MAKALAH TAFSIR

BAB I
PENDAHULUAN
A. Terjemahan Ayat-ayat
1. QS. Al-Baqarah ayat 222
Artinya : Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. “Haidh itu adalah suatu kotoran”. Oleh sebab itu tidaklah kamu menjauhkan diri (137) dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci (138), apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.
(137) Maksudnya menyetubuhi wanita di waktu haidh.
(138) Ialah sesudah mandi. Adapula yang menafsirkan sesudah berhenti darah keluar.
2. QS. Al-Maidah ayat 6
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit (403) atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh (404) perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.
(403) Maksudnya : sakit yang tidak boleh kena air.
(404) Artinya : menyentuh, menurut Jumhur ialah : menyentuh sedang sebagian Mufassirin ialah menyetubuhi.
3. QS. Al-Muddatstir ayat 4
Artinya : Dan pakaianmu bersihkanlah.
4. QS. Al-Taubah ayat 108
Artinya : Janganlah kamu bersembahyang dalam mesjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya mesjid yang didirikan atas dasar taqwa (Mesjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya, di dalamnya mesjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri, dan sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih.
5. QS. Al-Thalaq ayat 4
Artinya : Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) diantara perempuan-peremupuan jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid, dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya, dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.
6. QS. Al-An’am ayat 74-79
Artinya : Dan (ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya, Aazar (489), “Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai Tuhan-tuhan? Sesungguhnya Aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata.” 74
Dan demikianlah kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (kami yang terdapat) di langit dan bumi dan (kami memperlihatkannya) agar dia termasuk orang yang yakin. 75
Ketika malam telah gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata : “Inilah Tuhanku”, tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata : “Saya tidak suka kepada yang tenggelam.”76
Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata : “Inilah Tuhanku”. Tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata : “Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang yang sesat.” 77
Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata : “Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar”. Maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata : “Hai kaumku, sesungguhnya Aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.”78
Sesungguhnya Aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan Aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. 79
(489) Diantara Mufassirin ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Abiihi (bapaknya) ialah pamannya.
7. QS. Al-Shaffat ayat 95
Artinya : Ibrahim berkata : “Apakah kamu menyembah patung-patung yang kamu pahat itu?
8. QS. Al-Anbiya ayat 66-67
Artinya : Ibrahim berkata : “Maka mengapakah kamu menyembah selain Allah sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat sedikitpun dan tidak (pula) memberi mudharat kepada kamu?” 66
Ah (celakalah) kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah, maka apakah kamu tidak memahami? 67
BAB II
PEMBAHASAN
A. Faktor-faktor Penghambat Berfikir
Dalam Al-Qur’an juga dikemukakan faktor-faktor penting yang menghambat pemikiran, membuatnya statis, terhalangi dari realitas, serta terhalangi membuat penilaian-penilaian yang benar mengenai hal yang dihadapinya. Faktor-faktor tersebut adalah berpegang teguh pada fikiran lama dan tidak cukup data yang ada.
1. Berpegang Teguh pada Fikiran Lama
Biasanya seseorang cenderung berpegang teguh pada apa yang telah menjadi kebiasaan atau yang telah biasa ia lakukan sebelumnya sehingga untuk melepaskan diri dari berbagai fikiran dan kebiasaannya yang akan membutuhkan usaha, kemauan, dan tekad yang kuat. Berpegang teguh pada fikiran lama, kebiasaan dan tradisi yang berlaku, inilah yang merupakan salah satu faktor utama yang menyebabkan fikiran menjadi statis dan tidak mau menerima fikiran-fikiran baru yang dikemukakan padanya.
Kenapa hal ini dikatakan sebagai faktor penghambat berfikir? karena dengan berpegang teguhnya seseorang kepada sesuatu, maka kita dapat pastikan pemikiran-pemikirannya pasti memihak kepada hal yang dipegangnya dan tinjauan-tinjauan analitis yang pasti memihak, sedikit atau banyak. Allah memperingatkan dalam Al-Qur’an, sebagai berikut :
a. QS. Yunus ayat 78

Mereka berkata: "Apakah kamu datang kepada kami untuk memalingkan kami dari apa yang kami dapati nenek moyang kami mengerjakannya, dan supaya kamu berdua mempunyai kekuasaan di muka bumi? Kami tidak akan mempercayai kamu berdua".
b. QS. Al-Zukhruf ayat 22-23

Bahkan mereka berkata: "Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka".

Dan demikianlah, kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatanpun dan suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata : “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka”.
c. QS. Al-Maidah ayat 104

Apabila dikatakan kepada mereka : “Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul”. Mereka menjawab : “Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya”. Dan apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk.
d. QS. Al-Baqarah ayat 170

Dan apabila dikatakan kepada mereka : “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab : “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?”.
e. QS. Al-A’raf ayat 70

Mereka berkata : “Apakah kamu datang kepada kami agar kami hana menyembah Allah saja dan meninggalkan apa yang biasa disembah oleh bapak-bapak kami? Maka datangkanlah azab yang kamu ancamkan kepada kami jika kamu termasuk orang-orang yang benar.”
f. QS. Saba ayat 43

Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat kami yang terang, mereka berkata : “Orang ini tiada lain hanyalah seorang laki-laki yang ingin menghalangi kamu dari apa yang disembah oleh bapak-bapakmu”, dan mereka berkata : “(Al Qur’an) ini tidak lain hanyalah kebohongan yang diada-adakan saja”. Dan orang-orang kafir berkata terhadap kebenaran tatkala kebenaran itu tidak datang kepada mereka : “Ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata”.
2. Tidak Cukup Data yang Ada
Dalam metode berfikir perspektif Al-Qur’an, tak mudah untuk berfikir tanpa data dan informasi yang cukup yang diperlukannya mengenai obyek atau problem yang dihadapinya. Al-Qur’an sendiri telah mengisyaratkan tentang pentingnya pengetahuan tentang obyek yang difikirkan untuk bisa sampai pada realitas yang sebenarnya.
Al-Qur’an melarang kita menyatakan pendapat tentang sesuatu yang tidak kita ketahui atau yang tidak kita mliki data dan informasi yang terhimpun dalam pengetahuan tentangnya. Allah SWT berfirman :
a. QS. Al-Isra ayat 36

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggung jawabnya.
b. QS. Al-Hajj ayat 3

Diantara manusia ada orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan dan mengikuti setiap syaitan yang jahat.
c. QS. Al-Hajj ayat 8

Dan diantara manusia ada orang-orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan, tanpa petunjuk dan tanpa kitab (wahyu) yang bercahaya.
d. QS. Ghafir ayat 35

(Yaitu) orang-orang yang memperdebatkan ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka. Amat besar kemurkaan (bagi mereka) di sisi Allah dan di sisi orang-orang yang beriman. Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan sewenang-wenang.
e. QS. Ghafir ayat 56

Sesungguhhnya orang-orang yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka tidak ada dalam dada mereka melainkan hanyalah (keinginan akan) kebesaran yang mereka sekali-kali tiada akan mencapainya, maka mintalah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
f. QS. Yunus ayat 36

Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.
g. QS. Al-Jatsiyah ayat 32

