segi thuruq (jalur periwayatannya) terbagi menjadi muttawatir dan ahad.
a. Hadits Muttawatir = hadits yang memenuhi empat syarat , yaitu :
= diriwayatkan oleh segolongan orang yang banyak jumlahnya.
= menurut kebiasaan mustahil mereka sepakat dalam kedustaan.
= mereka meriwayatkannya melalui orang yang semisal mulai dari permulaan hingga akhir.
= hendaknya musnad terakhir dari para perawi berpredikat hasan (baik).
Hadits muttawatir dapat memberikan faedah ilmu yang bersifat dharuri, atau dengan kata lain ilmu yang tidak dapat ditolak lagi kebenarannya. Contoh hadits muttawatir adalah hadits yang mengatakan :
“Barang siapa yang berdusta terhadapku atau atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah dia bersiap siap menempati tempat duduknya dari api neraka.”
b. Hadits Ahad = hadits yang di dalamnya terdapat cacat pada salah satu syarat muttawatirnya. Hadits ahad dapat memberikan faedah yang bersifat zhan dan adakalanya dapat memberikan ilmu yang bersifat nazhari (teori) apabila dibarengi dengan bukti yang menunjukkan kepadanya.
Pembagian hadits ahad ada tiga yaitu :
1. hadits sahih = hadits yang diriwayatkan oleh orang yang adil, memiliki hafalan yang sempurna sanad nya muttashil (berhubungan dengan yang lainnya) lagi tidak mu’allal (tercela) dan tidak pula syadz (menyendiri). Istilah adil yang dimaksud ialah adil riwayatnya, yakni seorang muslim yang telah aqil baliq, bertaqwa dan menjauhi semua dosa dosa besar. Pengertian adil ini mencakup laki-laki, wanita, orang merdeka dan budak belian.
Istilah dhabth ialah hafalan. Ada dua macam dhabth yaitu :
• dhabth shard ialah orang yang bersangkutan hafal semua hadits yang diriwayatkannya di luar kepala dengan baik.
• dhabth kitab yaitu orang yang bersangkutan memelihara pokok hadits yang dia terima dari gurunya dari perubahan perubahan (atau dengan kata lain text-book).
Mu’allal = hadits yang dimasuki oleh suatu ‘illat (cela) yang tersembunyi hingga mengharuskannya dimauqufkan (diteliti lebih mendalam).
Syadz =hadits yang orang tsiqah (yang dipercaya) nya berbeda dengan orang yang lebih tsiqah darinya.
2. hadits hasan = hadits yang diriwayatkan oleh orang yang adil. hafalannya kurang sempurna tetapi sanad
nya muttashil lagi tidak mu’allal dan tidak pula syadz. Apabila hadits hasan ini kuat karena didukung oleh satu jalur atau dua jalur periwayatan lainnya, maka predikatnya naik menjadi shahih lighairihi.
3. hadits dha’if =hadits yang peringkatnya dibawah hadits hasan dengan pengertian karena didalamnya terdapat cela pada salah satu syarat hasan. Apabila hadits dha’if menjadi kuat karena didukung oleh jalur periwayatan lainnya atau sanad lainnya maka predikatnya naik menjadi hasan lighairihi.
Shahih dan hasan keduanya dapat diterima. Dha’if ditolak maka tidak dapat dijadikan sebagai hujjah, kecuali dalam masalah keutamaan beramal tetapi dengan syarat predikat dha’ifnya tidak terlalu parah dan subyek yang diketengahkan masih termasuk ke dalam pokok syariat, serta tidak berkeyakinan ketika mengamalkannya sebagai hal yang telah ditetapkan melainkan tujuan dari pengamalannya hanyalah untuk bersikap hati-hati dalam beramal.
2. Hadits bila ditinjau dari perawinya terbagi menjadi :
a. hadits masyhur = hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih, tetapi masih belum memenuhi syarat muttawatir. Terkadang diucapkan pula terhadap hadits yang telah terkenal hingga menjadi buah bibir, sekalipun hal itu maudhu’ (palsu).
b. hadits ‘aziz = hadits yang diriwayatkan oleh dua orang perawi saja, sekalipun masih dalam satu thabaqah (tingkatan) karena sesungguhnya jumlah perawi yang sedikit pada mayoritasnya dapat dijadikan pegangan dalam bidang ilmu ini.
c. hadits gharib =hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi sekalipun dalam salah satu thabaqah.
Hadits gharib terbagi menjadi dua macam yaitu :
• gharib muthlaq yang artinya hadits yang kedapatan menyendiri dalam pokok sanadnya.
• gharib nisbi yang artinya hadits yang kedapatan menyendiri pada sanad selanjutnya.
3. Hadits terbagi pula menjadi dua bagian lainnya yaitu maqbul dan mardud :
a. hadits maqbul =hadits yang dapat dijadikan hujjah yang didalamnya terpenuhi syarat-syarat hadits shahih atau hadits hasan. Hadits maqbul terbagi menjadi empat yaitu :
- shahih lidzatihi yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, sempurna hafalannya, muttashil
sanadnya, tidak mu’allal dan tidak pula syadz. Shahih lidzatihi ini berbeda beda peringkatnya menurut perbedaan sifat yang telah disebutkan tadi.
- shahih lighairihi yaitu hadits yang mengandung sebagian sifat yang ada pada hadits maqbul, paling sedikit. Akan tetapi dapat ditemukan hal hal yang dapat menyempurnakan kekurangannya itu, seumpamanya ada hadits yang sama diriwayatkan melalui satu atau banyak jalur lainnya.
- hasan lidzatihi yaitu hadits yang dinukil oleh seseorang yang adil, ringan hafalannya (kurang sempurna) muttashil sanadnya, melalui orang yang semisal dengannya, hanya tidak mu’allal dan tidak pula syadz.
- hasan lighairihi yaitu hadits yang masih ditangguhkan penerimaannya tetapi telah ditemukan di dalam nya hal hal yang menguatkan segi penerimaannya. Contohnya ialah hadits yang didalam sanadnya terdapat orang yang keadaannya masih belum diketahui atau orang yang buruk hafalannya.
Hadits Maqbul pun terbagi menjadi :
1. Muhkam yaitu hadits yang tidak ada hadits lain yang menentangnya.
2. Mukhtalaf yaitu haidts yang didapatkan ada hadits lain yang menentangnya tetapi masih dapat digabungkan diantara keduanya.
