Mahmud Jauhari Ali
Bus yang kutumpangi akhirnya memasuki terminal Bundaran Burung Tingang Palangkaraya. Kulihat para tukang ojek berlarian menuju arah kami. Mereka seakan sedang beramai-ramai berusaha menangkap mangsa yang.besar
=====“Mau ke mana Mas?” tanya salah seorang dari para tukang ojek itu dengan sopan kepadaku.
=====“Saya mau ke Bukit Keminting, Bang.”, jawabku ramah kepadanya.
=====“Ayo saya antar Mas ke sana!” ajak tukang ojek lainnya yang berdiri persis di sampingku. Seperti itu pula ajakan beberapa tukang ojek yang lainnya kepadaku.
=====“Teman saya sudah janji akan menjemput saya di sini.”, kataku singkat kepada mereka.
Syukurlah temanku segera datang menjemputku. Jika tidak, para tukang ojek itu mungkin terus memburuku dengan berbagai rayuan agar aku memakai jasa mereka.
=====“Narai habar Le?” temanku langsung menanyakan kabarku dengan bahasa Dayak Ngajunya yang khas.
=====“Aku bahalap ih. Ikau narai habar kea?” jawabku untuk memberitahunya bahwa aku sedang baik-baik saja. Aku pun balik bertanya kepadanya tentang kabarnya dengan bahasa yang serupa, tetapi memakai dialek Dayak Ma’anyanku yang khas pula.
=====Saat itu kulihat wajahnya yang dibalut kulit kuning langsat sepertiku memancarkan kebahagian atas kedatanganku. Telah dua tahun kutinggalkan kota cantik Palangkaraya. Selama itu pulalah kami tak bertemu muka secara langsung. Kami biasanya berkomunikasi melalui ponsel dan juga facebook di internet. Sungguh pertemuan kali ini membuat kami sangat bahagia.
=====Kulihat bangunan-bangunan baru bermunculan di kota ini. Mulai dari bangunan tempat ibadah, pusat perbelanjaan, hingga warung-warung kecil di pinggir jalan. Kulihat kembali lapangan Mantingai yang tetap indah di mataku. Dulu kami sering bermain basket di lapangan yang luas itu. Di lapangan itu pula aku ajak dia menyaksikan Mutsabaqah Tilawatil Quran yang pernah diselenggarakan di Palangkaraya beberapa tahun silam. Dia beragama Kristen Protestan dan aku seorang mualaf yang dilahirkan dalam keluarga Katolik yang taat. Walaupun kami berbeda keyakinan dan prinsip hidup, kami tetaplah akrab satu sama lain. Persahabatan kami ibarat makna filosofis dari rumah khas suku Dayak yang kami junjung, yakni rumah betang. Rumah khas kami itu memiliki makna berbeda-beda, tetapi tetap satu jua.
***
=====“Kuman helu!”, ajak isterinya saat kami sedang asyik berbincang di serambi depan rumahnya.
Ajakan makan istrinya itu pun kami balas dengan tindakan nyata menuju ruang makan dan menyantap habis makanan di piring kami masing-masing. Daging ayam bakarnya sungguh lezat dengan nasi hangat yang pas di lidah kami. Makanan ini mengingatkanku kembali pada kenangan-kenanganku pada masa lalu di kota ini.
=====“Ka kueh hindai?” temanku tiba-tiba membangunkan diriku dari kenangan masa lalu dengan pertanyaannya kepadaku.
=====Kujawablah dengan satu jawaban singkat, yakni aku hendak ke tanah kubur calon istriku dulu. Aku memang berniat untuk berziarah di sana sejak dari rumahku kemarin di Tamiang Layang, Barito Timur. Ingin kukenang suaranya yang lembut saat berbicara denganku dan tanteku saat kami bertemu. Meskipun orang tua kami telah merestui hubungan kami, jarang sekali kami bertemu muka dan tak pernah pula kami berdua-duaan. Seandainya dia masih hidup, mungkin kini ia menemaniku sebagai istriku. Tapi sekali lagi tidak, kini ia telah tiada dan aku ingin menghirup aroma tanah kuburnya di kota ini.
=====“Jasadmu yang dulu berdiri tegak di hadapanku kini terbujur kaku di bawah sana. Dik, aku masih teringat dengan ucapanmu dulu tentang senyuman. Aku memang orang yang keras hati dan tak mudah tersenyum. Hari-hariku kuisi dengan keseriusan hingga wajahku tak menunjukkan keramahan di mata orang lain. Tapi kini, aku tak seperti dulu lagi. Hidupku telah kuisi dengan rasa persaudaraan dan keramahan.”, ucapku lirih di hadapan makamnya setelah aku berdoa di sana.