Dan apabila dikatakan (kepadamu): "Sesungguhnya janji Allah itu adalah benar dan hari berbangkit itu tidak ada keraguan padanya", niscaya kamu menjawab: "Kami tidak tahu apakah hari kiamat itu, kami sekali-kali tidak lain hanyalah menduga-duga saja dan kami sekali-kali tidak meyakini(nya)".
Apabila seseorang tidak berhasil memperoleh semua data tentang obyek yang difikirkan, kadang ia berpaling pada dugaan dan menempuh jalan keluar yang bisa salah dan bisa benar. Sering orang mempergunakan dugaan dalam menilai sesuatu tanpa memiliki bukti yang mendukung dugaannya itu, dan kemudian sering ternyata dugaan tersebut ternyata salah, maka Allah SWT memperingatkan dalam Al-Qur’an, yang artinya : “Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran[690]. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan”.
Oleh karena kestatisan pemikiran demikian buruk akibatnya bagi manusia, karena membuatnya kehilangan ciri utama yang dianugerahkan Allah kepadanya dan yang membedakannya dari hewan, malah lebih rendah lagi, maka Al-Qur’an mendorong manusia untuk melepaskan diri dari ikatan-ikatan yang membelenggu pemikiran dan memacetkan akal budinya. Lebih jauh Allah juga mengecam orang-orang yang musyrik yang mengekor nenek moyang mereka dalam pemikiran dan agama mereka, dan membuat mereka menolak ide-ide baru.
B. Memahami Ayat dengan Ayat
Menafsirkan satu ayat Qur'an dengan ayat Qur'an yang lain, adalah jenis penafsiran yang paling tinggi. Karena ada sebagian ayat Qur'an itu yang menafsirkan (baca, menerangkan) makna ayat-ayat yang lain. Contohnya ayat :
"Ketahuilah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak pernah merasa cemas dan tidak pula merasa bersedih hati." (Yunus : 62)
Lafadz auliya' (wali-wali), diterangkan/ditafsirkan dengan ayat berikutnya yang artinya : "Yaitu orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa." (Yunus : 63)
Berdasarkan ayat di atas maka setiap orang yang benar-benar mentaati perintah-perintah Allah dan meninggalkan larangan-larangan-Nya, maka mereka itu adalah para wali Allah. Tafsiran ini sekaligus sebagai bantahan orang-orang yang mempunyai anggapan, bahwa wali itu ialah orang yang mengetahui perkara-perkara yang gaib, memiliki kesaktian, di atas kuburnya terdapat bangunan kubah yang megah, atau keyakinan-keyakinan batil yang lain. Dalam hal ini, karamah bukan sebagai syarat untuk membuktikan orang itu wali atau bukan. Karena karamah itu bisa saja tampak bisa pula tidak.
Adapun hal-hal aneh yang ada pada diri sebagian orang-orang sufi dan orang-orang ahli bid'ah, adalah sihir, seperti yang sering terjadi pula pada orang-orang majusi di India dan lain sebagainya. Itu sama sekali bukan karamah, tetapi sihir seperti yang difirmankan Allah : "Terbayang kepada Musa, seolah-olah ia merayap cepat lantaran sihir mereka." (Thaha: 66)
C. Memahami Ayat Al-Qur'an dengan Hadits Shahih
Menafsirkan ayat Al-Qur'an dengan hadits shahih sangatlah urgen, bahkan harus. Allah menurunkan Al-Qur'an kepada Nabi Shallallahu alaihi wasalam. Tidak lain supaya diterangkan maksudnya kepada semua manusia. Firman-Nya :
"Dan Kami turunkan Qur'an kepadamu (Muhammad) supaya kamu terangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka agar mereka pikirkan." (An-Nahl : 44)
Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam bersabda : "Ketahuilah, aku sungguh telah diberi Al-Qur'an dan yang seperti Qur'an bersama-sama." (HR. Abu Dawud)
Berikut contoh-contoh tafsirul ayat bil hadits:
Ayat yang artinya: "Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (Surga) dan tambahannya." (Yunus : 26)
Tambahan di sini menurut keterangan Rasulullah, ialah berupa kenikmatan melihat Allah. Beliau bersabda : "Lantas tirai itu terbuka sehingga mereka dapat melihat Tuhannya, itu lebih mereka sukai dari pada apa-apa yang diberikan kepada mereka." Kemudian beliau membaca ayat ini : Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (Surga) dan tambahannya." (HR. Muslim).
Ketika turun ayat, yang artinya: "Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur-adukan iman mereka dengan kezhaliman...." (Al-An'am : 82)
Menurut Abdullah bin Mas'ud, para sahabat merasa keberatan karenanya. Lantas merekapun bertanya, "Siapa di antara kami yang tidak menzalimi dirinya, ya Rasul?" Beliau jawab, "Bukan itu maksudnya. Tetapi yang dimaksud kezaliman di ayat itu adalah syirik. Tidakkah kalian mendengar/ucapan Lukman kepada putranya yang berbunyi: "Wahai anakku, janganlah engkau menyekutukan Allah. Karena perbuatan Syirik (menyekutukan Allah) itu sungguh suatu kezaliman yang sangatlah besar." (HR. Muslim)
Dari ayat dan hadits itu dapat dipetik kesimpulan : Kezaliman itu urutan-nya bertingkat-tingkat. Perbuatan maksiat itu tidak disebut syirik. Orang yang tidak menyekutukan Allah, mendapat keamanan dan petunjuk.
D. Memahami Ayat dengan Pemahaman Sahabat
Merujuk kepada penafsiran para sahabat terhadap ayat-ayat Qur'an seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Mas'ud sangatlah penting sekali untuk mengetahui maksud suatu ayat. Karena, di samping senantiasa menyertai Rasulullah, mereka juga belajar langsung dari beliau. Berikut ini beberapa contoh tafsir dengan ucapan sahabat, tentang ayat yang artinya: "Yaitu Tuhan yang Maha Pemurah yang bersemayam di atas 'arsy." (Thaha 5)
Al-Hafiz Ibnu Hajar di dalam Kitab Fathul Baari berkata, Menurut Ibnu Abbas dan para ahli tafsir lain, istawa itu maknanya irtafa'a (naik atau meninggi).
E. Harus Mengetahui Gramatika Bahasa Arab
Tidak diragukan lagi, untuk bisa memahami dan menafsiri ayat-ayat Qur'an, mengetahui gramatika bahasa Arab sangatlah urgen. Karena Al-Qur'an diturunkan dalam bahasa Arab.
"Sungguh Kami turunkan Al-Qur'an dengan bahasa Arab supaya kamu memahami." (Yusuf : 2)
Tanpa mengetahui bahasa Arab, tak mungkin bisa memahami makna ayat-ayat Qur'an. Sebagai contoh ayat: "tsummas tawaa ilas samaa'i". Makna istawaa ini banyak diperselisihkan. Kaum Mu'tazilah mengartikannya menguasai dengan paksa. Ini jelas penafsiran yang salah. Tidak sesuai dengan bahasa Arab. Yang benar, menurut pendapat para ahli sunnah waljamaah, istawaa artinya 'ala wa irtafa'a (meninggi dan naik). Karena Allah mensifati dirinya dengan Al-'Ali (Maha Tinggi).
Anehnya, banyak orang penganut faham Mu'tazilah yang menafsiri lafaz istawa dengan istaula. Pemaknaan seperti ini banyak tersebar di dalam kitab-kitab tafsir, tauhid, dan ucapan-ucapan orang. Mereka jelas mengingkari ke-Maha Tinggian Allah yang jelas-jelas tercantum dalam ayat-ayat Al-Qur'an, hadits-hadits shahih, perkataan para sahabat dan para tabi'in, Mereka mengingkari bahasa Arab di mana Al-Qur'an diturunkan dengan bahasa itu. Ibnu Qayyim berkata, Allah memerintahkan orang-orang Yahudi supaya mengucapkan "hitthotun" (bebaskan kami dari dosa), tapi mereka pelesetkan atau rubah menjadi "hinthotun" (biji gandum). Ini sama dengan kaum Mu'tazilah yang mengartikan istawa dengan arti istaula.
Contoh kedua, pentingnya Bahasa Arab dalam menafsiri suatu ayat, misalnya ayat yang artinya:
"Maka ketahuilah, bahwa tidak ada ilah (yang haq) melainkan Allah..." (Muhammad: 19).
Ilah artinya al-ma'bud (yang disembah). Maka kalimat Laa ilaaha illallaah, artinya laa ma'buuda illallaah (tidak ada yang patut disembah kecuali Allah saja). Sesuatu yang disembah selain Allah itu banyak; orang-orang Hindu di India menyembah sapi. Pemeluk Nasrani menyembah Isa Al-Masih, tidak sedikit dari kaum Muslimin sangat disesalkan karena menyembah para wali dan berdo'a meminta sesuatu kepadanya. Padahal, dengan tegas Nabi Shallallahu alaihi wasalam berkata, artinya: "Doa itu ibadah". (HR At-Tirmidzi).
Nah, karena sesuatu yang dijadikan sesembahan oleh manusia banyak macamnya, maka dalam menafsirkan ayat di atas mesti ditambah dengan kata haq sehingga maknanya menjadi Laa ma'buuda haqqon illallaah (tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah). Dengan begitu, semua sesembahan-sesembahan yang batil yakni selain Allah, keluar atau tidak masuk dalam kalimat tersebut. Dalilnya ialah ayat berikut, yang artinya: "Demikianlah, karena sesungguhnya Allah. Dialah yang haq. Dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah itulah yang batil." (Luqman: 30).
Dengan diartikannya lafadz ilah menjadi al-ma'buud, maka jelaslah kekeliruan kebanyakan orang Islam yang berkeyakinan bahwa Allah ada di mana-mana dan mengingkari ketinggianNya di atas 'Arsy dengan memakai dalil ayat berikut, yang artinya: "Dan Dialah Tuhan di langit dan Tuhan di bumi." (Az-Zukhruf: 84).
Sekiranya mereka memahami arti ilah dengan benar, nisacaya mereka tidak memakai dalil ayat tersebut. Yang benar, seperti yang telah diterangkan di atas, al-ilah itu artinya: al-ma'buud sehingga ayat itu artinya menjadi : "Dan Dialah Tuhan (yang disembah) di langit dan Tuhan (yang disembah) di bumi."
Contoh ketiga, pentingnya mengetahu gramatika bahasa Arab untuk supaya bisa menafsiri ayat dengan benar, ialah mengetahui ungkapan kata akhir tapi didahulukan, dan kata depan tapi ditaruh di akhir kalimat. Sebagai contoh : iyyaaka na'budu wa iyyaaka nasta'in. artinya: "Hanya kepadamu kami menyembah, dan hanya kepadamu pula kami memohon pertolongan." (Al-Fatihah: 5).
Didahulukannya kata iyyaaka atas kata kerja na'budu dan nasta'in, ialah untuk pembatas dan pengkhususan, maka maksudnya menjadi laa na'budu illaa iyyaaka walaa nasta'iinu illaa bika yaa Allaah, wanakhusshuka bil 'ibaadah wal isti'aanah wahdaka. (kami tidak menyembah siapapaun kecuali hanya kepadaMu. Kami tidak mohon pertolongan kecuali hanya kepadaMu, ya Allah. Dan hanya kepadaMu saja kami beribadah serta memohon pertolongan).
F. Memahami Nash Al-Qur'an dengan Asbabun Nuzul
Mengetahui sababun nuzul (peristiwa yang melatari turunnya ayat) sangat membantu sekali dalam memahami Al-Qur'an dengan benar.
Sebagai contoh, ayat yang artinya: "Katakanlah: Panggillah mereka yang kamu anggap sebagai (Tuhan) selain Allah, mereka tidak akan memiliki kekuasaan untuk menghilangkan bahaya darimu dan tidak pula memindahkannya. Orang-orang yang mereka seru itu juga mencari jalan kepada Tuhan mereka, siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmatNya, serta takut akan adzab-Nya. Karena adzab Tuhanmu itu sesuatu yang mesti ditakuti." (Al-Israa': 56-57).
Ibnu Mas'ud berkata, segolongan manusia ada yang menyembah segolongan jin, lantas sekelompok jin itu masuk Islam. Karena yang lain tetap bersikukuh dengan peribadatannya, maka turunlah ayat: Orang-orang yang mereka seru itu juga mencari jalan kepada Tuhan mereka (Muttafaq 'alaih).
Ayat itu sebagai bantahan terhadap orang-orang yang menyeru dan bertawassul kepada para nabi atau para wali. Tapi, sekiranya orang-orang itu bertawassul kepada keimanan dan kecintaan mereka kepada para nabi atau wali, tentu tawassul semacam itu boleh-boleh saja.
1. Firman Allah SWT QS Al-Nisa (4): 43
Ayat ini menjelaskan bahwa salah satu penyebab seorang bertayamum dan dalam keadaan tidak ada air, bila ia “menyentuh” wanita (لََمستم النساء ). Menurut Ibnu Mujahid, bahwa Ibn Kasir, Nafi’, ‘Ashim, Abu ‘Amr, dan Ibn ‘Amir membaca لامستم النساءsedangkan Hamzah dan al-Kisa’I membacanya dengan لمستم النساء Dalam I’rabul Qur’an dijelaskan bahwa لمستم النساء ada tiga macam pendapat ulama tentang maknanya yaitu (1) hubungan seksual ( جامعتم ) (2) bersentuh ( باشرتم ) (3) bersentuh dan berhubungan seksual (يَجْمع الأمْرَيْن جميع ). Akan tetapi menurut Muhammad bin Yazid, bahwa yang lebih tepat makna لامستم ialah berciuman ( قَبّلْتُم ) dan semisalnya, karena kedua belah pihak (yang berciuman) bersifat aktif, sementara makna (لمستم) adalah menyentuh karena pihak wanita (yang disentuh) dalam hal ini tidak aktif.
Menurut mazhab Hanafi dan Maliki, semata-mata bersentuhan antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim tidak membatalkan wudhu. Sebab, menurut Hanafi, kata (لامستم) di sini berarti hubungan seksual dan menurut Maliki berarti bersentuhan yang disertai dengan nafsu berahi. Sedangkan menurut Mazhab Syafi’i, bersentuhan semata akan membatalkan wudhu baik yang menyentuh maupun yang disentuh. Kata (لامس) dalam ilmu sharaf merupakan bentuk kara kerja musyarakah, adanya interaksi antara yang menyentuh dan disentuh. Sedangkan qira’at (لمس) adalah bentuk kata kerja muta’addi (transitif) yang tidak mengandung unsur musyarakah. Karena itu, qira’at pertama mendukung pendapat Mazhab Hanafi dan Maliki, dan qira’at kedua mendukung pendapat Mazhab Syafi’i.
Dalam Mafatih al-Ghaib disebutkan, menurut Ibn Abbas, al-Hassan, Mujahid, Qatadah dan Abu Hanifah bahwa yang dimaksud dengan Laamastum ialah hubungan seksual. Sedangkan Ibn Mas’ud , Ibn Umar, al-Nakha’i dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa yang dimaksud ialah bersentuh kulit baik dalam bentuk persetubuhan maupun dalam bentuk lainnya. Al-Razi menguatkan pendapat terakhir, karena makna hakiki dari lamasa ialah menyentuh dengan tangan. Suatu lafaz haruslah diartikan dengan pengertian hakiki. Sekalipun menurut al-Qasimiy dapat diartikan dengan makna “bersetubuh” tapi hal itu makna majazinya. Suatu lafaz haruslah diartikan dengan makna hakikinya. Hemat penulis, batalnya wudhu dengan sebab bersentuhan kulit antara laki-laki dan wanita yang bukan muhrim, baik bersentuhan itu sekedar ataupun sampai hubungan seksual. Karena inilah arti hakiki dari kata (لمس) (menyentuh) dan (لامس) (bersentuhan).
2. Firman Allah dalam surat Al-Baqarah (2): 222
Ayat ini memberi informasi larangan bagi suami melakukan hubungan seksual dengan isteri yang sedang haid. Larangan tersebut berakhir dengan, jika istri sudah suci kembali (حتّى يَطْهُرْنَ ). Dalam Kitab Al-Saba’at disebutkan bahwa ada dua cara membaca kalimat tersebut yaitu menurut Hamzah, al-Kisa’i dan ‘Ashim riwayat Syu’bah, membacanya dengan (يَطَّهُرْنَ) Sedangkan Ibn Kasir, Nafi’, Abu ‘Amr, Ibn ‘Amir dan ‘Ashim riwayat Hafsh, membacanya dengan (يَطْهُرْنَ)
Sebagian ulama menafsirkan qira’at : janganlah kamu berhubungan seksual dengan istri sampai mereka suci (الطهرَ). Sedangkan qira’at (يَطْهُرْنَ) menafsirkannya dengan “janganlah kamu bersenggama dengan mereka, sampai mereka bersuci التَطهّر) (. Dalam tafsir Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an disebutkan bahwa pengertian (التَطْهُرَ) ada yang menafsirkan dengan mandi; ada dengan wudhu; ada dengan mencucui farjinya (kemaluan) tempat keluarnya darah haid tersebut; dan ada pula yang menafsirkannya dengan mencuci atau membersihkan farj dan berwudhu.
Sehubungan dengan ini, Imam Malik, Imam Syafi’i, al-Awza’i dan al-Sawi berpendapat, bahwa seorang suami haram hukumnya bersenggama dengan seorang istrinya yang sedang dalam haid, sampai istrinya itu berhenti dari haid dan mandi junub. Imam as-Syafi’i memberi alasan qira’at mutawatirat (qira’at sab’ah). Bila ada dua versi qira’at dan dapat digabungkan, maka kita wajib menggabungkannya. Sehingga menjadi “Tidak boleh suami bersenggama dengan istri yang sedang haid, sampai istrinya itu berhenti dari darah haidnya (suci) dan mandi junub. Alasan lain ialah penggalan ayat berikutnya yaitu فاذا تَطَهّرْنَ) (فأْتوا هُنَّ bahwa boleh suami berhubungan seksual dengan istrinya yang telah menjalani haid, apabila telah bersuci dengan cara mandi.
Sementara itu Abu Hanifah menafsirkan (ولا تقربوهن حتى يَطَّهُرْنَ) dengan: janganlah kamu bersenggama dengan mereka sampai mereka suci, yakni telah berhenti dari haid. Dengan demikian suami boleh melakukan hubungan seksual dengan istri mereka setelah darah haid mereka berhenti. Sehubungan dengan perbedaan pendapat tersebut, Hasanuddin berpendapat bahwa batas keharaman seorang suami melakukan hubungan seksual dengan istrinya yang haid itu ialah sampai wanita tersebut suci dalam arti telah berhenti dari haidnya dan telah mandi dari hadas besarnya. Hal ini mengingat pengertian (التطهر) dalam rangkaian ayat tersebut yaitu (فإذا تَطَهُّرْن فأْتوهن)
3. Firman Allah dalam surat Al-Maidah (5): 6.
Persoalan dalam ayat ini apakah dalam berwudhu itu wajib membasuh kedua kaki (وأرجلكم) atau cukup dengan menyapunya saja. Menurut al-Khinn, bahwa perbedaan ini timbul dari perbedaan qira’at. Nafi’, Ibn Amir dan al-Kisai membaca (أَرْجُلَكم) dengan nasab (fathah lam). Sedangkan Ibn Kasir, Abu Amir dan Hamzah membacanya dengan jarr (kasrah lam). Dengan mengambil qira’at nashab, jumhur ulama berpendapat wajibnya membasuh kedua kaki dan tidak memadai dengan menyapunya. Pendapat ini mereka perkuat dengan beberapa hadis. Syi’ah Imamiyah berpegang pada qira’at jarr sehingga mereka mewajibkan menyapu kedua kaki dalam berwudhu. Pendapat yang sama diriwayatkan juga dari Ibn Abbas dan Anas bin Malik. Senada dengan iti Jahid mengemukakan bahwa wajib menyapu kedua kaki bagi yang memilih qira’at kasrah lam dan wajib membasuh bagi yang memilih qira’at fathah lam. Qira’at fathah lam menunjukkan bahwa kedua kaki dalam berwudhu wajib dicuci (dibasuh) karena ma’tuf kepada فاغسلوا وجوهَكم)) Sementara qira’at jarr lam menurut lahirnya menunjukkan bahwa kedua kaki dalam berwudhu hanya wajib diusap dengan air, yang dalam hal ini ma’thuf kepada (وامسحوا برءوسِكم).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari bahasan-bahasan di atas, sekilas kita dapat fahami bahwa Al-Qur’an yang merupakan kitab induk undang-undang kehidupan pun telah mengajarkan banyak hal tentang metode berfikir, hal ini dibuktikan dengan ditemukan dan dikemukakannya ayat-ayat tentang berfikirnya manusia, sisi-sisi yang dilarang, faktor-faktor penghambatnya, dan tidak lupa jalan keluarnya.
Kita sebagai manusia layaknya terus selalu berfikir dan mengumpulkan data dan informasi tentang sebuah obyek pemikiran, menciptakan analogi, hipotesa dan keputusan yang didasari untuk mencari, menemukan, dan mendapatkan kebenaran, yang kita hasilkan dengan kejernihan akal dan feeling juga insting sebagai manusia yang diberikan akal dan kemampuan nalar yang luar biasa, sehingga kita akan mampu menghasilkan pemikiran-pemikiran yang objektif dan tak memihak ataupun memaksakan kepentingan pribadi.