3. Nasikh yaitu hadits yang datang kemudian isinya menentang hadits yang semisal.
4. Rajih yaitu hadits yang dapat diterima, kandungannya menentang hadits yang semisal yang mendahuluinya karena adanya penyebab yang mengharuskan demikian, sedangkan menggabungkan keduanya tidak mungkin, lawan dari rajah ialah marjuh.
b. hadits mardud= hadits yang didalamnya tidak terpenuhi syarat-syarat shahih dan hasan . Hadits mardud ini tidak dapat dijadikan hujjah dan terbagi pula menjadi dua bagian yaitu :
¨. mardud yang disebabkan adanya keguguran dalam isnad (sanad)nya, terbagi menjadi lima macam :
a. mu’allaq yaitu hadits yang dari awal sanadnya gugur seorang perawi, dan termasuk ke dalam hadits mu’allaq ialah hadits yang semua sanadnya dibuang.
b. mursal yaitu hadits yang dinisbatkan oleh seorang tabi’in kepada Nabi saw.
c. mu’adhdhal yaitu hadits yang gugur darinya dua orang perawi secara berturut turut.
d. munqathi yaitu haidts yang gugur darinya seorang atau dua orang perawi, tetapi tidak berturut turut.
e. mudallas yaitu hadits yang terdapat keguguran didalamnya tetapi tersembunyi, sedangkan ungkapan periwayatnya memakai istilah ‘an (dari). Contohnya dia menggugurkan nama gurunya, lalu menukil dari orang yang lebih atas daripada gurunya dengan memakai ungkapan yang memberikan pengertian kepada si pendengar bahwa hal itu dinukilnya secara langsung, contoh ini dinamakan mudallas isnad. Adakalanya, nama gurunya tidak digugurkan, tetapi gurunya itu digambarkan dengan sifat yang tidak dikenal, contoh seperti ini dinamakan mudallas syuyukh. Adakalanya, dia menggugurkan seorang perawi
dha’if di antara dua orang perawi yang tsiqah, contoh ini dinamakan mudallas taswiyah.
¨. mardud karena adanya cela terbagi menjadi empat macam :
a. maudhu’ yaitu hadits yang perawinya dusta mengenainya.
b. matruk yaitu hadits yang celanya disebabkan perawi dicurigai sebagai orang yang dusta.
c. munkar yaitu hadits yang celanya karena kebodohan siperawinya atau karena kefasikannya.
d. mu’allal yaitu hadits yang celanya karena aib yang tersembunyi, tetapi lahiriahnya selamat, tidak tampak aib.
Termasuk kedalam kategori tercela ialah yang disebabkan idraj (kemasukan). Jenis ini ada dua macam :
• mudraj matan ialah hadits yang didalamnya ditambahkan sebagian dari lafazh perawi, baik pada permulaan, tengah-tengah atau bagian akhirnya. Adakalanya untuk menafsirkan lafazh yang gharib (sulit) seperti yatahannatsu (yata’abbadu) yang artinya beribadah.
• mudraj isnad ialah hadits yang didalamnya ditambahkan isnadnya seperti menghimpun beberapa sanad dalam satu sanad tanpa penjelasan.
Termasuk kedalam pengertian tha’n (cacat) ialah qalb, yaitu hadits yang maqlub (terbalik) disebabkan seorang perawi bertentangan dengan perawi lain yang lebih kuat darinya karena mendahulukan atau mengakhirkan sanad atau matan. Termasuk pula kedalam pengertian tha’n ialah idhthirab yakni hadits yang mudhtharib yaitu hadits yang perawinya bertentangan dengan perawi lain yang lebih kuat dari padanya dalam sanad, matan atau dalam kedua-duanya, padahal tidak ada murajjih (yang menentukan mana yang lebih kuat dari pada keduanya) sedangkan menggabungkan keduanya merupakan hal yang tidak dapat dilakukan.
Termasuk kedalam pengertian tha’n ialah tashhif yaitu hadits mushahhaf dan tahrif (hadits muharraf). Hadits mushahhaf ialah cela yang ada padanya disebabkan seorang perawi bertentangan dengan perawi lainnya yang lebih kuat dalam hal titik. Jika ada pertentangan itu dalam hal harakat, maka dinamakan hadits muharraf. Termasuk kedalam pengertian tha’n ialah jahalah, juga disebut ibham (misteri), bid’ah, syudzudz, dan ikhtilath.
• hadits mubham ialah hadits yang didalamnya ada seorang perawi atau lebih yang tidak disebutkan namanya.
• hadits mubtadi’ ialah jika bid’ahnya mendatangkan kekufuran, maka perawinya tidak dapat diterima, jika bid’ahnya menimbulkan kefasikan, sedangkan perawinya orang yang adil dan tidak menyeru kepada
bid’ah tersebut, maka haditsnya dapat diterima.
• hadits syadz ialah hadits yang seorang perawi tsiqahnya bertentangan dengan perawi yang lebih tsiqah darinya. Lawan kata dari hadits syadz ialah hadits mahfuzh, yaitu hadits yang seorang perawi tsiqahnya bertentangan dengan hadits perawi lainnya yang tsiqahnya masih berada di bawah dia.
• hadits mukhtalath ialah hadits yang perawinya terkena penyakit buruk hafalan disebabkan otaknya terganggu, misalnya akibat pengaruh usia yang telah lanjut (pikun). Hukum haditsnya dapat diterima sebelum akalnya terganggu oleh buruk hafalannya, adapun sesudah terganggu tidak dapat diterima. Jika tidak dapat dibedakan antara zaman sebelum terganggudan zaman sesudahnya, maka senuanya ditolak.
4. Hadits bila dipandang dari segi matan dan sanad terbagi menjadi :
a. hadits marfu’ ialah hadits yang disandarkan kepada Rasullullah saw baik secara terang terangan maupun secara hukum.
b. hadits mauquf ialah hadits yang sanadnya terhenti sampai kepada seorang sahabat tanpa adanya tanda tanda yang menunjukan marfu’, baik secara ucapan maupun perbuatan.
c. hadits maqthu’ ialah hadits yang isnad (sanad) nya terhenti sampai kepada seorang tabi’in.
d. hadits muthlaq ialah hadits yang bilangan perawinya sedikit bila dibandingkan dengan sanad lainnya dan sanad sampai kepada Rasullullah saw. Lawan dari al-muthlaq ialah hadits nazil muthlaq.
e. hadits al nasabi ialah hadits yang perawinya sedikit bila dibandingkan dengan f. hadits nazil nasabi ialah lawan haidts al nasabi. Hadits al nasabi lebih ke shahih karena kekeliruannya sedikit. hadits nazil nasabi ini tidak disukai kecuali karena sanad lainnya dan berakhir sampai kepada seorang Imam terkenal seperti Imam Malik, Imam Syafi’ie, Imam Bukhari dan Imam Muslim.
keistimewaan khusus yang ada pa dan Mukhtalif, Mutasyabih, Muhmal, serta Sabiq dan Lahiq.danya.
Hadis Masyhur
Iman, Islam, Ihsan
عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَيْضاً قَالَ: بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيْدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعْرِ، لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ، وَلاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ، حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ وَقَالَ: يَا مُحَمَّد أَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِسْلاَمِ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: اْلإِسِلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ وَتُؤْتِيَ الزَّكاَةَ وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً قَالَ: صَدَقْتَ، فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ، قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِيْمَانِ قَالَ: أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ. قَالَ صَدَقْتَ، قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِحْسَانِ، قَالَ: أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ. قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ السَّاعَةِ، قَالَ: مَا الْمَسْؤُوْلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ. قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنْ أَمَارَاتِهَا، قَالَ أَنْ تَلِدَ اْلأَمَةُ رَبَّتَهَا وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُوْنَ فِي الْبُنْيَانِ، ثُمَّ انْطَلَقَ فَلَبِثْتُ مَلِيًّا، ثُمَّ قَالَ: يَا عُمَرَ أَتَدْرِي مَنِ السَّائِلِ ؟ قُلْتُ: اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمَ. قَالَ فَإِنَّهُ جِبْرِيْلُ أَتـَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِيْنَكُمْ.