=====Aku tak pernah berbicara dengan bahasa daerahku atau bahasa orang Ngaju kepadanya. Ia adalah pendatang dari pulau Sumatera. Kami selalu berbahasa Indonesia dalam berkomunikasi yang singkat dan teramat singkat.
=====Hari pun berubah mendung dan tak lama kemudian menjadi bulir-bulir yang membasahi tubuhku dan tubuh temanku. Kutinggalkan tanah kubur yang tadi kupandangi dengan hati yang di dalamnya bercampur aduk berbagai perasaan.
***
=====Malamnya aku bercengkrama dengan teman-temanku yang telah lama tak kutemui. Kami terlibat percakapan yang seru dan mengasyikkan di bawah tenda warung dekat jembatan Kahayan yang megah. Sungguh malam ini merupakan malam bahagia bagiku. Ingin rasanya setiap malam kulalui dengan mereka di sini. Namun, besok aku harus segera kembali ke tanah kelahiranku. Masih banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan di sana. Aku berharap ‘kan kutemui kembali malam seperti ini di malam-malam berikutnya.
=====Keesokan harinya aku dibonceng temanku dengan sepeda motornya. Walaupun sudah banyak perubahan di sana-sini, tetapi udara pagi pun masih terasa sama saat aku berangkat ke kantor dulu di kota ini. Suasananya juga masih sama. Oh, rasanya aku kembali ke masa lalu. Sedih rasanya hari ini harus kutinggalkan kota yang pernah lama kutinggali ini. Sehari semalam tak cukup sebenarnya mengobati kerinduanku pada semua yang pernah kukenal di sini.
Akhirnya, kupandangi wajah temanku dari balik kaca bus yang bergerak maju meninggalkannya dan kota yang cantik ini.
=====“Yakinlah teman, walau kita tak lagi bersama seperti dulu, aku akan selalu berusaha mengingatmu dan mengingat sejuta kenanganku di tanah kelahiranmu ini.”, ucapku dalam hati terdalamku.
Bus yang kutumpangi akhirnya memasuki terminal Bundaran Burung Tingang Palangkaraya. Kulihat para tukang ojek berlarian menuju arah kami. Mereka seakan sedang beramai-ramai berusaha menangkap mangsa yang.besar
=====“Mau ke mana Mas?” tanya salah seorang dari para tukang ojek itu dengan sopan kepadaku.
=====“Saya mau ke Bukit Keminting, Bang.”, jawabku ramah kepadanya.
=====“Ayo saya antar Mas ke sana!” ajak tukang ojek lainnya yang berdiri persis di sampingku. Seperti itu pula ajakan beberapa tukang ojek yang lainnya kepadaku.
=====“Teman saya sudah janji akan menjemput saya di sini.”, kataku singkat kepada mereka.
Syukurlah temanku segera datang menjemputku. Jika tidak, para tukang ojek itu mungkin terus memburuku dengan berbagai rayuan agar aku memakai jasa mereka.
=====“Narai habar Le?” temanku langsung menanyakan kabarku dengan bahasa Dayak Ngajunya yang khas.
=====“Aku bahalap ih. Ikau narai habar kea?” jawabku untuk memberitahunya bahwa aku sedang baik-baik saja. Aku pun balik bertanya kepadanya tentang kabarnya dengan bahasa yang serupa, tetapi memakai dialek Dayak Ma’anyanku yang khas pula.
=====Saat itu kulihat wajahnya yang dibalut kulit kuning langsat sepertiku memancarkan kebahagian atas kedatanganku. Telah dua tahun kutinggalkan kota cantik Palangkaraya. Selama itu pulalah kami tak bertemu muka secara langsung. Kami biasanya berkomunikasi melalui ponsel dan juga facebook di internet. Sungguh pertemuan kali ini membuat kami sangat bahagia.