Menu Puralexy

Istilah Ilmu Hadis (Hadis Masyhur)

ISTILAH ILMU HADITS

PENJELASAN MENGENAI ISTILAH ILMU HADITS
(Penjelasan Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam muqaddimah Kitabnya Bulughul Maram )

Perlu diketahui bahwa yang dimaksud dengan istilah Shahihain adalah kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Setiap hadits yang diketengahkan oleh keduanya secara bersama melalui seorang sahabat disebut Muttafaq Alaih. Mengenai istilah Ushuulus Sittah atau dikenal dengan Sittah adalah Shahihain Sunan Imam Abu Dawud, Imam Tirmidzi, Imam An-Nasa-i, dan Imam Ibnu Majah. Mulai dari Abu Dawud hingga Ibnu Majah dikenal dengan istilah Arba’ah yang masing masing memiliki kitab Sunan. Akan tetapi, ada sebagian ulama yang tidak memasukan Imam Ibnu Majah kedalam Arba’ah dan menggantinya dengan Al-Muwaththa’ atau dengan Musnad Ad-Darimi. Sab’ah terdiri dari Imam Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai, dan Ibnu Majah. Sittah terdiri dari Imam Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai dan Ibnu Majah. Khamsah terdiri dari Imam Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai dan Ibnu Majah. Arba’ah terdiri dari Imam Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai dan Ibnu Majah. Tsalaatsah terdiri dari Imam Abu Dawud, At-Tirmidzi dan An-Nasai. Muttafaq ‘Alaih terdiri dari Imam Bukhari dan Muslim.

Istilah istilah Hadits

Matan =materi hadits yang berakhir dengan sanad.
Sanad =para perawi yang menyampaikan kepada matan.
Isnad = rentetan sanad hingga sampai ke matan, sebagai contoh ialah
“Dari Muhammad Ibnu Ibrahim, dari Alqamah ibnu Waqqash, dari Umar Ibnu Khaththab bahwa Rasullullah saw pernah bersabda: Sesungguhnya semua amal perbuatan itu berdasarkan niat masing masing.” Sabda Nabi saw yang mengatakan: ”Sesungguhnya semua amal perbuatan itu berdasarkan niat masing-masing” disebut matan, sedangkan diri para perawi disebut sanad, dan yang mengisahkan sanad disebut isnad.
Musnad = hadits yang isnadnya mulai dari permulaan hingga akhir berhubungan, dan kitab yang menghimpun hadits hadits setiap perawi secara tersendiri, seperti kitab Musnad Imam Ahmad.
Musnid =orang yang meriwayatkan hadits berikut isnadnya.
Al Muhaddits = orang yang ahli dalam bidang hadits dan menekuninya secara riwayat dan dirayah (pengetahuan).
Al-Haafizh =orang yang hafal seratus ribu buah hadits baik secara matan maupun isnad.
Al-Hujjah = orang yang hafal tiga ratus ribu hadits.
Al-Haakim = orang yang menguasai sunnah tetapi tidak memfatwakannya melainkan sedikit.