[رواه مسلم]
Dari Umar juga dia berkata:
“Ketika kami duduk-duduk di samping Rasul Allah suatu hari tiba-tiba datanglah seorang laki-laki yang mengenakan baju yang sangat putih dan berambut sangat hitam, tidak tampak padanya bekas-bekas perjalanan jauh. Tidak ada seorangpun di antara kami yang mengenalnya.
Hingga
kemudian dia duduk di hadapan Nabi lalu menempelkan kedua lututnya
kepada kepada lututnya (Rasul Allah) seraya berkata: “Ya Muhammad,
beritahukan aku tentang Islam?” maka bersabdalah Rasul Allah: “Islam
adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada ilah selain Allah, dan bahwa
Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan salat, menunaikan
zakat, puasa Ramadan dan pergi berhaji apabila mampu.” Kemudian dia
berkata: “Engkau benar.”
Kami
semua heran, dia yang bertanya dia pula yang membenarkan. Kemudian dia
bertanya lagi: “Beritahukan aku tentang iman”. Lalu beliau bersabda:
“Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan Hari Akhir, dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk,” kemudian dia berkata: “Engkau benar”.
Kemudian
dia berkata lagi: “Beritahukan aku tentang ihsan (kebaikan)”. Lalu
beliau bersabda: “Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan
engkau melihatnya, jika engkau tidak melihatnya maka Dia melihat
engkau”. Kemudian dia berkata: “Beritahukan aku tentang hari kiamat
(kapan kejadiannya)”. Beliau bersabda: “Yang ditanya tidak lebih tahu
dari yang bertanya.” Dia berkata: “Beritahukan aku tentang tanda-tandanya,”
beliau bersabda: “Jika seorang hamba melahirkan tuannya, dan jika
engkau melihat seorang bertelanjang kaki dan dada, miskin dan
penggembala domba, (kemudian) berlomba-lomba meninggikan bangunannya,” kemudian orang itu berlalu.
Aku
berdiam sebentar, kemudian beliau (Rasul Allah) bertanya: “Tahukah
engkau siapa yang bertanya?” Aku berkata: “Allah dan orang yang
diutus-Nya
lebih mengetahui.” Beliau bersabda: “Dia adalah Jibril yang datang
kepada kalian (dengan maksud) mengajar tentang agama kalian.” [HR.Muslim]
Hadits ditinjau dari Kualitas dan Kuantitas
BAB I
PENDAHULUAN
Dengan
percepatan teknologi dan ilmu pengetahuan peradaban juga mengikuti
perkembangan yang terjadi dengan muncul berbagai pemahaman dan
pengkajian berbagai hukum yang tidak terjadi dimasa lampau hingga
menimbulkan banyak perselisihan dalam memaknai sebuah peristiwa atau
masalah dalam kehidupan, dikalangan umat Islam khususnya yang menjadi
panduan hidup di muka bumi ialahal-Qur’an
yang berisikan jawaban tentang segala sesuatu yang ada di dunia baik
secara tersirat maupun secara tersurat, namun konteksnya ada sebagian
yang perlu penelaah lebih mendalam karena tidak di ungkapkan secara
gamblang maka di perlukan pengkajian dengan memakai hadis yang
bersumber dari Rasulullah SAW. Beliau bersabda Ku tinggalkan
kepadamu (umat Islam) dua pusaka abadi, apabila kamu berpegang
kepadanya nescaya kamu tidak akan sesat ,iaitu Kitab Allah (Al Quran)
dan Sunnahku.
Mayoritas
ulama berbeda pendapat dalam pengkajian hadis. Hadis yang sering di
jumpai tidak serta merta dapat mengadopsi secara langsung, hadis yang
di dapati perlu adanya pencarian jati diri hadis tersebut untuk
menetapkan kualitas hadis yang akan diimplementasikan, agar tidak
terjadi kesalahan dalam menetapkan sebuah hukum.
Bertitik
tolak dari hal tersebut maka penulis tertarik untuk menguak pembagian
hadis yang selama ini beredar baik ditinjau dari kuantitasnya yang
meliputi hadis mutawatir dan ahad maupun dari segi kualitasnya yang
terdiri hadis sahih, hasan, daif dan maudhu, penulis menyadari didalam
makalah sanagat jauh dari kempurnaan kritik dan saran pembaca secalian
sangat diharapkan sebagai kontribusi dalam merevisi makalah ini.
BAB II
HADIS DI TINJAU DARI KUANTITASNYA
Untuk
mengungkapkan tinjauan pembagian hadis dari segi kuantitas jumlah para
perawi para penulis hadis pada umumnya menggunakan beberapa
redaksi yang berbeda. sebagian mereka melihat pembahagian hadis dari
segi bagaimana proses penyampaian hadis dan sebagian lagi memilih dari
segi kuantitas atau jumlah perawinya.