=====Kulihat bangunan-bangunan baru bermunculan di kota ini. Mulai dari bangunan tempat ibadah, pusat perbelanjaan, hingga warung-warung kecil di pinggir jalan. Kulihat kembali lapangan Mantingai yang tetap indah di mataku. Dulu kami sering bermain basket di lapangan yang luas itu. Di lapangan itu pula aku ajak dia menyaksikan Mutsabaqah Tilawatil Quran yang pernah diselenggarakan di Palangkaraya beberapa tahun silam. Dia beragama Kristen Protestan dan aku seorang mualaf yang dilahirkan dalam keluarga Katolik yang taat. Walaupun kami berbeda keyakinan dan prinsip hidup, kami tetaplah akrab satu sama lain. Persahabatan kami ibarat makna filosofis dari rumah khas suku Dayak yang kami junjung, yakni rumah betang. Rumah khas kami itu memiliki makna berbeda-beda, tetapi tetap satu jua.
***
=====“Kuman helu!”, ajak isterinya saat kami sedang asyik berbincang di serambi depan rumahnya.
Ajakan makan istrinya itu pun kami balas dengan tindakan nyata menuju ruang makan dan menyantap habis makanan di piring kami masing-masing. Daging ayam bakarnya sungguh lezat dengan nasi hangat yang pas di lidah kami. Makanan ini mengingatkanku kembali pada kenangan-kenanganku pada masa lalu di kota ini.
=====“Ka kueh hindai?” temanku tiba-tiba membangunkan diriku dari kenangan masa lalu dengan pertanyaannya kepadaku.
=====Kujawablah dengan satu jawaban singkat, yakni aku hendak ke tanah kubur calon istriku dulu. Aku memang berniat untuk berziarah di sana sejak dari rumahku kemarin di Tamiang Layang, Barito Timur. Ingin kukenang suaranya yang lembut saat berbicara denganku dan tanteku saat kami bertemu. Meskipun orang tua kami telah merestui hubungan kami, jarang sekali kami bertemu muka dan tak pernah pula kami berdua-duaan. Seandainya dia masih hidup, mungkin kini ia menemaniku sebagai istriku. Tapi sekali lagi tidak, kini ia telah tiada dan aku ingin menghirup aroma tanah kuburnya di kota ini.
=====“Jasadmu yang dulu berdiri tegak di hadapanku kini terbujur kaku di bawah sana. Dik, aku masih teringat dengan ucapanmu dulu tentang senyuman. Aku memang orang yang keras hati dan tak mudah tersenyum. Hari-hariku kuisi dengan keseriusan hingga wajahku tak menunjukkan keramahan di mata orang lain. Tapi kini, aku tak seperti dulu lagi. Hidupku telah kuisi dengan rasa persaudaraan dan keramahan.”, ucapku lirih di hadapan makamnya setelah aku berdoa di sana.
=====Aku tak pernah berbicara dengan bahasa daerahku atau bahasa orang Ngaju kepadanya. Ia adalah pendatang dari pulau Sumatera. Kami selalu berbahasa Indonesia dalam berkomunikasi yang singkat dan teramat singkat.
=====Hari pun berubah mendung dan tak lama kemudian menjadi bulir-bulir yang membasahi tubuhku dan tubuh temanku. Kutinggalkan tanah kubur yang tadi kupandangi dengan hati yang di dalamnya bercampur aduk berbagai perasaan.
***
=====Malamnya aku bercengkrama dengan teman-temanku yang telah lama tak kutemui. Kami terlibat percakapan yang seru dan mengasyikkan di bawah tenda warung dekat jembatan Kahayan yang megah. Sungguh malam ini merupakan malam bahagia bagiku. Ingin rasanya setiap malam kulalui dengan mereka di sini. Namun, besok aku harus segera kembali ke tanah kelahiranku. Masih banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan di sana. Aku berharap ‘kan kutemui kembali malam seperti ini di malam-malam berikutnya.
=====Keesokan harinya aku dibonceng temanku dengan sepeda motornya. Walaupun sudah banyak perubahan di sana-sini, tetapi udara pagi pun masih terasa sama saat aku berangkat ke kantor dulu di kota ini. Suasananya juga masih sama. Oh, rasanya aku kembali ke masa lalu. Sedih rasanya hari ini harus kutinggalkan kota yang pernah lama kutinggali ini. Sehari semalam tak cukup sebenarnya mengobati kerinduanku pada semua yang pernah kukenal di sini.
Akhirnya, kupandangi wajah temanku dari balik kaca bus yang bergerak maju meninggalkannya dan kota yang cantik ini.
=====“Yakinlah teman, walau kita tak lagi bersama seperti dulu, aku akan selalu berusaha mengingatmu dan mengingat sejuta kenanganku di tanah kelahiranmu ini.”, ucapku dalam hati terdalamku.
Tags
CERPEN