Pembagian Hadits

1. Hadits bila ditinjau dari segi thuruq (jalur periwayatannya) terbagi menjadi muttawatir dan ahad.
a. Hadits Muttawatir = hadits yang memenuhi empat syarat , yaitu :
= diriwayatkan oleh segolongan orang yang banyak jumlahnya.
= menurut kebiasaan mustahil mereka sepakat dalam kedustaan.
= mereka meriwayatkannya melalui orang yang semisal mulai dari permulaan hingga akhir.
= hendaknya musnad terakhir dari para perawi berpredikat hasan (baik).
Hadits muttawatir dapat memberikan faedah ilmu yang bersifat dharuri, atau dengan kata lain ilmu yang tidak dapat ditolak lagi kebenarannya. Contoh hadits muttawatir adalah hadits yang mengatakan :
“Barang siapa yang berdusta terhadapku atau atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah dia bersiap siap menempati tempat duduknya dari api neraka.”
b. Hadits Ahad = hadits yang di dalamnya terdapat cacat pada salah satu syarat muttawatirnya. Hadits ahad dapat memberikan faedah yang bersifat zhan dan adakalanya dapat memberikan ilmu yang bersifat nazhari (teori) apabila dibarengi dengan bukti yang menunjukkan kepadanya.
Pembagian hadits ahad ada tiga yaitu :
1. hadits sahih = hadits yang diriwayatkan oleh orang yang adil, memiliki hafalan yang sempurna sanad nya muttashil (berhubungan dengan yang lainnya) lagi tidak mu’allal (tercela) dan tidak pula syadz (menyendiri). Istilah adil yang dimaksud ialah adil riwayatnya, yakni seorang muslim yang telah aqil baliq, bertaqwa dan menjauhi semua dosa dosa besar. Pengertian adil ini mencakup laki-laki, wanita, orang merdeka dan budak belian.
Istilah dhabth ialah hafalan. Ada dua macam dhabth yaitu :
• dhabth shard ialah orang yang bersangkutan hafal semua hadits yang diriwayatkannya di luar kepala dengan baik.
• dhabth kitab yaitu orang yang bersangkutan memelihara pokok hadits yang dia terima dari gurunya dari perubahan perubahan (atau dengan kata lain text-book).
Mu’allal = hadits yang dimasuki oleh suatu ‘illat (cela) yang tersembunyi hingga mengharuskannya dimauqufkan (diteliti lebih mendalam).
Syadz =hadits yang orang tsiqah (yang dipercaya) nya berbeda dengan orang yang lebih tsiqah darinya.
2. hadits hasan = hadits yang diriwayatkan oleh orang yang adil. hafalannya kurang sempurna tetapi sanad
nya muttashil lagi tidak mu’allal dan tidak pula syadz. Apabila hadits hasan ini kuat karena didukung oleh satu jalur atau dua jalur periwayatan lainnya, maka predikatnya naik menjadi shahih lighairihi.
3. hadits dha’if =hadits yang peringkatnya dibawah hadits hasan dengan pengertian karena didalamnya terdapat cela pada salah satu syarat hasan. Apabila hadits dha’if menjadi kuat karena didukung oleh jalur periwayatan lainnya atau sanad lainnya maka predikatnya naik menjadi hasan lighairihi.
Shahih dan hasan keduanya dapat diterima. Dha’if ditolak maka tidak dapat dijadikan sebagai hujjah, kecuali dalam masalah keutamaan beramal tetapi dengan syarat predikat dha’ifnya tidak terlalu parah dan subyek yang diketengahkan masih termasuk ke dalam pokok syariat, serta tidak berkeyakinan ketika mengamalkannya sebagai hal yang telah ditetapkan melainkan tujuan dari pengamalannya hanyalah untuk bersikap hati-hati dalam beramal.
2. Hadits bila ditinjau dari perawinya terbagi menjadi :
a. hadits masyhur = hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih, tetapi masih belum memenuhi syarat muttawatir. Terkadang diucapkan pula terhadap hadits yang telah terkenal hingga menjadi buah bibir, sekalipun hal itu maudhu’ (palsu).
b. hadits ‘aziz = hadits yang diriwayatkan oleh dua orang perawi saja, sekalipun masih dalam satu thabaqah (tingkatan) karena sesungguhnya jumlah perawi yang sedikit pada mayoritasnya dapat dijadikan pegangan dalam bidang ilmu ini.
c. hadits gharib =hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi sekalipun dalam salah satu thabaqah.
Hadits gharib terbagi menjadi dua macam yaitu :
• gharib muthlaq yang artinya hadits yang kedapatan menyendiri dalam pokok sanadnya.
• gharib nisbi yang artinya hadits yang kedapatan menyendiri pada sanad selanjutnya.
3. Hadits terbagi pula menjadi dua bagian lainnya yaitu maqbul dan mardud :
a. hadits maqbul =hadits yang dapat dijadikan hujjah yang didalamnya terpenuhi syarat-syarat hadits shahih atau hadits hasan. Hadits maqbul terbagi menjadi empat yaitu :
- shahih lidzatihi yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, sempurna hafalannya, muttashil
sanadnya, tidak mu’allal dan tidak pula syadz. Shahih lidzatihi ini berbeda beda peringkatnya menurut perbedaan sifat yang telah disebutkan tadi.
- shahih lighairihi yaitu hadits yang mengandung sebagian sifat yang ada pada hadits maqbul, paling sedikit. Akan tetapi dapat ditemukan hal hal yang dapat menyempurnakan kekurangannya itu, seumpamanya ada hadits yang sama diriwayatkan melalui satu atau banyak jalur lainnya.
- hasan lidzatihi yaitu hadits yang dinukil oleh seseorang yang adil, ringan hafalannya (kurang sempurna) muttashil sanadnya, melalui orang yang semisal dengannya, hanya tidak mu’allal dan tidak pula syadz.
- hasan lighairihi yaitu hadits yang masih ditangguhkan penerimaannya tetapi telah ditemukan di dalam nya hal hal yang menguatkan segi penerimaannya. Contohnya ialah hadits yang didalam sanadnya terdapat orang yang keadaannya masih belum diketahui atau orang yang buruk hafalannya.
Hadits Maqbul pun terbagi menjadi :
1. Muhkam yaitu hadits yang tidak ada hadits lain yang menentangnya.
2. Mukhtalaf yaitu haidts yang didapatkan ada hadits lain yang menentangnya tetapi masih dapat digabungkan diantara keduanya.
3. Nasikh yaitu hadits yang datang kemudian isinya menentang hadits yang semisal.
4. Rajih yaitu hadits yang dapat diterima, kandungannya menentang hadits yang semisal yang mendahuluinya karena adanya penyebab yang mengharuskan demikian, sedangkan menggabungkan keduanya tidak mungkin, lawan dari rajah ialah marjuh.
b. hadits mardud= hadits yang didalamnya tidak terpenuhi syarat-syarat shahih dan hasan . Hadits mardud ini tidak dapat dijadikan hujjah dan terbagi pula menjadi dua bagian yaitu :
¨. mardud yang disebabkan adanya keguguran dalam isnad (sanad)nya, terbagi menjadi lima macam :
a. mu’allaq yaitu hadits yang dari awal sanadnya gugur seorang perawi, dan termasuk ke dalam hadits mu’allaq ialah hadits yang semua sanadnya dibuang.
b. mursal yaitu hadits yang dinisbatkan oleh seorang tabi’in kepada Nabi saw.
c. mu’adhdhal yaitu hadits yang gugur darinya dua orang perawi secara berturut turut.
d. munqathi yaitu haidts yang gugur darinya seorang atau dua orang perawi, tetapi tidak berturut turut.
e. mudallas yaitu hadits yang terdapat keguguran didalamnya tetapi tersembunyi, sedangkan ungkapan periwayatnya memakai istilah ‘an (dari). Contohnya dia menggugurkan nama gurunya, lalu menukil dari orang yang lebih atas daripada gurunya dengan memakai ungkapan yang memberikan pengertian kepada si pendengar bahwa hal itu dinukilnya secara langsung, contoh ini dinamakan mudallas isnad. Adakalanya, nama gurunya tidak digugurkan, tetapi gurunya itu digambarkan dengan sifat yang tidak dikenal, contoh seperti ini dinamakan mudallas syuyukh. Adakalanya, dia menggugurkan seorang perawi
dha’if di antara dua orang perawi yang tsiqah, contoh ini dinamakan mudallas taswiyah.
¨. mardud karena adanya cela terbagi menjadi empat macam :
a. maudhu’ yaitu hadits yang perawinya dusta mengenainya.
b. matruk yaitu hadits yang celanya disebabkan perawi dicurigai sebagai orang yang dusta.
c. munkar yaitu hadits yang celanya karena kebodohan siperawinya atau karena kefasikannya.
d. mu’allal yaitu hadits yang celanya karena aib yang tersembunyi, tetapi lahiriahnya selamat, tidak tampak aib.
Termasuk kedalam kategori tercela ialah yang disebabkan idraj (kemasukan). Jenis ini ada dua macam :
• mudraj matan ialah hadits yang didalamnya ditambahkan sebagian dari lafazh perawi, baik pada permulaan, tengah-tengah atau bagian akhirnya. Adakalanya untuk menafsirkan lafazh yang gharib (sulit) seperti yatahannatsu (yata’abbadu) yang artinya beribadah.
• mudraj isnad ialah hadits yang didalamnya ditambahkan isnadnya seperti menghimpun beberapa sanad dalam satu sanad tanpa penjelasan.
Termasuk kedalam pengertian tha’n (cacat) ialah qalb, yaitu hadits yang maqlub (terbalik) disebabkan seorang perawi bertentangan dengan perawi lain yang lebih kuat darinya karena mendahulukan atau mengakhirkan sanad atau matan. Termasuk pula kedalam pengertian tha’n ialah idhthirab yakni hadits yang mudhtharib yaitu hadits yang perawinya bertentangan dengan perawi lain yang lebih kuat dari padanya dalam sanad, matan atau dalam kedua-duanya, padahal tidak ada murajjih (yang menentukan mana yang lebih kuat dari pada keduanya) sedangkan menggabungkan keduanya merupakan hal yang tidak dapat dilakukan.
Termasuk kedalam pengertian tha’n ialah tashhif yaitu hadits mushahhaf dan tahrif (hadits muharraf). Hadits mushahhaf ialah cela yang ada padanya disebabkan seorang perawi bertentangan dengan perawi lainnya yang lebih kuat dalam hal titik. Jika ada pertentangan itu dalam hal harakat, maka dinamakan hadits muharraf. Termasuk kedalam pengertian tha’n ialah jahalah, juga disebut ibham (misteri), bid’ah, syudzudz, dan ikhtilath.
• hadits mubham ialah hadits yang didalamnya ada seorang perawi atau lebih yang tidak disebutkan namanya.
• hadits mubtadi’ ialah jika bid’ahnya mendatangkan kekufuran, maka perawinya tidak dapat diterima, jika bid’ahnya menimbulkan kefasikan, sedangkan perawinya orang yang adil dan tidak menyeru kepada
bid’ah tersebut, maka haditsnya dapat diterima.
• hadits syadz ialah hadits yang seorang perawi tsiqahnya bertentangan dengan perawi yang lebih tsiqah darinya. Lawan kata dari hadits syadz ialah hadits mahfuzh, yaitu hadits yang seorang perawi tsiqahnya bertentangan dengan hadits perawi lainnya yang tsiqahnya masih berada di bawah dia.
• hadits mukhtalath ialah hadits yang perawinya terkena penyakit buruk hafalan disebabkan otaknya terganggu, misalnya akibat pengaruh usia yang telah lanjut (pikun). Hukum haditsnya dapat diterima sebelum akalnya terganggu oleh buruk hafalannya, adapun sesudah terganggu tidak dapat diterima. Jika tidak dapat dibedakan antara zaman sebelum terganggudan zaman sesudahnya, maka senuanya ditolak.
4. Hadits bila dipandang dari segi matan dan sanad terbagi menjadi :
a. hadits marfu’ ialah hadits yang disandarkan kepada Rasullullah saw baik secara terang terangan maupun secara hukum.
b. hadits mauquf ialah hadits yang sanadnya terhenti sampai kepada seorang sahabat tanpa adanya tanda tanda yang menunjukan marfu’, baik secara ucapan maupun perbuatan.
c. hadits maqthu’ ialah hadits yang isnad (sanad) nya terhenti sampai kepada seorang tabi’in.
d. hadits muthlaq ialah hadits yang bilangan perawinya sedikit bila dibandingkan dengan sanad lainnya dan sanad sampai kepada Rasullullah saw. Lawan dari al-muthlaq ialah hadits nazil muthlaq.
e. hadits al nasabi ialah hadits yang perawinya sedikit bila dibandingkan dengan f. hadits nazil nasabi ialah lawan haidts al nasabi. Hadits al nasabi lebih ke shahih karena kekeliruannya sedikit. hadits nazil nasabi ini tidak disukai kecuali karena sanad lainnya dan berakhir sampai kepada seorang Imam terkenal seperti Imam Malik, Imam Syafi’ie, Imam Bukhari dan Imam Muslim.
keistimewaan khusus yang ada pa dan Mukhtalif, Mutasyabih, Muhmal, serta Sabiq dan Lahiq.danya.