Bagan I
A. Hadits Mutawatir
1. Pengertian
Secara etimologi kata mutawatir adalah isim fail dan masdar-nya adalah tawatur yang berarti mutabi’ (datang berturut-turut
dan beriringan antara satu dengan yang lain ). Secara terminologi
hadits mutawatir ialah hadis yang diriwayatkan oleh segolongan rawi
banyak, dimana materi hadis tersebut bersifat inderawi, yang menurut
pertimbangan rasio, mereka mustahil melakukan konspirasi kebohongan dan
adanya segolongan rawi banyak itu terdapat di dalam semua tabaqahnya
jika terdiri dari beberapa tabaqah.[1]
Hadits
mutawatir berarti sebuah hadist yang diriwayatkan oleh banyak rawi
yang secara umum mustahil untuk sepakat berbohong dari awal hingga
puncaknya, nabi Muhammad SAW.[2] Menurut Nur Ad-din
‘Atar hadits mutawatir merupakan hadist yang diriwayatkan oleh
sejumlah besar orang yang terhindar dari kesepakatan mereka untuk
berdusta sejak awal sanad hingga akhir sanad dengan didasarkan pada
panca indra.[3]
2. Kinerja
Adapun
syarat hadits mutawatir ini yang lebih banyak merincikannya adalah
ulama ushul. Sementara ulama hadits tidak banyak merincikannya karena
menurut mereka hadits ini tidak termasuk kedalam pembahasan ilmu al – isnad yaitu
ilmu yang membicarakan tentang sahih atau tidaknya, diamal tidaknya
hadits, padahal dalam kajian hadits mutawatir tidak di bicarakan hal
itu, jika di ketahui hadits mutawatir maka wajib melaksanakannya karena
diyakini kebenarannya sekalipun perawinya orang kafir[4]
Adapun
syarat hadits muawatir meliputi : a) hadits yang diriwayatkan harus
melalui tanggapan panca indra, b) kualitas rawi sampai pada jumlah yang
menurut adat mustahil mereka mufakat untuk berdusta hadis ini harus
di riwayatkan oleh sejumlah perawi besar yang tidak mungkin bersepakat
untuk berdusta, mengenai jumlah perawinya ulama bebrbeda pendapat
dalam menetapkan ada sebagian yang mengatakan jumlah perawi dalam
hadis ini berbagai pendapat yang di muali dengan mengatakan 5, ada
yang 12 dan ada 40 hingga sampai 70 orang perawi sebetulnya bukan
merupakan hal yang pokok yang menjadi ukuran rawi namun diukur pada
tercapainya ilmu dharuri, sekalipun perawinya hanya 5 orang
asalkan memberikan keyakinan bahwa berita yang mereka sampaikan itu
bukan kebohongan. c) adanya keseimbangan jumlah rawi di awal dan
ditengah thabaqatnya dengan demikian jika suatu hadis diriwayatkan
oleh 20 orang sahabat kemudian di terima oleh 10 tabi’in dan
berikutnya hanya diterima 5 tabi’in tidak dapat di golongkan hadis
mutawatir, sebab jumlah perawinya tidak seimbang akan tabaqat pertama
dengan tabaqat-tabaqat
selanjutnya, akan tetapi ada juga yang berpendapat bahwa keseimbangan
jumalah rawi pada tiap tabaqat tidaklah terlalu penting sebab yang
diinginkan dengan banyaknya perawi terhindar dari kemungkinan
berbohong.[5]
Menurut ulama ada yang membagi hadits mutawatir kedua bagian dan ada pula yang membaginya kepada tiga bagian yaitu :
· Hadist
mutawatir lafzhi adalah hadits mutawatir periwayatannya dalam hal
lafadz dan ada juga yang mengatakan mutawatir lafaz dan maknanya, Ibnu
Hajar menolak pendapat ini, menurutnya diantara dalil yang paling baik
untuk menetapkan adanya hadits mutawatir adalah kitab-kitab
yang sudah terkenal diantara ahli ilmu baik ditimur dan di barat yang
mereka yakin sah disandarkan kepada pengarang – pengarang apabila
mereka berkumpul untuk meriwayatkan hadits maka menurut adat maka
mustahil mereka sepakat untuk berdusta.[6] Ibnu Salah mengatakan hadis yang seperti ini sangat jarang di temukan.[7]
· Mutawatir
maknawi adalah hadits yang dinukilkan oleh sejumlah orang yang
mustahil mereka sepakat berdusta mereka menukilkan dalam berbagai
bentuk tetapi mempunyai kesamaan dalam hal maknanya yang isinya
mengandung satu hal, satu sifat atau sau perbuatan. Contohnya ‘’Abu
Musa al-Asy’ari berkata : Nabi Muhammad SAW, berdoa kemudin ia mengangkat kedua tangannya dan aku melihat puih-putih di kedua ketiaknya. Hadis seperti ini diriwatyatkan dari Nabi Muhammad SAW. Berjumlah sekitar seratus hadis dengan redaksi yang berbeda-beda tetapi mempunyai titik kesamaan yakni rasul mengangkat tangan saat berdo’a. Meski hadis-hadis tersebut berbeda-beda
redaksinya, namun karena mempunyai qadar mustarak (titik persamaan)
yang sama, yakni keadaan Rasulullah yang mengangkat tangan pada saat
berdo’a, maka disebut sebagai hadis Mutawatir-maknawi[8]
· Hadis
muatawatir amali ialah sesuatu yang diketahui dengan mudah, bahwa ia
termasuk urusan agama dan telah muatawatir antara umat Islam bahwa
Rasullullah SAW. menyuruhnya atau mengerjakannya. Hadits ini banyak
jumlahnya seperti hadist yang menerangkan waktu shalat, jumlah raka’at,
salat ied, kadar zakat harta dll.[9]
3. Kehujjahan
Kehujjahan
hadis mutawatir sudah diakui oleh semua ulama maka hadis mutawatir
harus di terima dan wajib di amalkan karena tingkat hadis yang paling
teratas dan sudah teruji kebenarannya. Hadits mutawatir telah
disepakati oleh ulama oleh karenanya dapat di jadikan hujjah dan wajib
mengamalkannya hadis muatawatir di anggap qath’iy, oleh karena itu hadis mutawatir tidak dibahas lagi perawinya.
B. Hadis Ahad
1. Pengertian
Al – Ahad jama’ dari ahad, menurut bahasa berarti al-wahid atau satu, jadi hadis ahad adalah suatu berita yang disampaikan oleh satu orang.[10]
Hadits ahad ialah hadist yang jumalah rawinya tidak mencapai
mutawatir dan bila di tinjau setiap tabaqahnya hadits ahad ini tidak
mencapai derajat mutawatir, dari sudut pandanganya tidak sampainya
jumlah rawi setiap tabaqatnya.[11]
2. Kinerja
Seperti halnya hadis muawatir hadis ahad juga terdapat beberapa bagian adapun beberapa bagian dalam hadis ahad ialah: Hadis masyhur dan hadis ghairi masyhur.
Hadis masyhur menurut bahasa ialah al-antisyar wa al-dhuyu ialah
sesuatu yang sudah populer. Menurut bahasa hadis ini ialah hadits
mutawatir yang tidak membatasi sanadnya. Hadits masyur ini ada
beberapa macam menurut masyurnya; a) hadis yang mashyur di kalangan
ahli hadits saja b) hadis yang masyhur di kalangan ulama dan masyarakat
umum saja c) hadist yang mashyur di kalangan fuqaha saja, d) hadits
yang masyhur di kalangan ulama ushul fiqh, e) hadist yang masyur
dikalangan ulama ahli bahasa, f) hadist yang masyhur dikalangan ahli
pendidikan dan hadist yang masyhur di kalangan masyarakat umum.[12]
Ada
ulama yang memasukkan hadis masyur, merupakan segala hadis yang
populer dalam masyarakat, sekalipun tidak mempunyai sanad sama sekali,
baik bersetatus dhaif maupun sahahih. Ulama Hanafiah, bahwa
hadis ini menghasilkan ketenangan hati, dekat kepada keyakinan dan
wajib di amalkan akan tetapi bagi yang menolaknya tidak kafir.
Contohnya “Barang siapa yang hendak pergi melaksanakan shalat jum’at, hendaknya ia mandi”
ini merupakan hadis mansyur sahih. Disamping itu terdapat hadis
mansyur hasan ialah hadis mansyur yang telah memenuhi ketentuan-ketentuan hadis hasan baik mengenai sanad maupun matannya seperti “jangan melakukan perbuatan yang berbahaya (bagi diri sendiri dan orang lain) [13]
Hadis
Ghair Masyhur dibagi dua yaitu pertama hadis aziz, hadis yang
perawinya kurang dari dua orang dalam semua tabaqat sanad, suatu hadis
dikatakan hadis aziz adalah hadis yang diriwayatkan oleh dua orang
rawi pada setiap tabaqat, yakni pada tabaqat pertama hingga tabaqat
terakhir tetapi selagi salah satu tabaqatnya didapati dua perawi tetap
dikatakan hadis aziz. Contohnya : tidak beriman seseorang dianara kamu, hingga aku lebih dicinttai daripada dirinya, orang tuanya, anaknnyadan semua manusia ( H.R. Bukhari - Muslim)[14]
Hadits gharib menurut bahasa al-Munfarid (menyendiri) atau al-ba’da an aqaribihi
(jauh dari kerabatnya) dan menurut terminologi ialah hadits yang
hanya di riwayatkan oleh satu rawi atau disebabkan oleh adanya
penambahan dalam matan atau sanad, hadis yang demikian disebut gharib
karena keadaanya asing menurut pandangan rawi-rawi
yang lain seperti orang yang jauh dari tempat tinggalnya. Hadis ini
di bagi kepada dua bagian meliputi hadis gharib mutlak dan hadis
gharib nisbi.