Hadis Masyhur

Iman, Islam, Ihsan


عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَيْضاً قَالَ: بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيْدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعْرِ، لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ، وَلاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ، حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ وَقَالَ: يَا مُحَمَّد أَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِسْلاَمِ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: اْلإِسِلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ وَتُؤْتِيَ الزَّكاَةَ وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً قَالَ: صَدَقْتَ، فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ، قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِيْمَانِ قَالَ: أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ. قَالَ صَدَقْتَ، قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِحْسَانِ، قَالَ: أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ. قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ السَّاعَةِ، قَالَ: مَا الْمَسْؤُوْلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ. قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنْ أَمَارَاتِهَا، قَالَ أَنْ تَلِدَ اْلأَمَةُ رَبَّتَهَا وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُوْنَ فِي الْبُنْيَانِ، ثُمَّ انْطَلَقَ فَلَبِثْتُ مَلِيًّا، ثُمَّ قَالَ: يَا عُمَرَ أَتَدْرِي مَنِ السَّائِلِ ؟ قُلْتُ: اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمَ. قَالَ فَإِنَّهُ جِبْرِيْلُ أَتـَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِيْنَكُمْ.

[رواه مسلم]

Dari Umar juga dia berkata:
“Ketika kami duduk-duduk di samping Rasul Allah suatu hari tiba-tiba datanglah seorang laki-laki yang mengenakan baju yang sangat putih dan berambut sangat hitam, tidak tampak padanya bekas-bekas perjalanan jauh. Tidak ada seorangpun di antara kami yang mengenalnya.
Hingga kemudian dia duduk di hadapan Nabi lalu menempelkan kedua lututnya kepada kepada lututnya (Rasul Allah) seraya berkata: “Ya Muhammad, beritahukan aku tentang Islam?” maka bersabdalah Rasul Allah: “Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada ilah selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan salat, menunaikan zakat, puasa Ramadan dan pergi berhaji apabila mampu.” Kemudian dia berkata: “Engkau benar.”
Kami semua heran, dia yang bertanya dia pula yang membenarkan. Kemudian dia bertanya lagi: “Beritahukan aku tentang iman”. Lalu beliau bersabda: “Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan Hari Akhir, dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk,” kemudian dia berkata: “Engkau benar”.
Kemudian dia berkata lagi: “Beritahukan aku tentang ihsan (kebaikan)”. Lalu beliau bersabda: “Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya, jika engkau tidak melihatnya maka Dia melihat engkau”. Kemudian dia berkata: “Beritahukan aku tentang hari kiamat (kapan kejadiannya)”. Beliau bersabda: “Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya.” Dia berkata: “Beritahukan aku tentang tanda-tandanya,” beliau bersabda: “Jika seorang hamba melahirkan tuannya, dan jika engkau melihat seorang bertelanjang kaki dan dada, miskin dan penggembala domba, (kemudian) berlomba-lomba meninggikan bangunannya,” kemudian orang itu berlalu.
Aku berdiam sebentar, kemudian beliau (Rasul Allah) bertanya: “Tahukah engkau siapa yang bertanya?” Aku berkata: “Allah dan orang yang diutus-Nya lebih mengetahui.” Beliau bersabda: “Dia adalah Jibril yang datang kepada kalian (dengan maksud) mengajar tentang agama kalian.” [HR.
Muslim]





Hadits ditinjau dari Kualitas dan Kuantitas



BAB I
PENDAHULUAN
Dengan percepatan teknologi dan ilmu pengetahuan peradaban juga mengikuti perkembangan yang terjadi dengan muncul berbagai pemahaman dan pengkajian berbagai hukum yang tidak terjadi dimasa lampau hingga menimbulkan banyak perselisihan dalam memaknai sebuah peristiwa atau masalah dalam kehidupan, dikalangan umat Islam khususnya yang menjadi panduan hidup di muka bumi ialahal-Qur’an yang berisikan jawaban tentang segala sesuatu yang ada di dunia baik secara tersirat maupun secara tersurat, namun konteksnya ada sebagian yang perlu penelaah lebih mendalam karena tidak di ungkapkan secara gamblang maka di perlukan pengkajian dengan memakai hadis yang bersumber dari Rasulullah SAW. Beliau bersabda Ku tinggalkan kepadamu (umat Islam) dua pusaka abadi, apabila kamu berpegang kepadanya nescaya kamu tidak akan sesat ,iaitu Kitab Allah (Al Quran) dan Sunnahku.
Mayoritas ulama berbeda pendapat dalam pengkajian hadis. Hadis yang sering di jumpai tidak serta merta dapat mengadopsi secara langsung, hadis yang di dapati perlu adanya pencarian jati diri hadis tersebut untuk menetapkan kualitas hadis yang akan diimplementasikan, agar tidak terjadi kesalahan dalam menetapkan sebuah hukum.
Bertitik tolak dari hal tersebut maka penulis tertarik untuk menguak pembagian hadis yang selama ini beredar baik ditinjau dari kuantitasnya yang meliputi hadis mutawatir dan ahad maupun dari segi kualitasnya yang terdiri hadis sahih, hasan, daif dan maudhu, penulis menyadari didalam makalah sanagat jauh dari kempurnaan kritik dan saran pembaca secalian sangat diharapkan sebagai kontribusi dalam merevisi makalah ini.