Hadis gharib mutlak adalah hadis yang hanya diriwayatkan oleh seorang rawi walaupun hanya satu tabaqat. Contohnya “hubungan kekerabatan dari budak adalah sama seperti hubungan kerabat nasab”
tidak boleh jual atau dihibahkan. Hadis ini hanya diriwayatkan oleh
seorang rawi yaitu Abdullah Bin Dinar dari Ibnu Umar dan diantara
contoh hadis seperti kata Imam al- Turmudzi hadis ini gharib karena tidak kami ketahui kecuali melalui riwayat ini.[15]
Hadis
gharib nisbi ialah apabila penyendiriannya itu mengenai sifat atau
keadaan tertentu dari seorang rawi, bisa berkaitan dengan keadilan dan
kedhabitan perawi atau mengenai tempat tinggal atau kota tertentu.
Contoh hadis gharib nisbi berkenaan dengan kota “ kami diperintahkan oleh rasulullah agar membaca al- fayihah dan surat yang mudah dalam al- Qur’an” hadis ini diriwayatkan oleh Abu Daut dengan dengan sanat Abu al- Walid al- Ayalisi, Hammam, Qaadah, Abu Nadrah, dan Said semua rawi ini berasal dari Basrah dan tidak ada yang meriwayatkannya dari kota-kota lain.[16]
Menurut
jumhur ulama baik hadits mutawatir maupun hadits ahad berfungsi
sebagai ilmiah dan operasional, ilmiah disini bisa dijadikan sebagai
sumber ilmu pengetahuan tetapi ada perbedaan dalam sisi epistimologinya
sebagian mengatakan ilmu yang dihasilkan melalui hadits bersifat dharury dan ada yang mengatakan bersifat nazhari.
3. Kehujjahan
Ibnu Taymiyah berpandangan bahwa hadis mutawatir ialah hadis-hadis
yang mempunyai fungsi ilmiah, ini tampak bahwa Ibnu Taymiyah melihat
hadist muawatir bukan dari segi kuantitas perawinya tetapi dari
kualitasnya, jika di kaji ulang benar adanya yang diungkapkan oleh
Ibnu Taymiyah yaitu berapa banyak hadis yang tidak diamalkan dan tidak
menjadi syari’at.
Secara
operasional fungsi hadits ahad di bagi menjadi dua kelompok yaitu
kelompok yang menolak mengamalkan hadis ahad dan kelompok yang
memperbolehkan untuk mengamalkannya hingga sampai mewajibkannya
pengalaman hadis ahad yang sudah di golongkan pada hadis sahih dan
hasan. Sebab jika sudah di tentukan kesahihannya sekalipun bersifat zhanniyat-tsubut
pastilah hadits tersebut datang dari nabi Muhammad SAW. Para ulama
dan imam agama mujtahidin, jika ada ulama yang tidak mengamalkan
hadits ahad menurut jumhur hanyalah karena tidak menyakini
kesahihannya, buka karena menolak hadis ahad. [17]
Bahwa
neraca yang harus kita pergunakan dalam berhujjah dengan suatu hadis,
ialah memeriksa “Apakah hadis tersebut maqbul atau mardud”. Kalau
maqbul, boleh kita berhujjah dengannya. Kalau mardud, kita tidak dapat
iktiqatkan dan tidak dapat pula kita mengamalkannya. Kemudian apabila
telah nyata bahwa hadis itu (sahih, atau hasan), hendaklah kita
periksa apakah ada muaridnya yang berlawanan dengan maknanya. Jika
terlepas dari perlawanan maka hadis itu kita sebut muhkam.
Jika
ada, kita kumpulkan antara keduanya, atau kita takwilkan salah
satunya supaya tidak bertentangan lagi maknanya. Kalau tak mungkin
dikumpulkan, tapi diketahui mana yang terkemudian, maka yang terdahulu
kita tinggalkan, kita pandang mansukh, yang terkemudian kita ambil,
kita pandang nasikh. Jika kita tidak mengetahui sejarahnya, kita
usahakan menarjihkan salah satunya. Kita ambil yang rajih, kita
tinggalkan yang marjuh. Jika tak dapat ditarjihkan salah satunya,
bertawaqquflah kita dahulu.[18]
Berikut
ini beberapa perbedaan pendapat dalam pengalaman hadis ahat dalam
pengamalan hadis ahad ulama –ulama berbeda pendapat yaitu: Abu hanafiah
memberikan syarat-syarat yaitu: a) para perawinya tidak menyalahi riwayatnya b) riwayatnya tidak mengenai hal-hal
yang bersifat umum dan c) riwayatnya tidak menyalahi qiyas. Malikiah
memberikan syarat bahawa hadits ahad yang diamalkan tidak bertentangan
dengan tradisi ulama madinah karena amalan – amalan mereka sama
dengan riwayatnya. As-Syafii’i tidak mensyaratkan ke-masyhurannya,
tidak bertentangan dengan amalan ulama madinah dan juga tidak
mensyaratkan agar tidak menyalahi qiiyas ia hanya memberikan kesahihan
sanad hadis yang sambungan sanad karena adanya perbedaan dalam
beberapa hal di atas sebagian ulama Hanafiah tidak mengkafirkan orang
yang mengingkari hadis ahad akan tetapi hanya menghukumi berdosa.[19]
Contohnya: “Sesungguhnya amal itu dangan niat, dan sesungguhnya bagi masing-masing
orang apa yang dia niatkan. Barangsiapa yang hijrahnya kepada dunia
yang akan ia dapatkan atau kepada perempuan yang akan dia nikahi maka
(hasil) hijrahnya adalah apa yang dia niatkan (Muttafaqun
‘alaih). Apakah hadits ini tidak berbicara tentang aqidah? Bahkan
hadits ini berbicara tentang salah satu diterimanya amal, tentang
ikhlas yang merupakan syarat diterimanya amal seseorang. Hadits ini,
jelas merupakan hadits ahad, dan termasuk ke dalam bagian hadits gharib,
karena tidak diriwayatkan, kecuali dari jalan Umar bin Khaththab. Dan
tidak ada yang meriwayatkan darinya, kecuali Al Qamah bin Waqqash Al
Laitsi. Dan tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali Muhammad bin
Ibrahim At Taimi. Dan tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali Yahya
bin Sa’id Al Anshari. Kemudian dari beliau ini diriwayatkan oleh
puluhan perawi, bahkan mungkin ratusan. Awalnya mutawatir, akhirnya
ahad dan gharib. Ini salah satu contoh hadits yang diterima oleh para
ulama, bahkan hampir sebagian besar ulama.