BAB II
HADIS DI TINJAU DARI KUANTITASNYA
Untuk mengungkapkan tinjauan pembagian hadis dari segi kuantitas jumlah para perawi para penulis hadis pada umumnya menggunakan beberapa redaksi yang berbeda. sebagian mereka melihat pembahagian hadis dari segi bagaimana proses penyampaian hadis dan sebagian lagi memilih dari segi kuantitas atau jumlah perawinya.
Bagan I
A. Hadits Mutawatir
1. Pengertian
Secara etimologi kata mutawatir adalah isim fail dan masdar-nya adalah tawatur yang berarti mutabi’ (datang berturut-turut dan beriringan antara satu dengan yang lain ). Secara terminologi hadits mutawatir ialah hadis yang diriwayatkan oleh segolongan rawi banyak, dimana materi hadis tersebut bersifat inderawi, yang menurut pertimbangan rasio, mereka mustahil melakukan konspirasi kebohongan dan adanya segolongan rawi banyak itu terdapat di dalam semua tabaqahnya jika terdiri dari beberapa tabaqah.[1]
Hadits mutawatir berarti sebuah hadist yang diriwayatkan oleh banyak rawi yang secara umum mustahil untuk sepakat berbohong dari awal hingga puncaknya, nabi Muhammad SAW.[2] Menurut Nur Ad-din ‘Atar hadits mutawatir merupakan hadist yang diriwayatkan oleh sejumlah besar orang yang terhindar dari kesepakatan mereka untuk berdusta sejak awal sanad hingga akhir sanad dengan didasarkan pada panca indra.[3]
2. Kinerja
Adapun syarat hadits mutawatir ini yang lebih banyak merincikannya adalah ulama ushul. Sementara ulama hadits tidak banyak merincikannya karena menurut mereka hadits ini tidak termasuk kedalam pembahasan ilmu al – isnad yaitu ilmu yang membicarakan tentang sahih atau tidaknya, diamal tidaknya hadits, padahal dalam kajian hadits mutawatir tidak di bicarakan hal itu, jika di ketahui hadits mutawatir maka wajib melaksanakannya karena diyakini kebenarannya sekalipun perawinya orang kafir[4]
Adapun syarat hadits muawatir meliputi : a) hadits yang diriwayatkan harus melalui tanggapan panca indra, b) kualitas rawi sampai pada jumlah yang menurut adat mustahil mereka mufakat untuk berdusta hadis ini harus di riwayatkan oleh sejumlah perawi besar yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, mengenai jumlah perawinya ulama bebrbeda pendapat dalam menetapkan ada sebagian yang mengatakan jumlah perawi dalam hadis ini berbagai pendapat yang di muali dengan mengatakan 5, ada yang 12 dan ada 40 hingga sampai 70 orang perawi sebetulnya bukan merupakan hal yang pokok yang menjadi ukuran rawi namun diukur pada tercapainya ilmu dharuri, sekalipun perawinya hanya 5 orang asalkan memberikan keyakinan bahwa berita yang mereka sampaikan itu bukan kebohongan. c) adanya keseimbangan jumlah rawi di awal dan ditengah thabaqatnya dengan demikian jika suatu hadis diriwayatkan oleh 20 orang sahabat kemudian di terima oleh 10 tabi’in dan berikutnya hanya diterima 5 tabi’in tidak dapat di golongkan hadis mutawatir, sebab jumlah perawinya tidak seimbang akan tabaqat pertama dengan tabaqat-tabaqat selanjutnya, akan tetapi ada juga yang berpendapat bahwa keseimbangan jumalah rawi pada tiap tabaqat tidaklah terlalu penting sebab yang diinginkan dengan banyaknya perawi terhindar dari kemungkinan berbohong.[5]
Menurut ulama ada yang membagi hadits mutawatir kedua bagian dan ada pula yang membaginya kepada tiga bagian yaitu :
· Hadist mutawatir lafzhi adalah hadits mutawatir periwayatannya dalam hal lafadz dan ada juga yang mengatakan mutawatir lafaz dan maknanya, Ibnu Hajar menolak pendapat ini, menurutnya diantara dalil yang paling baik untuk menetapkan adanya hadits mutawatir adalah kitab-kitab yang sudah terkenal diantara ahli ilmu baik ditimur dan di barat yang mereka yakin sah disandarkan kepada pengarang – pengarang apabila mereka berkumpul untuk meriwayatkan hadits maka menurut adat maka mustahil mereka sepakat untuk berdusta.[6] Ibnu Salah mengatakan hadis yang seperti ini sangat jarang di temukan.[7]
· Mutawatir maknawi adalah hadits yang dinukilkan oleh sejumlah orang yang mustahil mereka sepakat berdusta mereka menukilkan dalam berbagai bentuk tetapi mempunyai kesamaan dalam hal maknanya yang isinya mengandung satu hal, satu sifat atau sau perbuatan. Contohnya ‘’Abu Musa al-Asy’ari berkata : Nabi Muhammad SAW, berdoa kemudin ia mengangkat kedua tangannya dan aku melihat puih-putih di kedua ketiaknya. Hadis seperti ini diriwatyatkan dari Nabi Muhammad SAW. Berjumlah sekitar seratus hadis dengan redaksi yang berbeda-beda tetapi mempunyai titik kesamaan yakni rasul mengangkat tangan saat berdo’a. Meski hadis-hadis tersebut berbeda-beda redaksinya, namun karena mempunyai qadar mustarak (titik persamaan) yang sama, yakni keadaan Rasulullah yang mengangkat tangan pada saat berdo’a, maka disebut sebagai hadis Mutawatir-maknawi[8]
· Hadis muatawatir amali ialah sesuatu yang diketahui dengan mudah, bahwa ia termasuk urusan agama dan telah muatawatir antara umat Islam bahwa Rasullullah SAW. menyuruhnya atau mengerjakannya. Hadits ini banyak jumlahnya seperti hadist yang menerangkan waktu shalat, jumlah raka’at, salat ied, kadar zakat harta dll.[9]
3. Kehujjahan
Kehujjahan hadis mutawatir sudah diakui oleh semua ulama maka hadis mutawatir harus di terima dan wajib di amalkan karena tingkat hadis yang paling teratas dan sudah teruji kebenarannya. Hadits mutawatir telah disepakati oleh ulama oleh karenanya dapat di jadikan hujjah dan wajib mengamalkannya hadis muatawatir di anggap qath’iy, oleh karena itu hadis mutawatir tidak dibahas lagi perawinya.
B. Hadis Ahad
1. Pengertian
Al – Ahad jama’ dari ahad, menurut bahasa berarti al-wahid atau satu, jadi hadis ahad adalah suatu berita yang disampaikan oleh satu orang.[10] Hadits ahad ialah hadist yang jumalah rawinya tidak mencapai mutawatir dan bila di tinjau setiap tabaqahnya hadits ahad ini tidak mencapai derajat mutawatir, dari sudut pandanganya tidak sampainya jumlah rawi setiap tabaqatnya.[11]
2. Kinerja
Seperti halnya hadis muawatir hadis ahad juga terdapat beberapa bagian adapun beberapa bagian dalam hadis ahad ialah: Hadis masyhur dan hadis ghairi masyhur.
Hadis masyhur menurut bahasa ialah al-antisyar wa al-dhuyu ialah sesuatu yang sudah populer. Menurut bahasa hadis ini ialah hadits mutawatir yang tidak membatasi sanadnya. Hadits masyur ini ada beberapa macam menurut masyurnya; a) hadis yang mashyur di kalangan ahli hadits saja b) hadis yang masyhur di kalangan ulama dan masyarakat umum saja c) hadist yang mashyur di kalangan fuqaha saja, d) hadits yang masyhur di kalangan ulama ushul fiqh, e) hadist yang masyur dikalangan ulama ahli bahasa, f) hadist yang masyhur dikalangan ahli pendidikan dan hadist yang masyhur di kalangan masyarakat umum.[12]
Ada ulama yang memasukkan hadis masyur, merupakan segala hadis yang populer dalam masyarakat, sekalipun tidak mempunyai sanad sama sekali, baik bersetatus dhaif maupun sahahih. Ulama Hanafiah, bahwa hadis ini menghasilkan ketenangan hati, dekat kepada keyakinan dan wajib di amalkan akan tetapi bagi yang menolaknya tidak kafir. Contohnya “Barang siapa yang hendak pergi melaksanakan shalat jum’at, hendaknya ia mandi” ini merupakan hadis mansyur sahih. Disamping itu terdapat hadis mansyur hasan ialah hadis mansyur yang telah memenuhi ketentuan-ketentuan hadis hasan baik mengenai sanad maupun matannya seperti “jangan melakukan perbuatan yang berbahaya (bagi diri sendiri dan orang lain) [13]
Hadis Ghair Masyhur dibagi dua yaitu pertama hadis aziz, hadis yang perawinya kurang dari dua orang dalam semua tabaqat sanad, suatu hadis dikatakan hadis aziz adalah hadis yang diriwayatkan oleh dua orang rawi pada setiap tabaqat, yakni pada tabaqat pertama hingga tabaqat terakhir tetapi selagi salah satu tabaqatnya didapati dua perawi tetap dikatakan hadis aziz. Contohnya : tidak beriman seseorang dianara kamu, hingga aku lebih dicinttai daripada dirinya, orang tuanya, anaknnyadan semua manusia ( H.R. Bukhari - Muslim)[14]
Hadits gharib menurut bahasa al-Munfarid (menyendiri) atau al-ba’da an aqaribihi (jauh dari kerabatnya) dan menurut terminologi ialah hadits yang hanya di riwayatkan oleh satu rawi atau disebabkan oleh adanya penambahan dalam matan atau sanad, hadis yang demikian disebut gharib karena keadaanya asing menurut pandangan rawi-rawi yang lain seperti orang yang jauh dari tempat tinggalnya. Hadis ini di bagi kepada dua bagian meliputi hadis gharib mutlak dan hadis gharib nisbi.
* Hadis gharib mutlak adalah hadis yang hanya diriwayatkan oleh seorang rawi walaupun hanya satu tabaqat. Contohnya “hubungan kekerabatan dari budak adalah sama seperti hubungan kerabat nasab” tidak boleh jual atau dihibahkan. Hadis ini hanya diriwayatkan oleh seorang rawi yaitu Abdullah Bin Dinar dari Ibnu Umar dan diantara contoh hadis seperti kata Imam al- Turmudzi hadis ini gharib karena tidak kami ketahui kecuali melalui riwayat ini.[15]
* Hadis gharib nisbi ialah apabila penyendiriannya itu mengenai sifat atau keadaan tertentu dari seorang rawi, bisa berkaitan dengan keadilan dan kedhabitan perawi atau mengenai tempat tinggal atau kota tertentu. Contoh hadis gharib nisbi berkenaan dengan kota “ kami diperintahkan oleh rasulullah agar membaca al- fayihah dan surat yang mudah dalam al- Qur’an” hadis ini diriwayatkan oleh Abu Daut dengan dengan sanat Abu al- Walid al- Ayalisi, Hammam, Qaadah, Abu Nadrah, dan Said semua rawi ini berasal dari Basrah dan tidak ada yang meriwayatkannya dari kota-kota lain.[16]

Menurut jumhur ulama baik hadits mutawatir maupun hadits ahad berfungsi sebagai ilmiah dan operasional, ilmiah disini bisa dijadikan sebagai sumber ilmu pengetahuan tetapi ada perbedaan dalam sisi epistimologinya sebagian mengatakan ilmu yang dihasilkan melalui hadits bersifat dharury dan ada yang mengatakan bersifat nazhari.
3. Kehujjahan
Ibnu Taymiyah berpandangan bahwa hadis mutawatir ialah hadis-hadis yang mempunyai fungsi ilmiah, ini tampak bahwa Ibnu Taymiyah melihat hadist muawatir bukan dari segi kuantitas perawinya tetapi dari kualitasnya, jika di kaji ulang benar adanya yang diungkapkan oleh Ibnu Taymiyah yaitu berapa banyak hadis yang tidak diamalkan dan tidak menjadi syari’at.
Secara operasional fungsi hadits ahad di bagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok yang menolak mengamalkan hadis ahad dan kelompok yang memperbolehkan untuk mengamalkannya hingga sampai mewajibkannya pengalaman hadis ahad yang sudah di golongkan pada hadis sahih dan hasan. Sebab jika sudah di tentukan kesahihannya sekalipun bersifat zhanniyat-tsubut pastilah hadits tersebut datang dari nabi Muhammad SAW. Para ulama dan imam agama mujtahidin, jika ada ulama yang tidak mengamalkan hadits ahad menurut jumhur hanyalah karena tidak menyakini kesahihannya, buka karena menolak hadis ahad. [17]
Bahwa neraca yang harus kita pergunakan dalam berhujjah dengan suatu hadis, ialah memeriksa “Apakah hadis tersebut maqbul atau mardud”. Kalau maqbul, boleh kita berhujjah dengannya. Kalau mardud, kita tidak dapat iktiqatkan dan tidak dapat pula kita mengamalkannya. Kemudian apabila telah nyata bahwa hadis itu (sahih, atau hasan), hendaklah kita periksa apakah ada muaridnya yang berlawanan dengan maknanya. Jika terlepas dari perlawanan maka hadis itu kita sebut muhkam.
Jika ada, kita kumpulkan antara keduanya, atau kita takwilkan salah satunya supaya tidak bertentangan lagi maknanya. Kalau tak mungkin dikumpulkan, tapi diketahui mana yang terkemudian, maka yang terdahulu kita tinggalkan, kita pandang mansukh, yang terkemudian kita ambil, kita pandang nasikh. Jika kita tidak mengetahui sejarahnya, kita usahakan menarjihkan salah satunya. Kita ambil yang rajih, kita tinggalkan yang marjuh. Jika tak dapat ditarjihkan salah satunya, bertawaqquflah kita dahulu.[18]
Berikut ini beberapa perbedaan pendapat dalam pengalaman hadis ahat dalam pengamalan hadis ahad ulama –ulama berbeda pendapat yaitu: Abu hanafiah memberikan syarat-syarat yaitu: a) para perawinya tidak menyalahi riwayatnya b) riwayatnya tidak mengenai hal-hal yang bersifat umum dan c) riwayatnya tidak menyalahi qiyas. Malikiah memberikan syarat bahawa hadits ahad yang diamalkan tidak bertentangan dengan tradisi ulama madinah karena amalan – amalan mereka sama dengan riwayatnya. As-Syafii’i tidak mensyaratkan ke-masyhurannya, tidak bertentangan dengan amalan ulama madinah dan juga tidak mensyaratkan agar tidak menyalahi qiiyas ia hanya memberikan kesahihan sanad hadis yang sambungan sanad karena adanya perbedaan dalam beberapa hal di atas sebagian ulama Hanafiah tidak mengkafirkan orang yang mengingkari hadis ahad akan tetapi hanya menghukumi berdosa.[19]
Contohnya: “Sesungguhnya amal itu dangan niat, dan sesungguhnya bagi masing-masing orang apa yang dia niatkan. Barangsiapa yang hijrahnya kepada dunia yang akan ia dapatkan atau kepada perempuan yang akan dia nikahi maka (hasil) hijrahnya adalah apa yang dia niatkan (Muttafaqun ‘alaih). Apakah hadits ini tidak berbicara tentang aqidah? Bahkan hadits ini berbicara tentang salah satu diterimanya amal, tentang ikhlas yang merupakan syarat diterimanya amal seseorang. Hadits ini, jelas merupakan hadits ahad, dan termasuk ke dalam bagian hadits gharib, karena tidak diriwayatkan, kecuali dari jalan Umar bin Khaththab. Dan tidak ada yang meriwayatkan darinya, kecuali Al Qamah bin Waqqash Al Laitsi. Dan tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali Muhammad bin Ibrahim At Taimi. Dan tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali Yahya bin Sa’id Al Anshari. Kemudian dari beliau ini diriwayatkan oleh puluhan perawi, bahkan mungkin ratusan. Awalnya mutawatir, akhirnya ahad dan gharib. Ini salah satu contoh hadits yang diterima oleh para ulama, bahkan hampir sebagian besar ulama.