BAB III
HADIS DI TINJAU DARI SEGI KUALITASNYA
Hadis
dari segi kualitasnya terbagi menjadi dua macam yaitu hadis maqbul
dan hadis mardud adapun hadis maqbul ialah hadis yang unggul
pembenaran pemberitaanya, dalam hal ini hadis maqbul ialah hadis yang
mendapat dukungan bukti-bukti
dan membuat unggul itu adalah dugaan pembenaran. Dan sedangkan hadis
mardud ialah hadis yang ditolak atau tidak diterima, jadi hadis mardud
ialah ialah hadis yang tidak unggul pembenaran dan pemberitannya,
adapun pembagiannya dapat tergambar pada bagan di bawah ini:
Bagan II
Hadis Ditinjau
Dari Kualitas
|
Maudhu
|
Lighayrihi
|
Lidzatihi
|
Ahad
|
Mutawatir
|
Shahih
|
Hasan
|
Dha’if
|
A. Hadis shahih
1. Pengertian
Kata shahih berasal dari bahasa arab as- shahih bentuk pluralnya ashihha’ berakar kata pada shahha,
yang berarti selamat dari penyakit. Para ulama mengatakan hadis
shahih hadis yang sanadnya tersambung dikutip oleh orang yang adil
lagi cermat dari yang sama, sampai berakhir pada Rasulullah SAW. atau
Sahabat atau Tabi’in bukan hadis yang syadz (kontroversial) dan
terkena ‘illat yang cacat pada penerimaannya. Hadis sahih adalah
hadist yang bersambung sampai kepada nabi Muhammad serta didalam hadis
tersebut tidak terdapat kejanggalan dan cacat.[20]
2. Kinerja
Sebuah
hadits dikatakan sahih apabila memenuhi krieria yang meliputi: a)
Sanadnya bersambung ialah sanadnya bersambung sampai ke musnad, dalam
sifat disebut hadis yang muttashil dan mausul (yang bersambung), b)
Seluruh periwayat dalam sanad hadist sahih bersifat adil adalah
periwayat yang memenuhi syarat-syarat
yaitu beragama Islam, mukallaf, melaksanakan ketentuan agama,
memelihara kehormatan diri, c) Seluruh periwayat dalam sanad bersifat
dhabith, ialah memiliki ingatan dan hafalan yang sempurna. Dia memahami
dengan baik apa yang diriwayatkannya serta mampu menyampaikan hafalan
itu kapan saja di kehendaki, d) Sanad dan matan hadits yang sahih itu
terhindar dari syadz, e) Sanad dan matan hadis terhindar dari i’llat,
i’llat adalah sifat tersembunyi yang mengakibatkan hadits tersebut
cacat dalam penerimaannya, kendati secara lahiriah hadits tersebar
dari ‘illat. [21]
Contoh hadis shahih Dari Abu Hurairah r.a. beliau berkata : Rasulullah s.a.w. bersabda : "Setiap
sendi tubuh badan manusia menjadi sedekah untuknya pada setiap hari
matahari terbit, kamu melakukan keadilan diantara dua orang yang
berselisih faham adalah sedekah kamu membantu orang yang menaiki
kenderaan atau kamu mengangkat barang-barang
untuknya kedalam kenderaan adalah sedekah, Perkataan yang baik adalah
sedekah, setiap langkah kamu berjalan untuk menunaikan solat adalah
sedekah dan kamu membuang perkara-perkara yang menyakiti di jalan adalah sedekah." (H.R Bukhari dan Muslim)
Ada beberapa tingkatan-tingkatan
hadis yang banyak di ungkapkan oleh para ulama meliputi: hadis yang
di sepakati keshahihannya oleh bukhari dan muslim yang lazim disebut
dengan istilah Muttafaqun ‘alaihi.
Hadis yang di shahihkan oleh bukhari saja
Hadis yang dishahihkan oleh muslim saja
Hadis sahih yang diriwayattkan oleh muslim saja
Hadis yang diriwayatkan oleh selain bukhari dan muslim yang mengikuti syarat-syaratnya
Hadis yang diriwayatkan berdasarkan syarat-syarat bukhari
Hadis yang diriwayatkan berdasarkan syarat-syarat Muslim
Hadis –hadis yang disahihkan oleh selain keduanya seperti ibnu Khuzaima, Ibnu hibban meskipun tidak memenuhi sayarat-syarat keduanya[22]
Sumber-sumber hadis-hadis sahih adalah kitab-kitab yang memuat hadits sahih yaitu antara lain;
Al- Muawaththa ialah kitab hadis yang pertama yang disusun oleh Imam Malik (93- 179H/712- 798 M)
Al-Jami’ as – Shahih al- Bukhari merupakan kitab hadits terbaik yang disususn oleh Imam Abu Abdullah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim Al- Mughirah Ibn Birdizbah (194-256H).
Sahih
muslim adalah kitab hadits shahih yang menempati posisi ke dua
setelah sahih bukhari kita yang disusun oleh Imam Muslim Ibn Al-Hajaj al-Qusyairy an nasisabury (206-261H).
Sahih ibn Huzaimah adalah kitab hadits sahih yang disusun oleh abu abdullah ibn abu bakar al- huzaimah yang wafat pada 313 didalam kitab ini memuatt kitab hadits yang belum tercover dalam kitab al-Bukhari
Sahih ibn hibban adalah kitab sahih yang di tulis oleh Abu hatim Muhammad ibn hibban wafat 354 H.[23]
Hadits
sahih terbagi dua bagian, yaitu hadits sahih lidzatih dan hadits
shahih li ghairh. Hadits hadzatih adalah hadits yang karena kehadiran
dirinya sendiri telah memenuhi kelima kriteria hadits sahih sebagaimana
dikemukakan di atas, seperti hadis yang berbunyi, (orang islam
adalah orang yang tidak mengganggu muslim –muslim lainnya, baik dengan
lidah maupun tangannya ; dan orang berhijrah itu adalah orang yang
pindah dari apa yang dilarang oleh Allah). Hadis ini antara lain diriwayatkan oleh Bukhari dengan sanad antara lain oleh, adam Ibn Iyas, Syu’bah, Ismail Ibn Safar, Al-Sya’by, Abdullah Ibn Amir Ibn Ash. Rawi dan sanad al-Bukhari memenuhi kriteri Hadits lidzatih. [24]
Hadis
sahih lighairih adalah hadis yang sahihnya lantaran di bantu oleh
keterangan yang lain jadi disimpulkan belum sampai kepada kualitas
sahih, kemudian ada petunjuk atau dalil lain yang menguatkannya
sehingga hadits tersebut meningkat menjadi hadits sahih lighairih.
3. Kehujjahan
Ibnu Hazm al- Dhahiri
menetapkan bahwa hadis sahih memfaedahkan ilmu qath’i dan wajib
diyakini dengan demikian hadis sahih dapat dijadikan hujjah untuk
menetapkan suatu akidah, yang perlu di fahamai bahwa martabat hadis
sahih ini tergantung kedhabitannya dan keadilan perawinya, dan semakin
dhabit dan adil siperawinya makin tinggi pula tingkatan kualitas hadis
yang diriwayatkannya.[25]Maka
dapat di simpulkan bahwa hadist sahih sebagai sumber ajaran Islam
lebih tinggi kedudukannya dari hadist hasan dan dho’if, tetapi berada
dibawah kedudukan hadist mutawatir.
Semua
ulama sepakat menerima hadist sahih sebagai sumber ajaran Islam atau
hujjah, dalam bidang hukum dan moral. Tetapi, sebagian ulama menolak
kehujjahan hadist sahih dalam bidang aqidah, sebagian lagi dapat
menerima, tetapi tidak mengkafirkan mereka yang menolak.
B. Hadis hasan
1. Pengertian
Hasan
berarti yang baik, yang bagus, jadi hadis hasan adalah hadits yang
bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh rawi yang adil yang rendah daya
hafalnya tetapi tidak rancu dan tidak bercacat.[26]hadis
hasan ialah hadis yang mutttasil sanadnya diriwayatkan oleh rawi yang
adil dan dhabit ttetapi kadar kedhabitannya di bawah kedhabittan
hadis sahih dan hadis itu tidak syadzdan tidak pula terdapat ‘illat[27]
Hadits
hasan juga mempunyai kriteria yaitu; a) sanadnya bersambung, b) para
periwayat bersifat adil, c) diantara orang periwayat terdapat orang
yang kurang dhabith, dan d) sanad dan matan hadits terhindar dari
kejanggalan, e) tidak ber- illat.[28]
2. Kinerja
Pembagian
hadis hasan terdiri dari hasan lidzatih dan hasan lighairih, hadis
hasan lidzatih adalah hadits yang mencapai derajat hasan dengan
sendirinya sedikitpun tidak ada dukungan dari hadis lain dan kalau ada
hanya di sebut hadis hasan maka yang dimaksud adalah hadis lidzatih,
sedangkan hadis hasan lighairih adalah hadis yang pada asalnya adalah
hadis dhaif yang kemudian meningkat derajatnya menjadi hasan karena ada
riwayat lain yang mengangkatnya.
Contohnya : sekiranya aku tidak memberatkan umatku, tentu kuperintahkan mereka bersiwak menjelang setiap sholat,
matan hadis ini memiliki jalur sanad, Muhammad bin Amr, dari Abi
Salamah, dari Abu Hurairah dari Rasulullah SAW. dan Muhammad bin Amr
diragukan hafalan, kekuatan ingatan dan kecerdasannya meskipun banyak
yang menganggapnya terpecaya hadis ini bersifat hasan lizatih dan sahih
lighairih, karena diriwayatkan pula oleh guru muhammad dan dari
gurunya lagi hadis itu diriwayakan pula oleh Abu Hurairah oleh banyak
orang diantaranya al-A’raj bin Hurmuz dan Sa’id al-Maqbari. At- Tarmizi ia adalah orang yang pertama kali mengeluarkan hadis hasan [29]
Meskipun
ada hadis dahif yang meningkat menjadi hadis hasan tidak semua hadis
dhaif bisa meningkat menjadi hadis hasan, hadis dhaif yang bisa
meningkat menjadi hadis hasan adalah hadis- hadis
yang tidak terlalu lemah seperti hadis maudhu, matruk, dan munkar
derajatnya bisa lebih meningkat, jika hadis diriwayatkan oleh periwayat
yang dhaif karena banyaknya kesalahan atau karena mufsiq maka ia
bukanlah hadis hasan lighairih. [30]
Sebaliknya hadis daif yang diriwayatkan oleh periwayat yang dhaif
karena fasiq atau di tuduh berdusta lalu ada hadits yang juga
diriwayatkan oleh periwayat yang kualitasnya sama maka hadis itu
bukan hanya tidak bisa naik derajatnya menjadi hasan melainkan justru
hadis itu berambah dhaif.
3. Hujjah
Hadis
hasan dapat di gunakan sebagai berhujjah dalam menentapkan suatu
kepastian hukum dan ia harus diamalkan baik hadis hasan lidzatih maupun
hasan lighairih, al- Khattabi
mengungkapkan bahwa atas hadis hasanlah berkisar banyak hadis karena
kebanyakan hadis tidak mencapai tingkatan sahih, hadis ini kebanyakan
diamalkan oleh ulama hadis. Factur rahman mengatakan bahwa kebanyakan
ahli ilmu dan fuqaha sepakan unuk menggunakan hadis sahih dan hasan
untuk berhujjah bila memenuhi sifat-sifatt yang dapat di terima tetapi ia menegaskan bahwa kedua-duanya dapa di terima dengan demikian krieria bahwa harus memenuhi sifat yang dapat di terima bisa saja di hilangkan.[31]
C. Hadis Dhaif
1. Pengertian
Secara bahasa, hadits dhaif berasal dari kata dhu’fun berarti
hadits yang lemah. Para ulama memiliki dugaan kecil bahwa hadits
tersebut berasal dari Rasulullah SAW. Secara terminologi hadis dhaif
adalah suatu hadits yang tidak terdapat ciri-ciri
ke sahihan dan kehasanan suatu hadits, sahih tidaknya suatu hadits
merupakan hasil peninjaun dari sisi di terima atau ditolaknya suatu
hadits, oleh karena itu hadis ini terdapat sesuatu yang di dalamnya
tertolak yang tidak terdapat ciri-ciri di terimanya hadits ini.
2. Kinerja
Adapun ciri-ciri
hadis daif ialah; a) periwatnya seorang pendusta atau tertuduh
pendusta, b) banyak membuat kekeliruan, c) suka pelupa, d) suka maksiat
atau fasik, e) banyak angan-angan,
f) menyalahi periwayat kepercayaan g) Periwayatnya tidak di kenal, h)
penganut bid’ah bidang aqidah dan i) tidak baik hafalannya. [32] Dan
yang kemungkinan besar merupakan hadits dho’if adalah hadits yang
diriwayatkan secara bersendirian oleh ‘Uqaili, Ibn ‘Adi, Khatib Al
Baghdadi, Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh-nya, Adailami dalam Musnad Firdaus, atau Tirmidzi Al Hakim dalam Nawadirul Ushul dan beliau bukanlah Tirmidzi penulis kitab Sunan atau Hakim dan Ibnu Jarud dalam Tarikh keduanya[33]
Contoh hadis Dhaif “bahwasannya Rasul wudhu dan beliau mengusap kedua kaos kakinya “ hadis ini dikatakan dhaif karena diriwayatkan dari Abu Qais al- Audi, seorang rawi yang masih dipersoalkan.[34]
Hadist dhaif dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu : hadits
dhaif karena gugurnya rawi dalam sanadnya, dan hadits dhaif karena
adanya cacat pada rawi atau matan. Ada Muhaditsin (Ulama Ahli Hadits)
yang membagi hadits Dlaif menjadi 42 bagian ada pula yang membaginya
menjadi 129 bagian. Hadits dlaif diklasifikasikan berdasarkan :
Para
ulama memberikan batasan bahwa hadits mursal adalah hadits yang gugur
rawinya di akhir sanad. Yang dimaksud dengan rawi di akhir sanad
ialah rawi pada tingkatan sahabat yang merupakan orang pertama yang
meriwayatkan hadits dari Rasulullah SAW. (penentuan awal dan akhir
sanad adalah dengan melihat dari rawi yang terdekat dengan imam yang
membukukan hadits, seperti Bukhari, sampai kepada rawi yang terdekat
dengan Rasulullah). Jadi, hadits mursal adalah hadits yang dalam
sanadnya tidak menyebutkan sahabat Nabi, sebagai rawi yang seharusnya
menerima langsung dari Rasulullah.[35]
3. Kehujahan
Khusus hadits dhaif, maka para ulama hadits kelas berat semacam Al-Hafidzh Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebutkan bahwa hadits dhaif boleh digunakan, dengan beberapa syarat:
- Level Kedhaifannya Tidak Parah. Ternyata yang namanya hadits dhaif itu sangat banyak jenisnya dan banyak jenjangnya. Dari yang paling parah sampai yang mendekati shahih atau hasan. Maka menurut para ulama, masih ada di antara hadits dhaif yang bisa dijadikan hujjah, asalkan bukan dalam perkara aqidah dan syariah (hukum halal haram). Hadits yang level kedhaifannya tidak terlalu parah, boleh digunakan untuk perkara fadahilul a’mal (keutamaan amal).