BAB III
HADIS DI TINJAU DARI SEGI KUALITASNYA

Hadis dari segi kualitasnya terbagi menjadi dua macam yaitu hadis maqbul dan hadis mardud adapun hadis maqbul ialah hadis yang unggul pembenaran pemberitaanya, dalam hal ini hadis maqbul ialah hadis yang mendapat dukungan bukti-bukti dan membuat unggul itu adalah dugaan pembenaran. Dan sedangkan hadis mardud ialah hadis yang ditolak atau tidak diterima, jadi hadis mardud ialah ialah hadis yang tidak unggul pembenaran dan pemberitannya, adapun pembagiannya dapat tergambar pada bagan di bawah ini:
Bagan II
Hadis Ditinjau
Dari Kualitas
Maudhu
Lighayrihi
Lidzatihi
Ahad
Mutawatir
Shahih
Hasan
Dha’if








A. Hadis shahih
1. Pengertian
Kata shahih berasal dari bahasa arab as- shahih bentuk pluralnya ashihha’ berakar kata pada shahha, yang berarti selamat dari penyakit. Para ulama mengatakan hadis shahih hadis yang sanadnya tersambung dikutip oleh orang yang adil lagi cermat dari yang sama, sampai berakhir pada Rasulullah SAW. atau Sahabat atau Tabi’in bukan hadis yang syadz (kontroversial) dan terkena ‘illat yang cacat pada penerimaannya. Hadis sahih adalah hadist yang bersambung sampai kepada nabi Muhammad serta didalam hadis tersebut tidak terdapat kejanggalan dan cacat.[20]
2. Kinerja
Sebuah hadits dikatakan sahih apabila memenuhi krieria yang meliputi: a) Sanadnya bersambung ialah sanadnya bersambung sampai ke musnad, dalam sifat disebut hadis yang muttashil dan mausul (yang bersambung), b) Seluruh periwayat dalam sanad hadist sahih bersifat adil adalah periwayat yang memenuhi syarat-syarat yaitu beragama Islam, mukallaf, melaksanakan ketentuan agama, memelihara kehormatan diri, c) Seluruh periwayat dalam sanad bersifat dhabith, ialah memiliki ingatan dan hafalan yang sempurna. Dia memahami dengan baik apa yang diriwayatkannya serta mampu menyampaikan hafalan itu kapan saja di kehendaki, d) Sanad dan matan hadits yang sahih itu terhindar dari syadz, e) Sanad dan matan hadis terhindar dari i’llat, i’llat adalah sifat tersembunyi yang mengakibatkan hadits tersebut cacat dalam penerimaannya, kendati secara lahiriah hadits tersebar dari ‘illat. [21]
Contoh hadis shahih Dari Abu Hurairah r.a. beliau berkata : Rasulullah s.a.w. bersabda : "Setiap sendi tubuh badan manusia menjadi sedekah untuknya pada setiap hari matahari terbit, kamu melakukan keadilan diantara dua orang yang berselisih faham adalah sedekah kamu membantu orang yang menaiki kenderaan atau kamu mengangkat barang-barang untuknya kedalam kenderaan adalah sedekah, Perkataan yang baik adalah sedekah, setiap langkah kamu berjalan untuk menunaikan solat adalah sedekah dan kamu membuang perkara-perkara yang menyakiti di jalan adalah sedekah." (H.R Bukhari dan Muslim)
Ada beberapa tingkatan-tingkatan hadis yang banyak di ungkapkan oleh para ulama meliputi: hadis yang di sepakati keshahihannya oleh bukhari dan muslim yang lazim disebut dengan istilah Muttafaqun ‘alaihi.
* Hadis yang di shahihkan oleh bukhari saja
* Hadis yang dishahihkan oleh muslim saja
* Hadis sahih yang diriwayattkan oleh muslim saja
* Hadis yang diriwayatkan oleh selain bukhari dan muslim yang mengikuti syarat-syaratnya
* Hadis yang diriwayatkan berdasarkan syarat-syarat bukhari
* Hadis yang diriwayatkan berdasarkan syarat-syarat Muslim
* Hadis –hadis yang disahihkan oleh selain keduanya seperti ibnu Khuzaima, Ibnu hibban meskipun tidak memenuhi sayarat-syarat keduanya[22]

Sumber-sumber hadis-hadis sahih adalah kitab-kitab yang memuat hadits sahih yaitu antara lain;
* Al- Muawaththa ialah kitab hadis yang pertama yang disusun oleh Imam Malik (93- 179H/712- 798 M)
* Al-Jami’ as – Shahih al- Bukhari merupakan kitab hadits terbaik yang disususn oleh Imam Abu Abdullah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim Al- Mughirah Ibn Birdizbah (194-256H).
* Sahih muslim adalah kitab hadits shahih yang menempati posisi ke dua setelah sahih bukhari kita yang disusun oleh Imam Muslim Ibn Al-Hajaj al-Qusyairy an nasisabury (206-261H).
* Sahih ibn Huzaimah adalah kitab hadits sahih yang disusun oleh abu abdullah ibn abu bakar al- huzaimah yang wafat pada 313 didalam kitab ini memuatt kitab hadits yang belum tercover dalam kitab al-Bukhari
* Sahih ibn hibban adalah kitab sahih yang di tulis oleh Abu hatim Muhammad ibn hibban wafat 354 H.[23]

Hadits sahih terbagi dua bagian, yaitu hadits sahih lidzatih dan hadits shahih li ghairh. Hadits hadzatih adalah hadits yang karena kehadiran dirinya sendiri telah memenuhi kelima kriteria hadits sahih sebagaimana dikemukakan di atas, seperti hadis yang berbunyi, (orang islam adalah orang yang tidak mengganggu muslim –muslim lainnya, baik dengan lidah maupun tangannya ; dan orang berhijrah itu adalah orang yang pindah dari apa yang dilarang oleh Allah). Hadis ini antara lain diriwayatkan oleh Bukhari dengan sanad antara lain oleh, adam Ibn Iyas, Syu’bah, Ismail Ibn Safar, Al-Sya’by, Abdullah Ibn Amir Ibn Ash. Rawi dan sanad al-Bukhari memenuhi kriteri Hadits lidzatih. [24]
Hadis sahih lighairih adalah hadis yang sahihnya lantaran di bantu oleh keterangan yang lain jadi disimpulkan belum sampai kepada kualitas sahih, kemudian ada petunjuk atau dalil lain yang menguatkannya sehingga hadits tersebut meningkat menjadi hadits sahih lighairih.
3. Kehujjahan
Ibnu Hazm al- Dhahiri menetapkan bahwa hadis sahih memfaedahkan ilmu qath’i dan wajib diyakini dengan demikian hadis sahih dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan suatu akidah, yang perlu di fahamai bahwa martabat hadis sahih ini tergantung kedhabitannya dan keadilan perawinya, dan semakin dhabit dan adil siperawinya makin tinggi pula tingkatan kualitas hadis yang diriwayatkannya.[25]Maka dapat di simpulkan bahwa hadist sahih sebagai sumber ajaran Islam lebih tinggi kedudukannya dari hadist hasan dan dho’if, tetapi berada dibawah kedudukan hadist mutawatir.
Semua ulama sepakat menerima hadist sahih sebagai sumber ajaran Islam atau hujjah, dalam bidang hukum dan moral. Tetapi, sebagian ulama menolak kehujjahan hadist sahih dalam bidang aqidah, sebagian lagi dapat menerima, tetapi tidak mengkafirkan mereka yang menolak.
B. Hadis hasan
1. Pengertian
Hasan berarti yang baik, yang bagus, jadi hadis hasan adalah hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh rawi yang adil yang rendah daya hafalnya tetapi tidak rancu dan tidak bercacat.[26]hadis hasan ialah hadis yang mutttasil sanadnya diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabit ttetapi kadar kedhabitannya di bawah kedhabittan hadis sahih dan hadis itu tidak syadzdan tidak pula terdapat ‘illat[27]
Hadits hasan juga mempunyai kriteria yaitu; a) sanadnya bersambung, b) para periwayat bersifat adil, c) diantara orang periwayat terdapat orang yang kurang dhabith, dan d) sanad dan matan hadits terhindar dari kejanggalan, e) tidak ber- illat.[28]
2. Kinerja
Pembagian hadis hasan terdiri dari hasan lidzatih dan hasan lighairih, hadis hasan lidzatih adalah hadits yang mencapai derajat hasan dengan sendirinya sedikitpun tidak ada dukungan dari hadis lain dan kalau ada hanya di sebut hadis hasan maka yang dimaksud adalah hadis lidzatih, sedangkan hadis hasan lighairih adalah hadis yang pada asalnya adalah hadis dhaif yang kemudian meningkat derajatnya menjadi hasan karena ada riwayat lain yang mengangkatnya.
Contohnya : sekiranya aku tidak memberatkan umatku, tentu kuperintahkan mereka bersiwak menjelang setiap sholat, matan hadis ini memiliki jalur sanad, Muhammad bin Amr, dari Abi Salamah, dari Abu Hurairah dari Rasulullah SAW. dan Muhammad bin Amr diragukan hafalan, kekuatan ingatan dan kecerdasannya meskipun banyak yang menganggapnya terpecaya hadis ini bersifat hasan lizatih dan sahih lighairih, karena diriwayatkan pula oleh guru muhammad dan dari gurunya lagi hadis itu diriwayakan pula oleh Abu Hurairah oleh banyak orang diantaranya al-A’raj bin Hurmuz dan Sa’id al-Maqbari. At- Tarmizi ia adalah orang yang pertama kali mengeluarkan hadis hasan [29]
Meskipun ada hadis dahif yang meningkat menjadi hadis hasan tidak semua hadis dhaif bisa meningkat menjadi hadis hasan, hadis dhaif yang bisa meningkat menjadi hadis hasan adalah hadis- hadis yang tidak terlalu lemah seperti hadis maudhu, matruk, dan munkar derajatnya bisa lebih meningkat, jika hadis diriwayatkan oleh periwayat yang dhaif karena banyaknya kesalahan atau karena mufsiq maka ia bukanlah hadis hasan lighairih. [30] Sebaliknya hadis daif yang diriwayatkan oleh periwayat yang dhaif karena fasiq atau di tuduh berdusta lalu ada hadits yang juga diriwayatkan oleh periwayat yang kualitasnya sama maka hadis itu bukan hanya tidak bisa naik derajatnya menjadi hasan melainkan justru hadis itu berambah dhaif.
3. Hujjah
Hadis hasan dapat di gunakan sebagai berhujjah dalam menentapkan suatu kepastian hukum dan ia harus diamalkan baik hadis hasan lidzatih maupun hasan lighairih, al- Khattabi mengungkapkan bahwa atas hadis hasanlah berkisar banyak hadis karena kebanyakan hadis tidak mencapai tingkatan sahih, hadis ini kebanyakan diamalkan oleh ulama hadis. Factur rahman mengatakan bahwa kebanyakan ahli ilmu dan fuqaha sepakan unuk menggunakan hadis sahih dan hasan untuk berhujjah bila memenuhi sifat-sifatt yang dapat di terima tetapi ia menegaskan bahwa kedua-duanya dapa di terima dengan demikian krieria bahwa harus memenuhi sifat yang dapat di terima bisa saja di hilangkan.[31]
C. Hadis Dhaif
1. Pengertian
Secara bahasa, hadits dhaif berasal dari kata dhu’fun berarti hadits yang lemah. Para ulama memiliki dugaan kecil bahwa hadits tersebut berasal dari Rasulullah SAW. Secara terminologi hadis dhaif adalah suatu hadits yang tidak terdapat ciri-ciri ke sahihan dan kehasanan suatu hadits, sahih tidaknya suatu hadits merupakan hasil peninjaun dari sisi di terima atau ditolaknya suatu hadits, oleh karena itu hadis ini terdapat sesuatu yang di dalamnya tertolak yang tidak terdapat ciri-ciri di terimanya hadits ini.
2. Kinerja
Adapun ciri-ciri hadis daif ialah; a) periwatnya seorang pendusta atau tertuduh pendusta, b) banyak membuat kekeliruan, c) suka pelupa, d) suka maksiat atau fasik, e) banyak angan-angan, f) menyalahi periwayat kepercayaan g) Periwayatnya tidak di kenal, h) penganut bid’ah bidang aqidah dan i) tidak baik hafalannya. [32] Dan yang kemungkinan besar merupakan hadits dho’if adalah hadits yang diriwayatkan secara bersendirian oleh ‘Uqaili, Ibn ‘Adi, Khatib Al Baghdadi, Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh-nya, Adailami dalam Musnad Firdaus, atau Tirmidzi Al Hakim dalam Nawadirul Ushul dan beliau bukanlah Tirmidzi penulis kitab Sunan atau Hakim dan Ibnu Jarud dalam Tarikh keduanya[33]
Contoh hadis Dhaif “bahwasannya Rasul wudhu dan beliau mengusap kedua kaos kakinya “ hadis ini dikatakan dhaif karena diriwayatkan dari Abu Qais al- Audi, seorang rawi yang masih dipersoalkan.[34] Hadist dhaif dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu : hadits dhaif karena gugurnya rawi dalam sanadnya, dan hadits dhaif karena adanya cacat pada rawi atau matan. Ada Muhaditsin (Ulama Ahli Hadits) yang membagi hadits Dlaif menjadi 42 bagian ada pula yang membaginya menjadi 129 bagian. Hadits dlaif diklasifikasikan berdasarkan :