2. Berada
di bawah Nash Lain yang Shahih. Maksudnya hadits yang dhaif itu kalau
mau dijadikan sebagai dasar dalam fadhailul a’mal, harus didampingi
dengan hadits lainnya. Bahkan hadits lainnya itu harus shahih. Maka
tidak boleh hadits dha’if jadi pokok, tetapi dia harus berada di bawah
nash yang sudah shahih.
3. Ketika Mengamalkannya, Tidak Boleh Meyakini Ke-Tsabit-annya.
Maksudnya, ketika kita mengamalkan hadits dhaif itu, kita tidak boleh
meyakini 100% bahwa ini merupakan sabda Rasululah SAW atau perbuatan
beliau. Tetapi yang kita lakukan adalah bahwa kita masih menduga atas
kepastian datangnya informasi ini dari Rasulullah SAW.[36]
D. Hadis Maudhu
1. Pengertian
Menurut etimologi kata maudhu dari kata diletakakan, dibiarkan, digugurkan, ditinggalkan dan dibuat- buat, sedangkan menurut terminologi hadis maudhu ialah sesuatu yang disandarkan kepada rasul secara mengada- ada dan bohong dari apa yang di katakan beliau atau idak dilakukan dan atau tidak di setujui.[37]Menurut Jalaluddin Suyuthi bahwa hadis maudhu adalah hadis yang di buat-buat
oleh para pendusta dan menyandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. di
katakan juga dengan hadist palsu, para pemalsu hadits membuat suatu
matan dengan kemauannya sendiri dengan rangkain muatiara yang indah
kalimat yang lengkap dan pribahasa yang padat penuh arti, kemudian
disusun dengan rangkaian sanad yang seolah mutasil sampai kepada nabi
Muhammad SAW.
2. Kinerja
Hadis
ini hukumnya bathil dan haram meriwayatkannya, kecuali untuk mengajar
untuk mengetahui hadis maudhu , ada beberapa macam hadis maudhu
yaitu: Seseorang mengatakan dengan sesuatu yang sebenarnya keluar dari
dirinya sendiri kemudian dia meriwayatkannya dengan menghubungkan
kepada Rasulullah SAW, seseorang mengambil perkataan dari sebagian
ahli fiqh atau lainnya kemudian ia menghubungkannya dengan nabi
Muhammad SAW. juga seseorang melakukan kesalahan dalam meriwayatkan
suatu hadis dengan tidak ada unsur kesengajaan mendustakan nabi
seperti Habib bin Musa al- Zahid dalam hadisnya menyatakan barang siapa banyak shalatnya dimalam hari wajahnya indah berseri di siang hari.[38]
Hadis
ini dimulai sejak tahun 41 H pada masa pemerintahan Khalifah keempat
ketika muslim saling bersellisih antara kaum khawarij dengan kaum
Syiah merka banyak mengarang hadis untuk keperluannya sendiri inilah
pendorong terjadinya pemalsuan hadis pada berbagai masa orang –orang
suka menurutkan hawanafsu terus menerus untuk berbohong [39], Hammad bin Zaid hadis telah memalsukan tak kurang dari 14. 000 hadis palsu dan telah beredar dan Abdul Karim bin Abi al-Auja elah memalsukan 4000 hadis mengatakan adapun yang melatar belakangi munculnya hadis palsu ini adalah :
· Untuk menimbulkan kerusuhan didalam agama yang dilakukan oleh orang –orang munafik,
· Untuk mempertahankan pendapatnya sementara tidak ada dalil yang mengetengahkan yang dilakukan oleh abu al- khathtthab bin Dihyah dan Abdu al- Aziz bin Haris al- hanbali
· Untuk menarik perhatian dalam berpidato dan dalam pembicaraan dan simpatti orang yang menamakan dirinya Zuhud.
· Untuk mempertahankan mahzabnya seperti yang dilakukaukan oleh golongan Khattabiyah dari Aliran Rafidhah
· Untuk mendekatkan diri kepada raja-raja atau pejabat dengan membuat hadis maudhu yang cocok dengan program dan tujuan mereka.
· Untuk mencari rezeki dengan membuat hadis –hadis maudhu seperti yang dilakukan oleh ppencerita-cerita seperti yang dilakukan oleh Abu Said al- madaini
Hadis
maudhu dapat di ketahui dari segi sanadnya dan atau matannya, jika
dilihat dari sanadnya dari kaum zindiq, munafik atau seorang pendusta
dari segi matannya dapat dilihat dari ciri-ciri yang meliputi; a) susunan lafalnya kacau, b) maknanya rusak, c) bertentangan dengan nas al- Qur’an
yang tidak dapat dilakukan penakwilan, d) bertentangan dengan hadis
mutawatir, e) bertentangan dengan aqidah umum baik dengan al- qur’an amupun sunnah.[40] f) pengakuan pembuatnya sendiri bahwa ia telah membuat hadis palsu.[41]
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dimuka maka dapat disimpulkan bahwa
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, Jakarta: Amzah, 2008
http://muslimah.or.id/hadits/taisir-musthalah-hadits-3-hadits-ahad.html
http://onetspawn.wordpress.com/2010/04/18/pengertian-ciri-ciri-kehujahan-hadist-shahih-hasan-dhaif/
http://ronyramadhanputra.blogspot.com/2009/04/hadits-dhaif.html
http://www.asiautama.com/hadits/UlumulHadits.pdf
http://zunlynadia.wordpress.com/2010/12/28/jenis-%E2%80%93-jenis-hadis/
M. Alfatih Suryadilaga, Ulumul Hadist, Yogyakarta: Sukses Offset, 2010
Muhammad Alawi Al- Maliki, Ilmu Ushul Hadis, Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2006
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, Jakarta: PT. Raja Grafindo persada, 2008
Subhi As- Shalihin, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009
Tags
MAKALAH PAI