Para ulama memberikan batasan bahwa hadits mursal adalah hadits yang gugur rawinya di akhir sanad. Yang dimaksud dengan rawi di akhir sanad ialah rawi pada tingkatan sahabat yang merupakan orang pertama yang meriwayatkan hadits dari Rasulullah SAW. (penentuan awal dan akhir sanad adalah dengan melihat dari rawi yang terdekat dengan imam yang membukukan hadits, seperti Bukhari, sampai kepada rawi yang terdekat dengan Rasulullah). Jadi, hadits mursal adalah hadits yang dalam sanadnya tidak menyebutkan sahabat Nabi, sebagai rawi yang seharusnya menerima langsung dari Rasulullah.[35]
3. Kehujahan
Khusus hadits dhaif, maka para ulama hadits kelas berat semacam Al-Hafidzh Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebutkan bahwa hadits dhaif boleh digunakan, dengan beberapa syarat:
  1. Level Kedhaifannya Tidak Parah. Ternyata yang namanya hadits dhaif itu sangat banyak jenisnya dan banyak jenjangnya. Dari yang paling parah sampai yang mendekati shahih atau hasan. Maka menurut para ulama, masih ada di antara hadits dhaif yang bisa dijadikan hujjah, asalkan bukan dalam perkara aqidah dan syariah (hukum halal haram). Hadits yang level kedhaifannya tidak terlalu parah, boleh digunakan untuk perkara fadahilul a’mal (keutamaan amal).
2. Berada di bawah Nash Lain yang Shahih. Maksudnya hadits yang dhaif itu kalau mau dijadikan sebagai dasar dalam fadhailul a’mal, harus didampingi dengan hadits lainnya. Bahkan hadits lainnya itu harus shahih. Maka tidak boleh hadits dha’if jadi pokok, tetapi dia harus berada di bawah nash yang sudah shahih.
3. Ketika Mengamalkannya, Tidak Boleh Meyakini Ke-Tsabit-annya. Maksudnya, ketika kita mengamalkan hadits dhaif itu, kita tidak boleh meyakini 100% bahwa ini merupakan sabda Rasululah SAW atau perbuatan beliau. Tetapi yang kita lakukan adalah bahwa kita masih menduga atas kepastian datangnya informasi ini dari Rasulullah SAW.[36]
D. Hadis Maudhu
1. Pengertian
Menurut etimologi kata maudhu dari kata diletakakan, dibiarkan, digugurkan, ditinggalkan dan dibuat- buat, sedangkan menurut terminologi hadis maudhu ialah sesuatu yang disandarkan kepada rasul secara mengada- ada dan bohong dari apa yang di katakan beliau atau idak dilakukan dan atau tidak di setujui.[37]Menurut Jalaluddin Suyuthi bahwa hadis maudhu adalah hadis yang di buat-buat oleh para pendusta dan menyandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. di katakan juga dengan hadist palsu, para pemalsu hadits membuat suatu matan dengan kemauannya sendiri dengan rangkain muatiara yang indah kalimat yang lengkap dan pribahasa yang padat penuh arti, kemudian disusun dengan rangkaian sanad yang seolah mutasil sampai kepada nabi Muhammad SAW.
2. Kinerja
Hadis ini hukumnya bathil dan haram meriwayatkannya, kecuali untuk mengajar untuk mengetahui hadis maudhu , ada beberapa macam hadis maudhu yaitu: Seseorang mengatakan dengan sesuatu yang sebenarnya keluar dari dirinya sendiri kemudian dia meriwayatkannya dengan menghubungkan kepada Rasulullah SAW, seseorang mengambil perkataan dari sebagian ahli fiqh atau lainnya kemudian ia menghubungkannya dengan nabi Muhammad SAW. juga seseorang melakukan kesalahan dalam meriwayatkan suatu hadis dengan tidak ada unsur kesengajaan mendustakan nabi seperti Habib bin Musa al- Zahid dalam hadisnya menyatakan barang siapa banyak shalatnya dimalam hari wajahnya indah berseri di siang hari.[38]
Hadis ini dimulai sejak tahun 41 H pada masa pemerintahan Khalifah keempat ketika muslim saling bersellisih antara kaum khawarij dengan kaum Syiah merka banyak mengarang hadis untuk keperluannya sendiri inilah pendorong terjadinya pemalsuan hadis pada berbagai masa orang –orang suka menurutkan hawanafsu terus menerus untuk berbohong [39], Hammad bin Zaid hadis telah memalsukan tak kurang dari 14. 000 hadis palsu dan telah beredar dan Abdul Karim bin Abi al-Auja elah memalsukan 4000 hadis mengatakan adapun yang melatar belakangi munculnya hadis palsu ini adalah :
· Untuk menimbulkan kerusuhan didalam agama yang dilakukan oleh orang –orang munafik,
· Untuk mempertahankan pendapatnya sementara tidak ada dalil yang mengetengahkan yang dilakukan oleh abu al- khathtthab bin Dihyah dan Abdu al- Aziz bin Haris al- hanbali
· Untuk menarik perhatian dalam berpidato dan dalam pembicaraan dan simpatti orang yang menamakan dirinya Zuhud.
· Untuk mempertahankan mahzabnya seperti yang dilakukaukan oleh golongan Khattabiyah dari Aliran Rafidhah
· Untuk mendekatkan diri kepada raja-raja atau pejabat dengan membuat hadis maudhu yang cocok dengan program dan tujuan mereka.
· Untuk mencari rezeki dengan membuat hadis –hadis maudhu seperti yang dilakukan oleh ppencerita-cerita seperti yang dilakukan oleh Abu Said al- madaini
Hadis maudhu dapat di ketahui dari segi sanadnya dan atau matannya, jika dilihat dari sanadnya dari kaum zindiq, munafik atau seorang pendusta dari segi matannya dapat dilihat dari ciri-ciri yang meliputi; a) susunan lafalnya kacau, b) maknanya rusak, c) bertentangan dengan nas al- Qur’an yang tidak dapat dilakukan penakwilan, d) bertentangan dengan hadis mutawatir, e) bertentangan dengan aqidah umum baik dengan al- qur’an amupun sunnah.[40] f) pengakuan pembuatnya sendiri bahwa ia telah membuat hadis palsu.[41]



BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dimuka maka dapat disimpulkan bahwa









DAFTAR PUSTAKA

Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, Jakarta: Amzah, 2008
http://muslimah.or.id/hadits/taisir-musthalah-hadits-3-hadits-ahad.html
http://onetspawn.wordpress.com/2010/04/18/pengertian-ciri-ciri-kehujahan-hadist-shahih-hasan-dhaif/
http://ronyramadhanputra.blogspot.com/2009/04/hadits-dhaif.html
http://www.asiautama.com/hadits/UlumulHadits.pdf
http://zunlynadia.wordpress.com/2010/12/28/jenis-%E2%80%93-jenis-hadis/
M. Alfatih Suryadilaga, Ulumul Hadist, Yogyakarta: Sukses Offset, 2010
Muhammad Alawi Al- Maliki, Ilmu Ushul Hadis, Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2006
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, Jakarta: PT. Raja Grafindo persada, 2008
Subhi As- Shalihin, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009
Lebih baru Lebih lama